Saya mengamati kolam dari jendela kamar.
Dari jendela kamar, di rumah besar di kawasan Kemang yang tadinya sebelum pandemi datang disewakan melalui banyak situs penyedia jasa perhotelan. Hampir setengah juta semalam.
Namun pandemi mengurung kita semua, melalui tagar dan regulasi. Perjalanan bisnis dan pariwisata berhenti, dan hotel-hotel pun kosong. Industri perhotelan kocar-kacir. Karyawan-karyawan dirumahkan. Pemilik-pemilik bisnis memutar otak—termasuk empunya grup penginapan rumah besar Kemang ini—dengan manuver menyediakan paket isolasi bulanan. Kamar yang hampir setengah juta rupiah per malam dibanting menjadi 2 jutaan per bulan. Saya, yang sedang musafir di Jakarta, mengambil kesempatan itu, mengunci diri dengan paket isolasi.
Seminggu lagi Lebaran.
Tapi pandemi tak tahu hari. Pandemi tak lihat kalender.
Jauh sebelum semua ini, saya berencana untuk mudik: berlebaran ke Belitung. Pada tahun-tahun belakangan, empat tahun tepatnya, saya tidak pernah pulang Lebaran. Pekerjaan, belum beristri, dan hiruk-pikuk duniawi lainnya, terasa jadi alasan yang tepat untuk tidak mudik Lebaran. Di awal-awal tahun ini, ibu sudah berpesan, “Pulanglah, Nak. Kite Lebaran di Belitong.” Sayang seribu kali sayang, Ibu, corona lebih besar dari segala rencana kita berdua—dan rencana ibu-anak lainnya di luar sana.
Karenanya, di depan jendela kamar ini, saya membayangkan suasana Ramadan dan Lebaran di kampung halaman. Sebagai pengobat rindu, baik saya ceritakan kepada teman-teman.
Bulan Ramadan selalu disambut dengan penuh sukacita di kampung saya, di pedalaman Belitong Timur. Setidaknya itu yang saya ingat, dari ingatan masa kecil. Saf-saf di masjid selalu penuh di minggu pertama. Anak-anak Melayu laki-laki dan perempuan tumpah ruah di masjid, sebagian tarawih dan mengaji, sebagian bermain sarung dan petasan. Bapak-bapak silih berganti menjadi imam salat tarawih, datuk haji mengeluarkan ceramah-ceramah pamungkas pengisi kultum. Orang-orang bertadarus hingga malam, sebagian pulang setelahnya, sebagian tinggal di masjid untuk beriktikaf.
Di siang hari, sepulang sekolah di panas yang terik, kami berbondong-bondong mencari kulong[1] dan kali. Berenang dan berendam berjam-jam hingga sore. Sebelum pulang, kami singgah mencari buah apa saja yang kami temukan dekat hutan dan di sepanjang jalan pulang. Pulang ke rumah, badan bau dan kemungkinan kutu-kutu sudah bercokol di kepala. Namun ibumu tak marah, menahan diri karena sedang berpuasa. Jam 5 sore, selesai berganti baju, saya biasanya mencuci semua buah yang telah dikumpulkan, menatanya di meja makan, lalu pergi mengganggu ibu di dapur.
Lima belas sampai sepuluh menit sebelum berbuka, saya sudah duduk di meja makan. Saya menyendoki nasi ke piring, menyusun lauk-pauk, menyiram dengan sayuran. Biasanya ibu dan bapak tertawa melihat kelakuan ini. Kadang abang saya menggoda saya, menirukan suara beduk atau sirine penanda berbuka. Ketika beduk atau sirine berbuka berbunyi, saya langsung memulai pesta di meja makan. Air kelapa satu gelas, tandas. Buah-buah dari hutan, tuntas, Nasi sepiring beserta lauk-pauknya, amblas. Tak jarang saya sakit perut kekenyangan. Bila tak salah, saya baru bisa mengubah kebiasaan “berpesta” saat berbuka puasa ketika saya lepas SMP, tinggal di asrama sekolah SMA, terpisah dari bapak dan ibu.
Lalu saya tentu tak akan lupa “safari Ramadan.” Saya tak tahu karena memang tugasnya atau karena senang saja, dahulu hampir setiap bulan puasa bapak melakukan “safari Ramadan.” Walaupun tidak setiap hari, bapak berkeliling Belitung Timur, berbuka puasa dan bertarawih di berbagai tempat, dari masjid ke masjid. Kadang, saya ikut. Karena, biasanya, di safari Ramadan, tambul[2] yang disajikan banyak dan beragam.
