IntervalPilihan Editor

Dilema Penyu dan Manusia (1)

Gulungan awan hitam sama sekali tak cocok dengan imajinasi tentang Bali sebagai pulau tropis yang hangat dan bermandi sinar matahari. Meski lebih sering cerah, langit Denpasar sesekali menangis, mengingatkan orang bahwa ini musim hujan. Seperti pada suatu pagi di bulan Januari, saat saya dan paman berjalan kaki di pantai Sanur.

Matahari masih malu-malu, tetapi pantai itu sudah riuh. Wisatawan lokal dan mancanegara berseliweran. Ada yang bersepeda, jogging, foto-foto, dan bersantai di pantai. Kami meneruskan langkah, merampungkan sekian kilometer yang ditargetkan paman. “Kaki itu fondasi tubuh. Kalau kakimu kuat, tubuhmu akan sehat,” katanya.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Pagi yang mendung di Pantai Sanur/Asief Abdi

Langit masih murung. Saya khawatir hujan akan turun. Tidak, mendung bukan pertanda hujan. Pandangan saya menyapu pantai. Kapal-kapal yang tertambat menjadi tempat kawanan pecuk bertengger. Ombak tampak ragu-ragu. Jika ingin berselancar, wisatawan harus sedikit ke tengah untuk mendapatkan gelombang yang cukup.

Sambil terus berjalan paman mengoceh soal kehidupan, menguliahi keponakannya tentang bagaimana menjadi bijak dalam menyikapi hidup. Lama-lama, saya memelankan langkah, membiarkannya berjalan duluan.

Meski tidak tinggal dan bekerja di sini, saya turut lega melihat Bali kembali hidup usai nyaris tiga tahun mati suri ditelan pandemi. Kafe dan bar kembali beroperasi, kursi dan meja ditata, payung-payung pantai kembali dibuka. Sebuah ekskavator merangkak di pasir. Lehernya berayun-ayun, mesinnya meraung mengganggu suasana pagi. Tak jauh dari alat berat itu, sesuatu menarik perhatian saya. Tempat pelestarian penyu. Saya melangkah masuk.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Tempat pelestarian penyu di Pantai Sanur/Asief Abdi

Pelestarian Penyu di Pantai Sanur

Baru kali ini saya berkunjung ke penangkaran penyu. Saya bahkan baru tahu jika tempat seperti itu ada. Di dalamnya, terdapat petak-petak kolam berisi penyu laut. Turis-turis tampak antusias melihat reptil bertempurung itu berenang menggunakan siripnya. Beberapa menjulurkan tangan, menyodorkan dedaunan atau ikan yang sudah dicincang pada hewan-hewan itu. Rasanya seperti berada di kebun binatang. 

Ada dua jenis penyu di situ, yaitu penyu sisik dan penyu lekang. Ukurannya beragam. Ada yang sedang, ada pula yang besar hingga sepertinya terlalu besar untuk berada di penangkaran. Pengunjung berdatangan. Anak-anak kecil menghambur, tak sabar ingin menengok hewan yang mungkin hanya pernah mereka lihat di Discovery Channel

Seorang laki-laki bertubuh besar menghampiri saya. Barangkali karena saya tampak sangat antusias dengan penyu-penyu itu. Kelak saya tahu bahwa ia adalah Made Winarta, sang pengelola. Saya taksir usianya sekitar 50 tahun.

“Suka hewan?” katanya.

“Iya, Pak,” jawab saya.

“Dari komunitas pencinta reptil?”

“Bukan, Pak. Saya turis.”

Kami kemudian duduk di tepi kolam dan mengobrol soal tempat itu, Pelestarian Penyu Sindu Dwarawati.

Pak Kadek—begitu ia minta disapa—mengaku sudah lima belas tahun bergelut dengan pelestarian penyu. Cukup lama hingga ia bisa mengenali jenis penyu hanya dari jejak sirip mereka di pasir. Ia berkisah soal perjuangannya membangun fasilitas pelestarian penyu lautnya itu.

“Awalnya saya pakai kotak styrofoam sederhana,” kata dia.

“Kotak ikan itu, Pak?” tanya saya.

“Iya, yang itu. Ya, syukur sekarang sudah bisa punya kolam.”

Seolah sepakat, pandangan kami tertuju pada kolam. Ia kemudian bercerita betapa senang dia saat menemukan penyu hijau di Sanur. “Bayangkan, dari awal saya mulai, baru tahun lalu ada penyu hijau bertelur di Sanur!” ujarnya penuh semangat.

Saya mengangguk-angguk. Pasti luar biasa rasanya menemukan reptil purba itu. Lebih-lebih jika hewan itu bukan sekadar binatang.

Dilema Penyu dan Manusia (1)
Pak Kadek dan penyu-penyu di fasilitas penangkarannya/Asief Abdi

Makna Kehadiran Penyu

Bagi Pak Kadek, penyu punya makna simbolis. Oleh karena itu, melestarikan penyu bukan perkara melindungi satwa langka belaka. “Penyu itu simbol bumi. Menjaga penyu berarti menjaga bumi,” kata dia.

Benar juga, penyu merupakan salah satu avatar Wisnu dalam kosmologi Hindu. Penyu bukan hewan melata semata, melainkan juga jelmaan dewata. Saya teringat arca penyu yang menghiasi candi-candi Hindu di lereng gunung Lawu. Benar-benar upaya mulia.

“Perjuangan saya ini seperti serpihan debu saja. Masih banyak yang perlu dilakukan,” ujar Pak Kadek. Rendah hati sekali, batin saya. Ia mengaku bahwa upayanya tak hanya untuk alam, tetapi juga demi negara. Pada gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 lalu, ia menyiapkan dua puluh ekor penyu untuk dilepasliarkan oleh delegasi masing-masing negara. “Biar dunia tahu kalau Indonesia berjuang untuk konservasi penyu,” katanya.

Sangat patriotis. Seperti yang diketahui, semua jenis penyu laut merupakan spesies dilindungi. Bagaimana tidak, bahaya datang dari mana-mana.

Berbagai jenis ancaman menghantui eksistensi penyu di muka bumi, mulai dari sedotan plastik dari meja makan, hingga bencana perubahan iklim. Di Bali, hiruk piruk orang di pantai merintangi penyu-penyu untuk berbiak. Menurut Pak Kadek, aktivitas wisatawan di pantai membuat struktur pasir memadat sehingga tukik kesulitan mencapai permukaan begitu menetas. Siapa yang akan sadar kalau ternyata ia sedang berdiri di atas sarang penyu? Selain itu, kata dia, polusi cahaya mengurungkan niat penyu untuk naik ke daratan saat hendak bertelur di malam hari.

Saya teringat pantai Jimbaran yang terang benderang, tempat saya makan semalam. Apa jadinya jika semua pantai di dunia disulap menjadi tempat gemerlap? Ke mana para penyu akan bertelur? Haruskah nasib mereka berakhir di penangkaran? Dan, bagaimana nasib penyu-penyu itu di sana?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.

Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (2)