Travelog

Meniti Langkah di Gunung Timau

Obrolan perlahan berganti sunyi yang kini lebih sering merambat di antara kami berempat.  Semangat menggebu, yang memberi energi selama perjalanan jauh dari Kota Kupang, kini kian meredup. Apa mau dikata, malam ini pendakian Gunung Timau benar-benar berakhir tidak sesuai rencana.

Kekecewaan menyelinap seperti kabut malam menyelimuti puncak yang tidak jauh lagi. Sudah hampir dua jam lamanya, kami berempat—saya, Hersa, Bryan, dan Ari—terduduk di pos penjagaan Gunung Timau, Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Portal tertutup tanpa ada satu pun penjaga yang berada di sana. Hanya ada sedikit cahaya lampu cas yang menerangi ruangan pos. Sepintas ruangan ini tampak baru saja ditinggalkan, mungkin beberapa puluh menit sebelum ketibaan kami. Ke mana perginya para penjaga? Pikiran kami menebak kemungkinan demi kemungkinan.

Kami sama-sama tahu, beberapa rombongan sebelumnya tidak diizinkan mendaki musabab kendala perizinan di sini. Bagi kami, jika tidak diizinkan mendaki, paling tidak kami mendapat kepastian dari petugas yang berjaga.

Menit demi menit terus berlalu, harapan kami semakin tipis. Dua tas carrier besar berisi peralatan kemah dan logistik tergeletak begitu saja, sementara dua sepeda motor terparkir lepas di depan portal masuk Gunung Timau.

Malam menjadi semakin sunyi. Hanya desiran angin dan suara binatang malam yang mengisi keheningan. Jaringan internet pun menghilang sejak kami tiba, meninggalkan notifikasi layanan roaming dengan promo internet Timor Leste. Padahal kami masih berada di Amfoang Tengah.

Harapan kami untuk mendaki akhirnya sirna. Tidak jauh dari tempat duduk kami, Ari menemukan sebuah papan kecil bertuliskan: “MOHON MAAF!!! KAMI TIDAK MENERIMA TAMU YANG INGIN BERKEMPING/PIKNIK, FOTO2 DI LOKASI INI. HARAP MAKLUM. TRIMS.”

Tak ada diskusi lebih lanjut. Dengan hati berat kami meninggalkan tempat itu.

Bermalam di Lelogama

Lelogama menjadi keuntungan tersendiri bagi kami berempat. Keberadaan bukitnya, yang belakangan menjadi salah satu lokasi camping favorit, menjadi tempat kami bermalam. Kembali ke Kupang jelas bukanlah pilihan. Menempuh perjalanan jauh di malam hari, dengan rasa lelah selama perjalanan datang, membuat kami memilih berkemah di Bukit Lelogama.

Saya menyusul Ari memarkir kendaraan, dengan sedikit keraguan yang seketika menguasai saya. Melepas kendaraan terparkir di pinggir jalan yang sepi, jauh dari pemukiman dan tempat kami mendirikan tenda, bagi saya sangatlah riskan.

“Aman, Os. Parkir di sini sonde apa-apa,” kata Hersa meyakinkan saya. Itu tidak segera membuat saya tenang, meski setang motor pun telah dikunci. Semoga saja aman, pikir saya sembari mengikuti langkah mereka menapaki Bukit Lelogama. 

Tak menunggu lama, kami mulai mendirikan tenda dengan cahaya senter menjadi penerang. Beres makan malam, saya dan Ari berbincang di dekat perapian, sementara Hersa dan Bryan berada sedikit jauh dari kami. Keduanya tampak serius membahas rasi bintang dan beberapa hal lain, sambil memotret langit Lelogama dengan pemandangan langit bertabur bintang yang menakjubkan. 

Malam kami di Lelogama berjalan panjang. Obrolan beragam topik, dengan tawa yang bersahutan sama lain, mengisi waktu menjelang tidur malam.

“Besok pagi buka mata, pas-pas Timau pung puncak ada di depan sana,” ujar Hersa. Saya menimpali dengan kata-kata penguatan, meski kesempatan pendakian gunung pertama saya pun harus tertunda.

Meniti Langkah di Gunung Timau
Bryan bersama Andre (kiri), anak lokal di Lelogama/Oswald Kosfraedi

Tengah malam, Lelogama kian sunyi. Menit-menit berikutnya, satu per satu dari kami akhirnya terlelap.

