Kala lelah dengan hiruk-piruk perkotaan, saya mendaftar open trip “via ferrata” seorang diri pada pengujung 2024, lewat informasi dari media sosial. Saya dilanda rasa penasaran dengan kegiatan panjat tebing. 

Via ferrata merupakan kegiatan memanjat tebing atau gunung dengan mendaki jalur besi yang sudah ditanam membentuk tangga, ditambah kabel baja vertikal sepanjang jalur sebagai pengamannya. Salah satu lokasi via ferrata di Indonesia yang terkenal berada di Gunung Parang, Purwakarta, Jawa Barat. Di Gunung Parang sendiri ada beberapa jalur berbeda yang dikelola oleh operator wisata. Untuk open trip kali ini menggunakan jalur dari Badega.

Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang
Pemandangan Gunung Parang dari bawah/Nita Chaerunisa

Perjalanan bersama Pemandu dan Teman Baru

Total peserta open trip ada enam orang: satu laki-laki dan lima perempuan. Hanya dua orang yang mendaftar bersama karena sudah saling kenal, sisanya—termasuk saya—reservasi sendiri. Saya dan empat peserta lain berangkat dari Jakarta, sedangkan satu orang lagi dari Bekasi. Kami dijemput dengan fasilitas mobil dari pihak operator open trip.

Sekitar pukul 07.15 WIB, setelah dua jam perjalanan, kami sarapan di Pasar Plered, Purwakarta. Dari Pasar Plered masih harus menempuh kurang lebih satu jam lagi untuk sampai di Desa Sukamulya, titik basecamp Gunung Parang jalur Badega. Selama di mobil kami saling berkenalan. Ternyata kami berasal dari latar belakang dan usia yang berbeda-beda.

Sesampainya di basecamp, kami mengganti pakaian yang lebih nyaman untuk memanjat, termasuk memakai sarung tangan dan kacamata hitam. Kami juga hanya diperbolehkan membawa backpack kecil yang dapat diisi dengan minuman, snack, dan kebutuhan pribadi lainnya.

Di basecamp, terjadi “serah terima” peserta dari tour leader kami ke pemandu via ferrata yang ada di Badega. Pemandu tersebut langsung membantu kami mengenakan peralatan keamanan untuk pemanjatan, yaitu harness (alat penopang tubuh yang terikat di pinggang sebagai pengaman) lengkap dengan karabiner (cincin kait), dan helm pelindung kepala.

Setelah semua siap, kami jalan kaki menuju lokasi awal pemanjatan. Perjalanan dihiasi dengan pepohonan di kiri dan kanan. Dimulai dengan tangga batu, lalu trek berubah menjadi jalan setapak berupa tanah berbatu dan berujung pada jembatan bambu. Sebuah lapangan luas dengan pohon-pohon dan batu besar menyambut kedatangan kami. Di salah satu pohon terdapat ayunan kecil yang pemandangannya langsung mengarah ke Waduk Jatiluhur.

Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang
Jembatan bambu menuju titik awal pemanjatan/Nita Chaerunisa

Memulai Pemanjatan

Lapangan tersebut menjadi titik awal pemanjatan. Sebelum mulai, kami berdoa bersama. Selanjutnya pemandu memberi arahan cara penggunaan alat pengaman yang sudah terpasang di badan kami masing-masing. 

Cara kerjanya dengan mengaitkan satu buah karabiner ke kabel baja dan satu buah karabiner lainnya dibiarkan di lengan. Lalu dapat melangkah menaiki setiap tangga besi. Dalam interval beberapa meter pada kabel baja vertikal akan ada paku yang menyendat karabiner, sehingga perlu dilepas dan dipasang kembali di bagian atasnya. Sebelum melepasnya, pasang satu karabiner lain di tangga besi. Jangan melepas dua karabiner sekaligus.

Kami mulai pemanjatan sekitar pukul 10 pagi. Namun, kata pemandu terlalu siang untuk melakukan pemanjatan. Biasanya pemanjatan dimulai sekitar pukul 07.00 atau 08.00, bahkan bisa lebih pagi lagi. Ada juga yang melakukan pemanjatan di sore hari.

Untuk via ferrata Gunung Parang ada dua titik ketinggian, yaitu ketinggian 300 meter dan puncak yang berada di ketinggian 900 meter. Di antara kami hanya ada setengahnya yang ingin mencapai puncak, termasuk saya. Saya penasaran dengan pemandangan dari puncak Gunung Parang.

Saya berada di urutan kedua saat pemanjatan, sedangkan yang terdepan adalah peserta pria satu-satunya dalam trip ini. Adapun pemandu kami berpindah-pindah posisi, mulai dari paling depan, tengah, atau belakang. Namun, ia lebih sering berada di belakang, membimbing salah satu peserta yang memiliki ketakutan terhadap ketinggian. Salah satu teman tersebut mengakui ingin menantang diri melawan fobia ketinggian.

Meskipun panjat tebing tergolong salah satu kegiatan yang dapat memacu adrenalin, tapi perjalanan kali ini justru menjadi rekreasi menyenangkan. Teman-teman yang seru, bahkan sejak pertama kenal tampak tidak canggung satu sama lain. Banyak topik yang kami bahas selama perjalanan. Ditambah pemandu kami yang juga bisa menambah cair suasana.

Tangga besi di jalur pemanjatan tidak selamanya vertikal, beberapa kali kami berjalan horizontal. Perpindahan dari jalur vertikal menjadi horizontal atau sebaliknya lumayan menantang dan butuh konsentrasi lebih. Terkadang pemandu sampai harus memastikan kondisi kami aman.

Selain tentang arahan, urusan dokumentasi juga menjadi yang utama. Setiap beberapa meter atau pada titik tertentu, kami berhenti untuk dipotret secara bergantian oleh pemandu. Hasil foto dan video menunjukkan kualitas pemandu kami yang sudah menguasai medan dan paham angle fotografi.

Salah satu titik foto yang berada di Gunung Parang adalah gua. Awalnya para peserta bingung dan bertanya-tanya, “Mana gua-nya?”. Sebab, kami hanya melihat cekungan yang berada di tebing. Setelah pemandu memotret kami di pinggir cekungan tersebut, hasil foto menunjukkan bahwa kami memang tampak seperti sedang berfoto di mulut gua.

Cuaca Mendadak Kurang Bersahabat

Ketika di tengah perjalanan langit mulai berubah gelap dan terdengar suara petir. Pemandu memutuskan bahwa rombongan hanya akan sampai di titik 300 m saja, lalu kembali turun. Beberapa orang yang ingin mencapai puncak harus mengurungkan niatnya.

Mungkin alasan 300 m menjadi salah satu titik ketinggian di Gunung Parang, karena terdapat kondisi landai dan tumbuh pepohonan, yang bisa dijadikan tempat beristirahat. Di antara pohon dan rumput yang ada, kami dapat melihat lanskap Purwakarta dengan Waduk Jatiluhur, Gunung Bongkok, Gunung Lembu, serta lahan dan permukiman warga.

Kami saling berbagi minuman dan makanan bekal yang dibawa dari basecamp, sesekali topik obrolan terlempar dari satu orang ke yang lainnya. Tiba-tiba pemandu kami berinisiatif membuat video dance di pinggir tebing. “Biar ada dokumentasi yang berbeda”, ungkapnya meminta kami menari. Akhirnya kami sibuk menentukan gerakan dance yang tepat. Kami berdiri dan berjajar pada tangga-tangga besi horizontal. Butuh beberapa kali briefing dan take untuk mendapatkan gerakan yang kompak.

Tidak jauh dari lokasi tersebut, kami mengambil dokumentasi terakhir di atas tebing. Setiap orang bergantian duduk di pinggir tebing yang bentuknya sedikit condong ke depan, lalu dipotret dari samping berjarak beberapa meter oleh pemandu. Hasilnya, orang dalam foto berbentuk siluet kecil di tengah hamparan pemandangan alam yang luar biasa.

Kami tidak berlama-lama karena langit semakin gelap. Saat mulai menuruni tangga, gerimis turun dan petir semakin menghantui langkah kami. Arahan dari pemandu, saat ada petir upayakan tidak memegang kabel baja yang melintang, karena berpotensi menghantarkan aliran listrik.

Berpacu dengan Adrenalin dan Cuaca di “Via Ferrata” Gunung Parang
Pemandangan Waduk Jatiluhur/Nita Chaerunisa

Perjalanan Turun yang Lebih Menantang

Berbeda dengan naik, saat turun kami berupaya untuk sampai bawah secepat mungkin, tidak ada titik pemberhentian. Tergantung kecepatan setiap orang dalam menuruni tangga besi itu. Jalur yang dilalui pun berbeda, didominasi tangga vertikal dan hanya ada beberapa tangga horizontal. serta minim titik landai untuk beristirahat. Menurut saya, jalur seperti ini mempercepat proses turun.

Saat itu saya berada di urutan keempat. Peserta laki-laki tadi bergerak lebih cepat dibanding yang lain, lalu dua orang teman juga bergerak menyusul setelahnya. Saya menjaga kecepatan agak berjarak dengan mereka dan dua teman lain di belakang. Karena perbedaan jarak, kami harus berteriak untuk memastikan kondisi masing-masing. Satu peserta yang takut dengan ketinggian berada di urutan terakhir, dibimbing penuh oleh pemandu. Rasa takut ketinggian yang dimiliki sepertinya lebih terpacu saat turun, karena harus selalu melihat ke bawah untuk memastikan dapat memijak tangga dengan tepat. 

Setibanya di bawah, saya beristirahat seorang diri sejenak di bangku bambu, yang tepat berada dekat pijakan terakhir tangga besi via ferrata. Tiga teman paling depan tadi sepertinya sudah lebih dahulu bergerak ke basecamp, sedangkan dua lainnya masih berada di jalur turun.

Waktu itu kepala saya sedikit pusing, mungkin karena harus mengatur ritme langkah sambil menyeimbangkan penglihatan ke bawah, dan kesigapan tangan memindahkan karabiner ke setiap tangga. Apalagi hujan semakin lebat. Untungnya masih ada sisa air minum di tas yang bisa membantu menenangkan diri saya. Setelah merasa tenang, saya meneruskan perjalanan menuju basecamp.

Di basecamp, kami menunggu sampai semua orang berkumpul, lalu lanjut makan siang bersama. Pihak open trip sudah menyiapkan makan siang untuk para peserta. Meskipun bisa dibilang terlambat, karena waktu hampir menunjukkan pukul 15.00. Nasi hangat, ayam goreng, sayur asem, tempe, tahu, sambal, dan lalap yang dimasak ibu warung di basecamp menutup perjalanan kami di Gunung Parang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar