Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), ada 3.466 kejadian bencana alam di Indonesia, dengan korban lebih dari 10 juta jiwa, dari tahun 2018 hingga 2019 ini. Lebih dari setengahnya berkaitan dengan pegunungan, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi vulkanik, hingga letusan gunung berapi.
Baru-baru ini (16 Maret 2019) bencana banjir bandang disertai tanah longsor melanda Sentani, Jayapura, dan meluluhlantakkan 350 rumah di distrik tersebut. Banjir yang datang diakibatkan oleh gundulnya hutan di Pegunungan Cycloop; curah hujan yang tinggi tak lagi bisa ditampung. Danau Sentani yang berada dekat cagar alam pegunungan tersebut pun meluap. Para korban menyebut banjir bandang Sentani sebagai “banjir terparah di Jayapura.” Sebenarnya, bencana serupa juga pernah terjadi di Papua sembilan tahun silam. Tahun 2010, banjir bandang memorak-porandakan Wasior, Papua Barat, dengan deforestasi sebagai penyebab utama.
Bencana tanah longsor dan banjir bandang erat kaitannya dengan ekosistem pegunungan. Topografi, karakter tanah, dan struktur vegetasi di kawasan pegunungan sangat berpengaruh terhadap kerawanan suatu kawasan. Jika suatu daerah berada di kawasan rawan banjir (floodplain area) seperti Sentani, bencana-bencana tersebut memang menjadi tak terhindarkan apabila curah hujan melebihi batas daya tampung.
Di wilayah administratif Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura, di mana Pegunungan Cycloop berada, setidaknya ada sekitar 2.415 titik yang semestinya menjadi daerah tangkapan air (DTA) malah digunakan sebagai permukiman dan pertanian lahan-kering campur. Selain itu juga terjadi pembukaan lahan untuk kebutuhan kayu dan galian tambang.
Perubahan lanskap pegunungan yang signifikan karena pembukaan kawasan hutan, baik untuk permukiman, pertanian, wisata, pertambangan, dsb., meningkatkan potensi kerawanan bencana. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh permukiman di atas gunung namun juga di bawah. Malah, bencana alam seperti banjir justru lebih banyak dirasakan di hilir.
Kondisi geografis Indonesia
Di samping banjir bandang dan tanah longsor akibat penggundulan hutan, Indonesia pun mesti ekstra waspada terhadap fenomena lain seperti erupsi gunung berapi dan gempa bumi sebab negeri ini berada di Gugusan Cincin Api (Ring of Fire). Terlebih ketika fenomena akibat aktivitas vulkanik dan tektonik seperti itu belum dapat diprediksi dan sewaktu-waktu dapat terjadi dan mengancam daerah-daerah rawan bencana.
Melihat kenyataan tersebut, demi meminimalisasi risiko dan dampak bencana alam, sudah selayaknya kita mengakrabkan diri dengan kegiatan-kegiatan mitigasi sekaligus meningkatkan ketahanan kita sebagai masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Pentingnya mitigasi dan peningkatan kesiagaan
Ketika bencana sudah tidak terhindarkan, kegiatan mitigasi dan kesiapan masyarakat untuk menghadapinya dapat menekan dampak yang ditimbulkan. Kami dari Tanah Tinggi* memandang bahwa kesiapsiagaan dan ketahanan masyarakat terhadap bencana di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat terdampak bencana terhadap bantuan pemerintah maupun pihak lain. Selain itu, dampak pascabencana, seperti banjir dan tanah longsor, semakin diperparah dengan ketiadaan aksi pencegahan yang seharusnya dilakukan.
Menyiapkan masyarakat yang siaga dan lebih tangguh terhadap bencana sangatlah penting. Kegiatan edukasi menjadi jalan yang cukup praktis untuk mendidik dan meningkatkan keterampilan masyarakat. Tidak harus melulu pemerintah, komunitas-komunitas sosial dan organisasi kemasyarakatan juga dapat mulai melirik kegiatan preventif seperti ini, di samping kegiatan sosial menyalurkan bantuan kepada korban bencana.
Sebagai contoh, saat terjadi banjir sering kali air membawa sampah yang sebelumnya menumpuk di sekitar lingkungan. Sampah-sampah itu membuat lingkungan pascabanjir semakin tidak sehat. Penyakit-penyakit yang menyertai pun kemudian menyerang korban. Keadaan seperti ini dapat dihindari apabila masyarakat memiliki pengetahuan dan kemampuan pengelolaan sampah yang baik.
Menurut Deny Hidayati, peneliti bidang ekologi manusia LIPI, ada tiga aspek yang penting dalam menciptakan masyarakat yang siaga dan berpegas (resilient) terhadap bencana. Pertama, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang potensi bencana di daerah masing-masing. Kedua, tentang sistem peringatan dini yang perlu dibangun. Ketiga adalah penyediaan sumber daya darurat agar masyarakat dapat mandiri sebelum bantuan datang. Dengan demikian, diharapkan risiko bencana dapat ditekan dan dampaknya dapat diminimalisasi.
Hutan dan satwa gunung yang lestari adalah kunci
Lebatnya hutan di pegunungan secara signifikan mengurangi risiko air limpahan (runoff) yang menyebabkan banjir, meningkatkan daya serap air hujan (infiltrasi), dan mengurangi risiko erosi dan longsor ketika curah hujan sangat tinggi di musim tertentu. Kombinasi topografi dan struktur hutan di pegunungan juga telah terbukti dapat menjaga kestabilan iklim lokal dan turut mengurangi jumlah karbon—yang menjadi biang kerok pemanasan global—di atmosfer secara signifikan. Apabila dikaitkan dengan tsunami, keberadaan hutan pesisir seperti bakau (mangrove) juga terbukti dapat meredam dampak gelombang besar yang menghempas daratan sehingga menurunkan tingkat keparahan dampak bencana.
Satwa juga memegang peranan penting dalam hal ini. Berkurangnya populasi burung secara drastis di ekosistem gunung dapat menurunkan tingkat penyebaran tanaman yang selama ini dibantu oleh mereka. Apabila populasi burung habis, dikhawatirkan struktur hutan lambat laun akan berubah dan risiko bencana tetap menghantui walaupun pembukaan lahan tidak dilakukan. Satwa liar seperti burung dan mamalia juga merupakan alarm alami ketika terjadi bencana. Kita patut waspada ketika melihat migrasi satwa secara mendadak di suatu kawasan pegunungan. Melihat tanda-tanda alam dapat membuat kita menjadi lebih sigap dalam bertindak.
Apa yang bisa kita lakukan?
Sampailah kita pada pertanyaan: lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Tidak melakukan pembukaan lahan hutan baru di pegunungan dapat meminimalisasi bertambahnya luasan daerah rawan. Penghijauan kembali lahan terbuka juga selalu dapat mengurangi risiko bencana. Menghentikan aktivitas perburuan akan mempertahankan tingkat populasi hewan di hutan dan menjaga fungsi alami hewan-hewan tersebut—yang ternyata bermanfaat untuk manusia juga—di habitat alaminya.
Penulis: Muhammad Ridwan dan Novita Eka Syaputri
*) Didirikan pada 11 Desember 2018, Tanah Tinggi Highland Conservation adalah sebuah organisasi non-pemerintah dan non-profit yang berbasis di Jawa. Fokus Tanah Tinggi adalah isu-isu konservasi di wilayah pegunungan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Established on 11 December 2018, Tanah Tinggi Highland Conservation is a non-profit NGO that focuses on addressing conservation issue in mountain regions. Tanah Tinggi is dedicated to promote localized sustainable mountain management to protect its biodiversity and sustain its natural ecosystem. Through our three main approaches, research, education and community engagement, we seek for collaborative work with multilevel stakeholder and communities who are directly or indirectly related to mountain ecosystem.