Keesokan paginya, saya terbangun lebih awal. Ringkik kuda yang melintas tak jauh dari tenda membuat saya seketika tersadar. Beres menenggak air mineral, saya beranjak keluar tenda. Menikmati udara pagi yang terasa begitu segar.

Pandangan saya beralih. Gunung Timau kini tampak di kejauhan, tepat seperti yang Hersa katakan semalam. Belasan menit kemudian, Ari akhirnya bangun. Diikuti Bryan yang mungkin tersadar setelah saya menggoyang-goyangkan tenda pagi itu. Hanya Hersa yang kembali tidur meski sempat tersadar sebentar. “Ada stres gagal muncak tuh,” ujar Bryan mencandai Hersa yang kembali terlelap.

Matahari yang kian meninggi membuat panas mulai terasa. Saya, Ari, dan Bryan sempat mengitari Lelogama yang tampak kering di tengah kemarau panjang. Beberapa jam kemudian, anak-anak setempat—Ofni, Andi, dan Andre—kemudian bergabung bersama kami. 

Sembari mengemas barang, kami menanyai mereka banyak hal selalu dijawab ala kadarnya. Belum lagi Ofni, yang lebih sering menanggapi kami dengan bahasa Dawan yang tentu tidak kami pahami. Sesekali tawa kami pecah mendengar jawaban kocak mereka, juga pertanyaan nyeleneh yang dilemparkan Bryan.

Tepat sebelum beranjak, Ofni menyarankan kami untuk mengunjungi Bukit Salib. “Di sana bagus kalau foto,” katanya bersemangat.

Kami berempat pun sepakat. Tak lupa berpamitan dengan mereka bertiga, kami lantas melaju kembali menyusuri jalur jalan ke arah Gunung Timau, sebab bukit Salib berada tepat sebelum kawasan hutan di kaki Gunung Timau.

Kembali Mencoba Keberuntungan di Gunung Timau

Beberapa ratus meter sebelum tiba di bukit Salib, ide berani kembali terbersit: mencoba keberuntungan di Gunung Timau. Bila menimbang waktu, rasanya ini akan sangat melelahkan bila kami harus melakukan pendakian tengah hari seperti ini. Belum lagi semalam kami hanya tertidur beberapa jam. Namun, itu sama sekali tak menjadi halangan, yang terpenting adalah kami bisa bertemu penjaga pos dan selanjutnya semoga saja diperkenankan mendaki.

Sepeda motor kami kembali melaju hingga tiba di pos penjagaan. Seorang petugas menghampiri kami. Hersa dan Bryan berbincang sebentar dengan petugas, sementara saya dan Ari sibuk membersihkan sepatbor motor yang dipenuhi tanah. 

Siang hari itu, keberuntungan berpihak pada kami. Petugas mengizinkan kami mendaki.

Penjagaan di Gunung Timau memang terbilang cukup ketat. Ini tentu bisa dimengerti, sebab tak jauh dari pos penjagaan berdiri Observatorium Nasional Timau, yang merupakan salah satu pusat pengamatan antariksa nasional. Siang hari itu kami melintasi observatorium tersebut, yang desainnya berbentuk bangunan bulat hijau dan beratap seperti kubah berwarna perak.

Bangunan kokoh di tengah kawasan hutan asri menjadikannya tampak begitu unik. Menurut beberapa sumber, pemilihan lokasi pengamatan antariksa ini tidak terlepas dari keberadaan lokasi tersebut, yang memiliki waktu langit paling cerah terbanyak dalam setahun dibanding tempat lain.

Tak jauh dari lokasi observatorium, tepat di batas aspal, kami memarkir kendaraan sesuai arahan petugas penjaga. Berdasarkan informasi Hersa dan Ari, yang sebelumnya pernah mendaki di sini, kami terlebih dahulu harus berjalan menuju titik start pendakian yang berada di dekat bumi perkemahan.

