Taman Nasional Ujung Kulon, yang tercatat sebagai situs Warisan Alam Dunia oleh UNESCO pada 1991, menawarkan ragam aktivitas jelajah alam yang komplet. Mulai dari berselancar, menyelam, snorkeling, trekking, hingga mengamati satwa dan berbagai jenis flora.
Kawasan taman nasional tertua di Indonesia ini terletak di ujung barat daya Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Luasnya 120.551 hektar, yang mana 76.214 hektar di antaranya digunakan untuk konservasi flora dan fauna, lalu sisanya menjadi bagian dari laut sebagai konservasi kelautan. Wilayah Taman Nasional Ujung Kulon mencakup beberapa cagar alam, yaitu Pulau Peucang, Pulau Handeuleum, Pulau Panaitan, Gunung Honje, dan Semenanjung Ujung Kulon.
Saya dan teman-teman berkesempatan mengunjungi dua pulau yang indah pada awal Oktober lalu. Kami berangkat dari Jakarta melalui rute Serang—Pandeglang—Labuan—Sumur. Waktu tempuh perjalanan dari Jakarta menuju Kecamatan Sumur kurang lebih tujuh jam.
Perjalanan darat berakhir di Desa Sumur. Setelah itu kami harus menggunakan moda transportasi kapal. Dari dermaga di Kecamatan Sumur ini, kami menyewa kapal nelayan yang menuju ke Pulau Handeuleum dan Peucang.
Ketika kami tiba di pantai, laut sedang pasang sehingga tidak memungkinkan untuk naik kapal dari bibir pantai. Kami terpaksa harus berjalan dulu ke tengah melewati air laut setinggi paha. Setelah semua penumpang naik, kapal jukung berisikan 15 orang pun melaju.
Kapal membelah lautan, angin berembus sepoi-sepoi, gugusan pulau dan birunya laut memanjakan netra. Sejam kemudian, kapal jukung nelayan berhenti. kami harus berganti kapal motor yang lebih tangguh menghadapi ombak yang deras dan angin kencang.
Perjalanan mengarungi lautan pun berlanjut. Sajian panorama indah menanti dieksplorasi. Kami berhenti di titik yang menawarkan panorama laut yang aduhai. Miniatur badak, ikon Taman Nasional Ujung Kulon terlihat di permukaan air laut yang jernih. Di sekelilingnya berhias terumbu karang buatan. Aneka warna ikan-ikan yang menawan membuat hati ingin segera menjelajahi keindahan bawah laut lebih dalam lagi.
Mengarungi Sungai Cigenter
Setelah ber-snorkeling kami kembali ke kapal untuk meneruskan perjalanan ke Pulau Handeuleum. Pulau ini menarik karena dipenuhi mangrove. Dari informasi petugas Taman Nasional Ujung Kulon yang mendampingi kami, hutan mangrove yang berada di sekitar Pulau Handeleum didominasi oleh tiga jenis vegetasi mangrove, yaitu api-api (Avicennia), pidada (Sonneratia), dan bakau (Rhizophora).
Jenis-jenis bakau tersebut tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak laut. Namun, tanaman ini tidak hanya berfungsi menahan erosi saja, tetapi juga sebagai tempat berkembang biaknya ikan, kepiting, dan udang.
Menariknya lagi, di pulau ini kami bisa merasakan sensasi mengarungi Sungai Cigenter dengan menggunakan kano. Perahu kano yang terbuat dari kayu itu bisa mengangkut tujuh orang. Kami mendayung melewati hutan lebat tropis dan melihat berbagai tanaman dan hewan yang berada di kanan dan kiri tepi sungai.
Di bagian hilir banyak kami jumpai pohon dahon, mangrove, dan gebang. Semakin ke hulu semakin beragam dan didominasi oleh tanaman keras, seperti kiara dan langkap. Adapun fauna di kawasan ini banyak terdapat aneka jenis burung, biawak, babi hutan, badak, dan buaya—kerap disebut “penganten” oleh masyarakat Ujung Kulon.
Menuju Pulau Peucang
Hari beranjak siang. Kami kembali ke kapal untuk meneruskan perjalanan ke Pulau Peucang, tempat menginap nanti. Kami menikmati perjalanan sambil menyantap makan siang yang sudah disiapkan.
Perjalanan ke Pulau Peucang masih sekitar tiga jam. Kami mengisi jeda waktu dengan ngobrol, berfoto, dan menikmati suguhan panorama alam. Di kejauhan kami melihat Pulau Panaitan yang menjadi favorit para peselancar. Kami menyaksikan keseruan para peselancar bermain ombak. Panaitan dikenal memiliki ombak bagus yang sering disebut kalangan para penikmat surfing sebagai “one palm point”.
