Kabar yang tidak pernah kita nantikan datang dari Bali. Gunung Agung yang terakhir kali meletus tahun 1963 dulu kembali beraktivitas. Aktivitas Gunung Agung meningkat jadi level IV (Awas). Warga sekitar Kawasan Rawan Bencana (KRB) 1 yang berada di zona 0 – 6 km, KRB 2 yang berada di zona 6 – 9 km dan KRB 3 yang berada di zona 9 -12 km harus mengungsi ke tempat yang lebih aman. Desa Amed di pesisir Kabupaten Karangasem yang diluar zona KRB menjadi salah satu titik pengungsian.
Mengintip kondisi pos pengungsian Gunung Agung di Amed
Di Amed, atas instruksi otoritas lokal, didirikan sebuah pos induk yang sampai sekarang sudah dihuni oleh sekitar 800 pengungsi. Di bangunan banjar yang tidak terlalu besar itu, bersama anak-anak, remaja, dan orang dewasa, juga ada lebih dari 40 orang bayi.
Sampai kapan mereka di sana, belum ada yang bisa memastikan. “Kalau kita berkaca pada letusan Gunung Agung tahun 1963…. durasinya bahkan 1 tahun,” tutur Komang Bajing, seorang tokoh pejalan di Bali yang akrab disapa Bli Komang, pemilik restoran di Amed yang—mengingat terbatasnya kapasitas balai banjar—atas persetujuan perbekel setempat menjadikan restorannya sebagai salah satu pos pengungsian.
Pos pengungsian Taman Bebek
Bli Komang menjadikan Restoran Taman Bebek sebagai pos pengungsian karena prihatin melihat terbatasnya kapasitas balai banjar. “Tempatnya kecil…. panas, sedikit berdebu,” ujar Bli Komang.
Ada dua titik yang dikelola Bli Komang, Pos 1 di Taman Bebek Hita sementara Pos 2 di Jemeluk. “Sampai hari ini yang sudah terdaftar 185 jiwa. Orang dewasa, laki perempuan, anak-anak usia sekolah dari SD sampai SMA,” ungkap Bli Komang saat diwawancara.
Fasilitas di kedua pos itu cukup memadai. Di Pos Taman Bebek sendiri disediakan 6 fasilitas MCK. Selain itu, agar para pengungsi bisa memantau situasi terkini, juga disediakan televisi.
Kegiatan sehari-hari para pengungsi
Kondisi di posko pengungsian cukup kondusif. Namun, para pengungsi yang sebagian besar berasal dari KRB 2 masih mengkhawatirkan ternak yang terpaksa mereka tinggalkan di rumah. “(Mereka) masih juga pulang nengok ternak sapinya, kambingnya, ayamnya,” jelas Bli Komang.
Garis pantai Amed yang biasanya penuh wisatawan, terutama para penyelam, sekarang menjadi tempat pengungsi usia remaja untuk bermain bola.
Hal yang perlu diapresiasi adalah anak-anak usia sekolah bisa terus belajar di sekolah sekitar lokasi pengungsian, bahkan diberikan fasilitas seperti seragam.
Komang Bajing justru mengkhawatirkan anak-anak berusia balita. “Yang susah itu adalah anak-anak yang di bawah usia 5 tahun, (yang merasa) jenuh…. sumuk. Makanya Bli sudah mulai pikirkan (untuk menyediakan) anak-anak mainan, seperti bola,” ungkapnya.
Tentang kebutuhan para pengungsi
Kebutuhan yang paling mendesak sekarang adalah masker dan bahan-bahan makanan yang tahan lama seperti beras dan telur, yang semakin hari semakin susah didapatkan di Amed dan sekitarnya. Jika ingin membantu para pengungsi di Amed, akan lebih baik jika kamu langsung memberikan logistik ketimbang uang. Dan kesulitan lain yang di hadapi bli Komang adalah meyakinkan warga yang berada di KRB 3 untuk segera mengungsi. Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Komang Bajing di +62 812 4667 752. (SM/FA)
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.
1 Comment