Meniti Langkah di Gunung Timau
Hersa meniti jalur pendakian ke puncak/Oswald Kosfraedi

Jauh sebelum pendakian ini benar-benar terlaksana, Hersa membohongi saya dengan mengatakan bahwa pendakian memakan waktu setengah hari. Ari sempat mengiyakan penjelasan Hersa, meski dengan sedikit ragu-ragu. Baru semalam mereka menjelaskan durasi pendakian Timau yang sebenarnya hanya memakan waktu satu sampai dua jam. Timau memang tidak terlalu tinggi, tetapi karena saya ikut mendaki, menurut mereka waktu tempuh bisa jadi lebih lama.

Langkah kami mulai menapaki jalan tanah dan berbatu. Beberapa ratus meter berikutnya, kami melintasi sebuah pasar tradisional yang terletak di tengah hutan Gunung Timau. Sebagai pendakian pertama, dengan persiapan minim dan kondisi fisik yang sebenarnya belum siap untuk melakukan pendakian, saya lebih banyak berhenti dan memaksa mereka bertiga untuk menyesuaikan. 

Jalan yang kami lintasi cukup lebar, dengan sedikit aspal yang masih tampak di beberapa titik. Sependek yang saya tahu, menurut penuturan beberapa orang, jalur tersebut adalah jalan menuju desa-desa di Kecamatan Amfoang Utara. Meski kondisinya sudah rusak parah, siang hari itu kami berpapasan dengan beberapa warga lokal yang mengendarai sepeda motor.

Tertatih Menuju Puncak

Tiba di titik start pendakian, kami berhenti sekitar belasan menit sebelum memulai pendakian. Setelahnya kami mulai berjalan melintasi jalur yang didominasi batuan, dengan beberapa titik yang cukup curam. Jalur pendakian Gunung Timau sebenarnya tidak terlalu panjang, tetapi cukup menantang dengan kontur tanah berbatu yang membuat kami harus sedikit memanjat.

Sudah tentu kondisi jalur seperti itu membuat saya menjadi lebih sering berhenti. Bahkan beberapa kali saya sempat meminta untuk tinggal dan menunggu mereka bertiga kembali dari puncak. Tentu saja ketiganya menolak, walau di saat bersamaan juga sama sekali tidak memaksa. Ketiganya dengan sabar menunggu setiap kali saya berhenti lama. 

Seiring langkah kami, udara segar di ketinggian dan pemandangan alam sekitar perlahan mulai memberikan energi positif. Pada setiap istirahat, kami saling berbagi cerita dan tawa, menciptakan suasana penuh keakraban sekaligus memori untuk dikenang. Meski awalnya ragu, saya kian yakin bahwa puncak adalah tujuan yang seiring waktu akan memberikan kepuasan tak tertandingi.

Kabut perlahan melingkupi saat puncak sudah tampak di depan mata. Namun, pendakian belum berakhir. Dengan segala energi yang tersisa, kami kembali melangkah menyusuri trek menanjak dengan batu-batu kecil berserakan. 

Di puncak, gerimis menyambut kami bersamaan dengan kabut yang kian tebal. Senyum puas terpancar dari wajah kami berempat, meski pemandangan dari puncak Timau sepenuhnya tertutup kabut. Hersa, yang sejak semalam begitu kecewa karena gagal mendaki, kini tersenyum sumringah. Bryan pun sama, kerinduannya untuk kembali mendaki setelah rehat beberapa tahun terbayar di Timau. Ari masih tetap dengan lelucon-lelucon atau plesetan katanya yang ia bawa hingga ke puncak.  

Tawa menghias kebersamaan kami selama beberapa puluh menit berada di puncak. Tawa yang mengisyaratkan kebahagiaan atas keberhasilan menginjakkan kaki di titik tertinggi. Untuk kebersamaan yang hangat, serta  akhir yang manis dari sebuah kebulatan tekad dan keberanian untuk mencoba. Ada pengalaman baik, cerita kebersamaan, juga kenangan berharga yang kini kami bawa pulang dari Timau. 

Langkah kami turun kini terasa lebih santai. Tak peduli seberapa lelah, kami hanya bersiap untuk kembali ke Kupang. Sepeda motor melaju, melibas jalanan seiring gelap yang menjelang.

“Mulut asam e,” Bryan tiba-tiba bergumam. Saya baru menyadari stok rokok yang sudah habis di puncak. Itu pun batang terakhir yang terpaksa harus digilir berempat. Saya memacu kendaraan lebih cepat. Takari masih jauh dari sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.

Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang