Travelog

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali

Setelah menelusuri dua candi di Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, perjalanan saya berlanjut ke Dukuh Kunti, Desa Cabean Kunti. Masih satu kecamatan. Jaraknya sekitar 5,3 kilometer ke arah tenggara dari Gedangan.

Jika dicari melalui peta digital, Cabean Kunti berada di utara Desa Paras. Warga Paras sangat mengenal desa tersebut. Apabila ingin bertanya lokasi Petirtaan Cabean Kunti—tujuan saya kali ini—pasti diarahkan. Seperti yang saya lakukan tempo hari.

“Oh, itu, Mas! Ada papan petunjuk menuju MTs Negeri 7 Boyolali. Ikuti jalan itu saja terus. Nanti lewat tiga jembatan, nah jembatan yang ketiga [sudah masuk] kawasan Petirtaan Cabean Kunti,” salah satu warga memberi arahan.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Tampak Petirtaan Cabean Kunti sisi barat jembatan/Ibnu Rustamadji

Dari jalan utama Boyolali—Magelang, saya menyusuri jalan desa 10 menit saja. Setibanya di Dukuh Kunti, hilir mudik warga setempat setia mewarnai sepanjang perjalanan. Sisi kiri dan kanan jalan menuju dukuh tersebut terhampar perkebunan dengan beragam varietas. Hanya saja, tidak ada warga beraktivitas di pinggiran perkebunan yang bisa saya tanya. Mereka biasa berkebun di dalam.

“Ah, ya sudah. Pokoknya lurus ikut jalan ini dulu. Ketemu sesepuh baru bertanya,” batin saya.

Selama perjalanan, saya tidak menjumpai gapura tanda masuk pedukuhan. Padahal dukuh lainnya ada. Tidak butuh waktu lama, akhirnya saya tiba di Petirtaan Cabean Kunti. Tidak ada warga atau juru kunci di situs bersejarah ini.

Saya putuskan untuk segera menelusuri seluruh kawasan petirtaan. Tidak adanya warga dan minimnya informasi bukan suatu masalah bagi saya, asalkan bisa mengabadikan setiap jengkal perjalanan.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Akses menuju Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Peninggalan Wangsa Syailendra Sejak Abad ke-9

Cabean Kunti merupakan penamaan sumur mata air. Petirtaan Cabean Kunti memiliki sekitar tujuh sumber mata air sebagai sarana ibadah masyarakat Hindu dan Buddha di wilayah Cepogo. Ketujuh sumber tersebut bernama Sendang Jangkang, Sendang Sidotopo, Sendang Lerep, Sendang Kaprawiran, Sendang Panguripan, Sendang Kaputren, dan Sendang Samboja.

Ada dugaan tujuh sumur tersebut dibangun dan digunakan sezaman dengan Candi Lawang dan Candi Sari. Tujuannya terutama untuk mempermudah umat Hindu dan Buddha mensucikan diri sebagai salah satu sarana ibadah kedua candi tersebut. Ibadah biasa berlangsung tidak lama setelah upacara penyucian diri.

Hal ini dikuatkan dengan gaya arsitektur situs Petirtaan Cabean Kunti layaknya bangunan candi Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Namun, sayang hanya satu situs sumur yang memiliki relief beraliran agama Buddha. Ada dugaan petirtaan ini merupakan hasil penyatuan dua agama, yakni Hindu dan Buddha.

Relief yang terpahat pada salah satu sumur mata air, Sendang Lerep, bermotif sosok manusia menyunggi perbekalan di atas kepala dan juga motif burung merak. Maknanya adalah sumber mata air tersebut memiliki keterikatan antara manusia dan alam. Tidak dapat dipisahkan. 

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Detail relief sumur Sendang Lerep di Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Faktanya, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas pemberian alam, setiap tahunnya masyarakat Dukuh Kunti menggelar upacara sedekah bumi di kawasan petirtaan. Begitu kira-kira dugaan saya mengenai arti yang tersembunyi di balik relief Sendang Lerep.

Merujuk pada papan informasi yang ada, Petirtaan Cabean Kunti diperkirakan dibangun pada masa Ratu Dyah Wara dari Wangsa Syailendra, Mataram Kuno guna mendukung tempat pendarmaan atau pertapaan untuk belajar ilmu agama di kawasan Candi Lawang dan Candi Sari. Petirtaan ini dibangun pada masa klasik, yaitu sekitar abad VIII hingga IX Masehi.

Petirtaan Cabean Kunti memang berada tidak jauh dari kedua candi tersebut. Terletak di pinggiran Sungai Kunti. Hanya saja untuk mencapai petirtaan harus melalui jembatan Dukuh Kunti. Hal ini terjadi karena ketujuh sumur mata air berada tersebar di sisi Barat dan Timur jembatan. 

Tiga sumur di barat dan dua di timur. Sisanya berada di selatan jembatan. Selama penelusuran saya menemukan beberapa sumur memiliki batuan halus, tetapi tidak merata. Usut punya usut, batuan halus tersebut saya duga terjadi karena aktivitas mandi dan mencuci yang dilakukan warga sekitar saat sore. Sangat disayangkan jika harus terjadi seperti itu.

Tidak lama kemudian dugaan saya terjawab. Tampak seorang ibu paruh baya berjalan seorang diri menuju Sendang Keputren. Pasti si ibu akan mencuci di dekat sumur mata air, pikir saya.

Benar saja. Ia mencuci pakaian dan mandi di sendang tersebut tidak lama kemudian. Sendang Keputren artinya mata air untuk perempuan. Tentu khusus dan terpisah dengan sumur mata air untuk pria. Si ibu memang boleh memanfaatkan air di Sendang Keputren. Namun, karena ketidaktahuannya mengubah karakteristik gaya bangunan sumur mata air.

Beranjak 20 meter darinya, tampak sumur mata air berbentuk persegi tidak beraturan berada di bawah naungan pohon beringin. Tidak banyak tambahan informasi yang bisa saya dapat mengenai petirtaan ini, selain hanya sepotong informasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Kondisi salah satu sumur di bawah pohon beringin/Ibnu Rustamadji

Warisan Bersejarah yang Harus Dilestarikan

Latar belakang keagamaan dapat dilihat dari relief manusia dan binatang pada Sendang Lerep, yang diperkirakan merupakan tantri atau cerita binatang berisi ajaran moral pada agama Buddha. Fungsi Petirtaan Cabean Kunti adalah sebagai bangunan suci mengingat muatan moral tersebut. 

Berdasar pendapat para ahli, ada dua kemungkinan tokoh pendiri Petirtaan Cabean Kunti. Pertama, dibangun oleh bangsawan yang mengasingkan diri. Kedua, dibangun oleh pertapa yang ingin mencapai moksa.

Hingga saat ini tidak ada penjelasan yang rinci mengenai pendiri dan tujuan pembangunan situs tersebut. Yang jelas, petirtaan tersebut merupakan hasil karya manusia yang hidup pada zaman sekitar abad ke-9 Masehi di kawasan timur Gunung Merapi tersebut.

Keberadaan sumur tujuh mata air Cabean Kunti terlindungi oleh naungan pepohonan. Menambah kesan estetik bagi siapa pun yang berkunjung. Tidak ada rasa takut menggelayuti selama penelusuran, justru rasa nyaman dan tenang yang saya rasakan.

Hal ini mungkin terjadi karena saya memegang prinsip untuk selalu menjunjung tata krama dan sopan santun di mana pun berada. Seperti halnya bertamu di rumah orang lain. Harus mengikuti aturan dan adat yang berlaku serta tidak memaksakan ego pribadi. Terlebih jika aturan tersebut tercipta dan tidak tertulis, maka harus sangat dihormati dan berupaya bijak dalam perkataan maupun tindakan.

Walaupun kondisi Petirtaan Cabean Kunti jauh dari kata mewah, sudah sepatutnya kita ikut menjaga kelestarian warisan budaya, lingkungan, dan mata air yang ada. Musim kemarau berkepanjangan, seperti saat ini, debit mata air pun ikut surut. Aliran sungai di depannya turut terdampak. 

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Satu dari enam sumur mata air tanpa relief di Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Meski sumber mata air tersebut tidak sepenuhnya dialirkan menuju permukiman, alangkah baiknya jika Petirtaan Cabean Kunti dapat dimanfaatkan dengan baik. Dilestarikan menjadi ruang terbuka hijau layaknya Candi Lawang dan Candi Sari. 

Jika tidak mampu dikelola, ke depannya dapat digunakan sebagai pusat konservasi dan penelitian, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Besar Bengawan Solo, maupun Badan Riset dan Inovasi Nasional. Daripada dibiarkan begitu saja dengan perawatan yang sederhana.

Hingga menjelang petang tidak ada warga yang beraktivitas di sekitar petirtaan Cabean Kunti selain ibu tadi. Akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penelusuran. Tidak lupa saya membersihkan diri di Sendang Lerep, sebagai tanda memungkasi kegiatan saya di situs cagar budaya tersebut. Rasa segar dan dinginnya suhu pegunungan bercampur menjadi satu.. 

Hening dan tenang seketika menyeruak, ketika sinar matahari senja mulai berwarna oranye dan suara tonggeret bersahutan. Suasana khas pedesaan yang sudah sangat jarang dirasakan langsung datang menghampiri. Harapan besar saya, semoga ketujuh sumur mata air Cabean Kunti senantiasa memberikan kehidupan yang berkesinambungan antara alam dan masyarakat setempat. Dan juga ekosistem alam yang ada tidak berubah, sebagai bagian dari kehidupan sebuah desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menyusuri Jejak Kolonial di Kawasan Braga dan Asia Afrika Kota Bandung