Menjadi salah satu dari 15 peserta terpilih RAKARA Residensi Cerpen 2024, mengantarkan saya ke Desa Andulang di Kecamatan Gapura, Sumenep. Acara pada 27–28 Desember 2024 tersebut diinisiasi oleh Komunitas Damar Korong, bekerja sama dengan MWC NU Gapura.

Sebagai orang Sumenep, saya termasuk jarang menyentuh daerah timur Madura itu. Ya, tempat saya dan lokasi acara terpaut jarak yang cukup jauh. Karenanya, perjalanan yang semula saya perkirakan bakal lancar-lancar saja, ternyata harus dilalui dengan berat. Itu tidak terlepas dari sulitnya mencari transportasi umum dari kota Sumenep, apalagi menjelang salat Jumat.

Sebagai daerah yang tidak dilalui jalan provinsi, sebenarnya bisa dimaklumi jika situasi ini terjadi. Sedikitnya mobilisasi ke arah timur itu berkorelasi dengan jumlah transportasi umum di sana. Beruntung, ketika saya sedang menunggu angkutan umum di daerah Bengkal, seorang pengemudi pikap beserta istrinya dengan baik hati menawarkan tumpangan. Saat itu, azan Jumat sudah berkumandang.

Perjalanan dari Bengkal menuju kantor MWC NU Gapura—titik kumpul peserta—memakan waktu seperempat jam. Saat saya tiba di lokasi, khatib di masjid kantor sudah membacakan khotbah kedua. Saya bernapas lega, karena masih bisa menunaikan ibadah rutin tersebut.

Selepas salat, Kak David (Daviatul Umam), Kak Helmi Khan, dan Kak Ibna Asnawi menyambut saya. Sudah ada beberapa peserta yang bersiap diantar menuju lokasi residensi. Sebagai fasilitas awal, saya diberikan sebuah kaus dan tanda pengenal peserta.

Dari MWC NU Gapura, kami meluncur ke Andulang, tepatnya Madrasah Nurul Anwar yang menjadi tempat acara. Perjalanan memakan waktu selama lima menit. Memasuki madrasah, spanduk yang menampilkan wajah 15 peserta menyambut kami.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Pembukaan dan sesi pelatihan RAKARA Residensi Cerpen 2024/Fathurrozi Nuril Furqon

Hari Pertama Residensi

Jelang salat Asar, RAKARA Residensi Cerpen 2024 resmi dibuka oleh Kepala Desa Andulang Pak Rimawi. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan bahwa penamaan “rakara” merujuk pada filosofi daun lontar (siwalan) yang juga disebut rakara dalam bahasa Madura. Tikar rakara sebagai salah satu produk daun lontar mencerminkan upaya saling sulam dan saling silang, sehingga kuat menjadi tikar untuk melingkar. Filosofi tersebut kemudian melahirkan slogan acara: “Duduk sama tabah, berdiri sama marwah”.

Pembukaan sore itu langsung dilanjutkan dengan  pelatihan cerpen yang berisi teori-teori dasar. Pemateri sesi pertama ini adalah cerpenis dan para pegiat sastra hebat Jawa Timur, yaitu Dr. Achdiar Redy Setiawan, Pak Matroni Muserang, dan Pak Siswanto. 

Sore itu, saya sendiri sebenarnya sudah agak mengantuk karena perjalanan sejak pagi yang cukup melelahkan. Namun, ternyata pemateri cukup apik dalam menyampaikan materi, sehingga kantuk itu pun berubah antusias. Hal itu berlanjut pada sesi kedua di malam harinya.

Sesi kedua berisi penyampaian teori cerpen lanjutan. Pemateri sesi ini adalah Pak Bernando J. Sujibto, Pak A. Warits Rovi, dan Pak Khoirul Umam. Dalam sesi ini, residensi diramaikan dengan kedatangan tiga peserta kehormatan sekaligus peninjau acara, yang salah satunya adalah Alindya Quira Azzahra, cerpenis cilik putri Dr. Didik. Walau anak itu kelihatan agak pemalu, tapi ada rasa kagum dalam hati karena di umur yang masih muda ia sudah mau mengasah keterampilan di bidang literasi. 