Sore menyambut ketika kami tiba di Pulau Peucang. Perjalanan cukup melelahkan, tetapi terbayar kontan dengan keindahan yang tersaji di depan mata. Hamparan pasir putih yang lembut dan jernihnya air yang memperlihatkan ikan-ikan dengan beragam warna. Tak sabar rasanya untuk segera bermain-main di bersama mereka. Namun, kami menundanya terlebih dahulu. Tas dan barang harus segera diturunkan dari kapal.
Kami melangkah menuju dermaga. Dari kejauhan terlihat dinding ucapan “Selamat datang di Pulau Peucang”. Suasana damai dan tenang terasa sejak menjejakkan kaki di pulau mungil yang diteduhi pepohonan ini.
Pulau Peucang, yang mengambil nama dari hewan sejenis siput yang sering ditemukan di area pantai, memiliki luas 450 hektar. Terdapat aneka flora dan fauna yang kami temukan di sini. Saat menuju penginapan, kami bertemu dengan monyet-monyet berekor panjang yang asyik dengan makanannya. Kami tak perlu khawatir, karena mereka jinak dan tidak usil seperti kera-kera yang ada di Sangeh, Bali. Di sini juga ada rusa, kijang, merak, dan babi hutan.
Berburu Sunset di Karang Copong
Usai istirahat sejenak di penginapan, kami bersiap memburu sunset di Karang Copong. Tempat ini merupakan bukit koral besar yang terletak di dekat pantai. Copong dalam bahasa Sunda berarti bolong atau berlubang. Nah, di tengah bukit koral itu terdapat lubang besar akibat abrasi air laut. Uniknya, bukit ini seolah terpisah dari pulau ketika laut sedang pasang. Namun, begitu air surut kami dapat menyeberanginya bahkan bisa naik ke puncak karang.
Untuk mencapai Karang Copong kami harus menempuh perjalanan sekitar satu jam menembus hutan dari Pulau Peucang. Kami melewati pohon-pohon yang sudah langka, seperti merbau, bungur, palahlar, trembesi, cerlang, dan kiara atau beringin pencekik yang konon usianya sudah 100 tahun.
Setelah berjalan sekitar satu jam menembus hutan dan menyusuri pantai, kami menemukan tempat tersembunyi yang menyuguhkan pemandangan laut dan Karang Copong di atas bukit. Air lautnya berwarna biru jernih, membuat kami mampu memandangi kehidupan bawah laut tanpa harus menyelam. Di atas bukit karang yang tepat menghadap barat tersebut kami menikmati pesona sang surya meluruhkan sinarnya.
Langit mulai redup tanda kami harus kembali ke penginapan. Kami kembali menembus hutan dengan senter di tangan sebagai pemandu. Setelah mandi dan makan malam kami tertidur pulas.
Padang Rumput Cidaon, Habitat Banyak Satwa
Keesokan harinya kami bersiap pulang ke Jakarta. Dalam perjalanan kami akan menyambangi tempat-tempat menarik lainnya yang ada di area Taman Nasional Ujung Kulon. Destinasi pertama kami adalah padang rumput Cidaon.
Padang rumput Cidaon merupakan habitat bagi banyak satwa liar, seperti banteng, merak, rusa, dan ayam hutan. Cidaon merupakan padang penggembalaan buatan untuk menunjang mata rantai kehidupan fauna di Ujung Kulon.
Biasanya satwa-satwa liar itu beraktivitas mulai pukul 06.00 hingga 07.30 WIB dan sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Untuk menuju ke tempat ini bisa menggunakan perahu dari Pulau Peucang dan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan. Selain jalur laut, Cidaon juga dapat ditempuh melalui jalur darat.
Dari Cidaon kami melanjutkan perjalanan ke Cibunar, padang sabana luas yang menjadi tempat makan banteng-banteng liar. Padang sabana ini hanya dibatasi oleh bongkahan batu karang yang besar dari laut. Ada juga muara sungai air tawar dan hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai.
Perjalanan pulang kami tempuh dengan berlayar kembali menuju daratan di Desa Sumur. Di sela-sela perjalanan, kami sempatkan berhenti untuk snorkeling jika menemukan lokasi yang bagus untuk melihat aneka biota di bawah laut.
Kami tiba di Desa Sumur menjelang Asar. Kami pun menyempatkan diri untuk mandi dan berganti baju bersih. Bus yang akan mengantar kami ke Jakarta sudah siap di tempat.
Selamat tinggal, Ujung Kulon! Kenangan indah di sana akan selalu terpatri di hati kami.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Mantan jurnalis yang masih suka nulis dan healing tipis-tipis .