Yang juga tak terlupakan adalah malam takbiran. Setelah mendengar pengumuman di televisi, takbir mulai dikumandangkan setelah tarawih. Sehabis tarawih pula, puluhan mobil berjejer di depan Masjid Jame’ Al Fallah. Sebagian besar berupa truk dan pikap, sebagian besar pula membawa beduk. Kami, anak anak Melayu, menyerbu, laki dan perempuan, berebut naik mobil-mobil itu. Pawai takbir dimulai, dari masjid menuju ujung kampung di selatan, memutar hingga ujung utara, dan kembali ke masjid. Biasanya hampir tiga jam pawai takbir ini baru selesai. Tentu, sampai di rumah kena marah ibu yang belum selesai menyetrika baju untuk salat Id esok hari.
Di hari pertama Lebaran, pagi-pagi sekali sebelum jam 6, ibu sudah sibuk membangunkan kami. Disuruhnya kami mandi. Sunah, katanya. Jam setengah 7 teng, kami sekeluarga pergi ke masjid. Tiap-tiap kami dibekali sajadah. Tiap-tiap kami punya sajadah. Saya baru mulai merasakan salat dengan alas koran ketika berkuliah. Ada yang menggelar salat Id di lapangan tenis peninggalan PT Timah, tapi bapak tak pernah mengajak kami salat Id di sana. Katanya, ”Salatlah di masjid yang paling dekat rumahmu. Itulah caramu memakmurkannya.”
Selepas salat dan bersalaman, kami semua menuju ke rumah alm. kakek, yang kebetulan di depan Masjid Jame’ Al Fallah. Semua adik dan kakak dari bapak akan berkumpul di sini, sebelum bersama-sama ziarah. Sebagian dari kami mencari bunga-bunga, memotong pandan dan mengisi botol air untuk keperluan ziarah. Setelahnya, kami—bapak dan hampir sembilan adik dan kakaknya beserta keluarga—menuju pemakaman umum. Kadang, pemakaman telah ramai. Selepas ziarah, kami menuju rumah masing-masing. Sesampai di rumah, bapak dan ibu biasanya duduk, dan kami sungkeman, meminta maaf atas semua tingkah di sebelas bulan sebelumnya. Selesai semua itu, kami mulai makan.
Ketupat, rendang, tekwan, dan opor adalah masakan wajib Lebaran ibu. Empat sampai tiga hari sebelum Lebaran didedikasikannya untuk memasak sajian-sajian tersebut. Tak hanya itu, meja-meja di rumah penuh dengan berpuluh-puluh jenis kue pesanan, sementara bawah meja ramai diisi minuman soda. Berbagai warna. Cuma pelangi tandingannya. Meriah. Dan Anda akan menemukan keadaan yang sama hampir di setiap rumah. Mungkin hingga kini, minimalisme masih jauh dari peradaban orang-orang Melayu Belitong. Lebaran hari kedua dan ketiga kami biasanya menerima banyak tamu, sesekali pergi ke rumah sanak saudara, kerabat, dan kolega. Saya menadahkan tangan ke siapa saja, mengumpulkan “THR” ataupun “angpau,” upah dari berpuasa. Rasa malu memang datang terlambat di hidup saya.
Lebaran keempat, biasanya kami sekeluarga besar akan pergi ke pantai. Kadang ke Pantai Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, atau Batu Baginde. Setiap keluarga membawa bekal dan peralatan. Ketika sampai di pantai, kami memilih tempat, menggelar tikar, dan menyajikan segala hidangan bekal. Saya dan sepupu-sepupu makan terburu-buru, tak sabar ingin berenang. Bapak pun begitu. Bukan untuk berenang, tapi mancing. Sama seperti saya yang berenang hingga sore, bapak pun mancing hingga dipanggil-panggil untuk pulang. Di perjalanan pulang, saya dan sepupu-sepupu tertidur kelelahan, bermimpi makan ketupat sambil berenang di pantai, dengan baju renang yang penuh dengan angpau.
Saya menghela napas panjang, masih memandang kolam dari jendela, di rumah besar di Kemang. Corona, sebagai sebuah agensi, memangkas semua mimpi tentang Lebaran, memisahkan saya dan memori tentangnya, dan, saya yakin, mimpi dan rencana lainnya. Individu maupun kolektif. Tapi corona mengajarkan saya—dan saya pikir kita semua—betapa tak berartinya segala rencana dibanding kuasa alam. Namun corona juga mengajarkan saya bahwa tak memaksakan rencana menjadi pilihan bijak untuk semua. Apa pun itu, semoga kita semua dapat mengambil hikmah dan mengambil sikap dengan bijaksana, di waktu yang sulit dan tak menyenangkan untuk semua. Amin.
[1] Danau yang terbentuk dari kegiatan penambangan timah
[2] Makanan yang disajikan untuk tamu, bisa makanan berat ataupun kudapan
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Memuja makanan, juara mengeluh, dan kadang meneliti.