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Hasil kerajinan polo’ di pekarangan rumah Obe’ Aji/Fathurrozi Nuril Furqon

Hari Kedua: dari Olah Tubuh hingga Ekspedisi Polo’

Hari kedua dimulai dengan agenda jalan-jalan di sekitar madrasah. Namun, tidak berlangsung lama, karena panitia mengumumkan agar para peserta segera kembali untuk melakukan olah tubuh. Ya, olah tubuh, bukan olahraga.

Di kegiatan satu ini, panitia khusus mendatangkan Kak Latief, aktivis teater, untuk menjadi instruktur. Ia dengan semangat memandu para peserta melakukan olah tubuh ala anak teater, dimulai dari olah kepala, tangan, pinggang, hingga kaki. Walaupun kedengarannya menarik, olah tubuh ala anak teater nyatanya lebih sulit dari olah-olah lain.

Setelahnya, para peserta bersiap-siap melakukan studi lapangan ke tempat para perajin polo’. Sebelum berangkat, dari 15 peserta dibagi rata menjadi tiga kelompok. Saya masuk kelompok kedua, yang didampingi oleh Kak Latief dan Kak David. 

Kami berangkat dari madrasah menuju tempat perajin polo’ dengan jalan kaki. Walau cukup jauh dan melelahkan, tetapi sebenarnya patut disyukuri. Sebab, pemandangan sepanjang jalan jadi lebih leluasa dinikmati.

Setiap kelompok akan menemui perajin polo’ yang berbeda. Kelompok kami mengunjungi Bu Habiye—akrab dikenal Nyai Amma—dan anaknya, Bu Junaida. Kedua perajin polo’ itu masih kerabat dekat dari Kak Latief.

Rombongan kami disambut hangat oleh kedua perajin yang sudah sepuh itu. Kebetulan saat kami datang, keduanya baru selesai menginjak-injak adonan tanah liat dan pasir yang akan dibuat jadi gerabah polo’. Dengan senyum terkembang, keduanya menyilakan kami duduk di atas tikar, sembari menyuguhkan teh dan biskuit sari kelapa.

Kepada kami, Nyai Amma mengungkapkan keprihatinannya atas masa depan dunia pekattaan—sebutan untuk para perajin polo’. Tahun berlalu, semakin sedikit anak muda yang mau meneruskan usaha gerabah Madura. Rata-rata anak muda sekarang lebih suka terjun ke dalam bisnis ritel toko kelontong Madura daripada harus bersusah payah mewarisi usaha polo’ , yang makin ke sini makin berkurang pamornya. Fenomena getir itu kian pahit dikecap ketika beberapa perajin sepuh wafat, yang kemudian berimbas pada penghentian produksi beberapa jenis gerabah. 

Bincang-bincang kebudayaan itu berlangsung sejam. Walau lebih banyak diisi dengan percakapan di luar topik polo’, tapi kami cukup senang. Kami memutuskan undur diri ketika Kak Latief mengingatkan bahwa ada destinasi lain yang perlu dituju.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Foto bersama Obe’ Aji (tengah bertopi dan sarung merah)/Fathurrozi Nuril Furqon

Destinasi kedua adalah kediaman pengepul polo’, yang ternyata juga masih kerabat Kak Latief. Pengepul itu oleh masyarakat Andulang biasa dipanggil obe’ (kakek) Aji. Di kediaman beliau, kami diperlihatkan gerabah-gerabah Madura, seperti kattah, polo’, pennay, peltheng, dan cobhik. Di sana, gerabah dibedakan jadi dua, yaitu yang sudah dan belum dibakar.

Di kesempatan itu, saya bertanya musabab para perajin gerabah Madura lebih akrab disebut pekattaan daripada pepolo’an, mengingat baik di residensi maupun dari respon masyarakat, eksistensi polo’ lebih mencolok daripada kattah. Obe’ Aji hanya bisa bilang tidak tahu. Sebagai pengepul, yang ia ketahui polo’ adalah komoditas yang paling banyak permintaannya.

Ketidaktahuan Obe’ Aji berlanjut ketika saya menanyakan sejarah Desa Andulang sebagai sentra pembuatan polo’. Menurutnya, sejarah itu begitu samar, karena sejak dahulu sekali, Andulang sudah menjadikan polo’ sebagai napas kebudayaan yang sangat menyatu dengan keseharian masyarakat. 

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Sesi drafting di Pantai Bintaro/Fathurrozi Nuril Furqon

Berkunjung ke Pantai Bintaro

Dari kediaman Obe’ Aji, para peserta dibawa ke Pantai Bintaro yang lokasinya cukup jauh dari Andulang. Letak pantai yang kami tuju lumayan tersembunyi. Kami harus melintasi sepanjang garis Pelabuhan Bintaro, lalu memasuki area persawahan sebelum sampai di pantai. 

Pasir yang putih dan lembut cukup menggoda untuk dijajal, apalagi airnya cukup jernih. Sayang sekali, beberapa menit kemudian hujan datang tanpa aba-aba. Para peserta dan panitia berjejalan berteduh di bawah kanopi-kanopi pohon, yang walaupun cukup rimbun, tetapi tidak mampu membuat kami selamat dari belaian air hujan.

Hujan itu berlangsung kurang lebih setengah jam. Ketika reda, para peserta kemudian dibagi ke dalam empat kelompok yang masing-masing ditemani satu pembimbing. Kali ini, saya kembali tergabung dalam kelompok kedua bersama tiga peserta lain. Pembimbing kami adalah sastrawan beken, Pak Faidi Rizal Alief.

Siang itu, sesi dikhususkan untuk bimbingan drafting bakal cerpen yang harus dibuat para peserta selepas residensi. Kami berempat diminta membuat blurb atau sinopsis, serta dua paragraf pertama bakal cerpen kami. Sayangnya, kegiatan itu pun tidak bisa khusyuk karena tubuh kami dijadikan “santapan” para nyamuk di pantai.

Kami akhirnya diajak pulang panitia seiring mendung menggulung cerahnya langit. Hujan kembali deras ketika kami baru menyusuri garis pelabuhan yang panjang sekali. Saya yang sudah kuyup segera mencari tempat berteduh. Untungnya, karena saya berjalan paling awal, saya segera bisa sampai ke barung (sejenis gubuk). Beberapa saat setelahnya, menyusul satu per satu peserta dan panitia setelah tunggang langgang berlari.

RAKARA Residensi Cerpen: Ekspedisi Merawat Budaya
Hujan-hujanan di perahu majheng/Fathurrozi Nuril Furqon

Karena sudah kepalang basah, tidak seru rasanya tidak menyelam sekalian. Beberapa peserta—tidak termasuk saya—memutuskan bermain air hujan di antara perahu-perahu majheng yang sedang berlabuh. Menyenangkan sekali melihatnya. Sayang, saya tidak bisa ikut serta karena tidak kuat dingin.

Setelah puas, Pak Sofyan RH Zaid menawari kami ngopi di warung dekat barung. Tentunya kami senang menerima tawaran beliau. Di antara kepul panas kopi dan asap rokok, beliau menyampaikan bahwa residensi serupa akan dilaksanakan lagi tahun 2025. 

Besar kemungkinan residensi yang akan datang adalah residensi puisi. Rencananya, residensi akan dilaksanakan di “pulau oksigen” Gili Iyang dan diperluas jangkauan pesertanya untuk wilayah Jawa-Madura. Saya menyambut baik kabar tersebut, mengingat Jawa-Madura merupakan lumbung penyair di Indonesia. Akan sangat menyenangkan rasanya memperebutkan tiket residensi dengan banyak penulis puisi kedua daerah tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar