Travelog

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura

Tempo hari setelah menyempatkan singgah di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, tiba-tiba rekan memberikan kabar mengenai dugaan kerkop di Kartasura. Rasa penasaran saya makin terpacu mendengar hal tersebut. Tidak perlu waktu lama, saya segera meminta koordinat tempat terduga kerkop tersebut berada.

“Menurut peta lama Leiden, ada di Singopuran. Sebelah barat Pabrik Gula Gembongan,” ungkap teman saya. 

“Wah, menarik ini,” timpal saya. Posisi yang tidak jauh dari gula tersebut berarti menunjukkan mungkin dulunya bekerja sebagai pengawas perkebunan.

Sekitar dua hari kemudian, saya putuskan untuk menjelajahi Desa Singopuran. Layaknya sebuah desa, akses jalan terhubung satu sama lain. Awalnya saya pesimis jika kerkop berada di sini. Setelah hampir seharian berkeliling, saya tidak menemukan adanya dugaan atau bekas reruntuhan kerkop.

Tiga hari kemudian, berbekal rasa ingin tahu dan penasaran, saya putuskan memetakan sendiri di mana dugaan kerkop berada. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah berkutat dengan peta lama keluaran Leiden tahun 1934, akhirnya saya berhasil menemukan jawaban. Kerkop ini terletak di Desa Wirogunan.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Sendang Wirogunan yang berada tepat di selatan makam Wirogunan Kulon/Ibnu Rustamadji

Makam Wirogunan Kulon, Peristirahatan Terakhir Keluarga C. H. Schukking

Desa Wirogunan berjarak sekitar empat kilometer ke barat dari Pabrik Gula Gembongan. Perbatasan antara Kecamatan Colomadu dan Kabupaten Boyolali. Pabrik Gula Gembongan pun merupakan peninggalan Belanda.

Dari jalan utama Solo—Semarang menuju makam melalui Jalan Kranggan. Seperti biasa, saya menggunakan GPS—Gunakan Penduduk Setempat.

“Oh, iya ada, tapi kayaknya bukan makam orang Belanda. Tapi saya juga tidak tahu siapanya, masih ada nisan beraksara Jawanya,” ujar salah satu warga.

Ia lantas menunjukan jalan menuju kerkop yang saya cari. “Lurus mengikuti jalan ini (Jalan Kranggan) ke utara, jangan belok sebelum menyeberang jembatan. Setelah jembatan, langsung belok kiri ikuti jalan hingga bertemu Sendang Wirogunan, di depan sendang ada makam Wirogunan Kulon. Di situlah dugaan kerkop berada.”

Setelah mengikuti petunjuk jalan, tibalah saya di makam Wirogunan Kulon. Ada inskripsi di atas pintu gerbang masuk makam. Tidak ada salahnya saya mencoba menengok ke dalam, siapa tahu ada warga sedang berziarah.

Pertama kali menyusuri, mata langsung tertuju pada deretan cungkup di ujung utara. Saya langsung bergumam, wah, berarti rekan kemarin ngajak melawak, koordinat lokasi yang dikirim keliru. Bukan Singopuran, melainkan Wirogunan.  Satu di antara makam Islam Jawa di sini merupakan kerkop yang saya cari. 

Segera saya mendokumentasikan dengan segala kondisi yang ada. Tidak lupa saya kirimkan ke Hans Boer, untuk saling melengkapi informasi makam Belanda yang terlupakan.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Batu nisan berepitaf Jawa milik Nyonya Rasina dan salah satu anaknya/Ibnu Rustamadji

Moeder mijner Kinderen, C. H. Schukking. Begitu inskripsi yang tersisa dari batu nisan makam. Merujuk informasi dari Hans Boers, artinya batu nisan milik istri dari C. H. Schukking, yakni seorang perempuan Jawa bernama Nyonya Rasina.

C. H. Schukking kelahiran Batavia, merupakan putra dari Hendrik Schukking dan Gritje Leemkuil. Adapun Nyonya Rasina kelahiran Yogyakarta. Tidak ada yang tahu pasti tanggal kelahiran keduanya. Hanya mengenai tahun pernikahannya, yakni Februari 1869, terselenggara di Batavia.

Sekitar empat tahun pascapernikahan, C. H. Schukking dan sang istri pindah ke Kartasura, karena Schukking bekerja sebagai pengawas perkebunan di Pabrik Gula Gembongan. Pabrik ini memproduksi gula merah, menggantikan pabrik sebelumnya di Dukuh Krambilan, yang di kemudian hari menjadi Pabrik Gula Colomadu.

Dalam pengawasannya, produksi gula merah meningkat signifikan hingga menembus pangsa pasar Eropa di tahun pertama pembukaan pabrik tahun 1899. Tahun 1902 menjadi puncak kesuksesan Schukking. Tidak lama kemudian, ia mengajukan cuti selama enam bulan untuk rehat di Eropa.

Izin cuti diberikan oleh perusahaan. Sebagai gantinya jabatan sementara dipegang oleh Tuan J. L. Bulb. Setahun setelah cuti, ia mengajukan izin pengunduran diri karena kondisi kesehatan mulai menurun. 

Menariknya, sekitar enam bulan sebelum rehat di Eropa, ia membuat suatu gebrakan bersama G. E. V Vreede, pengawas Pabrik Gula Bangak, dan Francois Ord (F. O) Marshall, pemilik perkebunan Brajan, Boyolali. 

Mereka meminta konsesi perusahaan trem milik Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM), yang pada masanya berfungsi sebagai angkutan barang dan karyawan dari dan menuju perkebunan di Vorstenlanden Surakarta (Solo kala itu). Permintaan tersebut mereka sampaikan di Societeit Harmonie Solo, di hadapan sang ketua, yakni Sie Dhian Ho dan wakilnya C. F. Happe. Permintaan diwarnai perbedaan pendapat antaranggota yang terlibat, termasuk perusahaan trem.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Cungkup makam Nyonya Rasina, istri C. H. Schukking/Ibnu Rustamadji

Menurut data mengenai Schukking yang Hans miliki, tercatat Tuan Schukking bersikeras meminta agar karyawan perkebunan tidak terlambat datang dan mempermudah akses keluar masuk hasil perkebunan. Perbedaan pendapat lalu mereda, sehingga permintaan mereka pun terpenuhi dengan syarat bagi hasil.

Salah satu bukti perusahaan trem memenuhi permintaan mereka tersimpan jelas di Desa Bangak, Boyolali. Tepat di barat Pabrik Gula Bangak—saat ini milik perusahaan percetakan buku PT Solo Murni (KIKY)—terdapat reruntuhan halte trem untuk penumpang karyawan perkebunan.

Halte trem utama milik SoTM berada di pusat kota Boyolali. Adapun jalur trem kala itu bermula dari Stasiun Purwosari Solo, lalu melalui Kartasura hingga berakhir di Boyolali. Atau sepanjang Jalan Raya Solo—Boyolali saat ini.  Pabrik Gula Bangak dan Pabrik Gula Gembongan berdiri di tepi jalur trem tersebut.

Saya sempat bercanda pada Hans, “Halte trem Bangak sekarang jadi warung soto Kirun. Kalau libur saya sering jajan di situ, Pak.”

Roda kehidupan terus berputar. Karir sedang melejit. Akan tetapi, karena kesehatan makin menurun, C. H. Schukking memutuskan mengundurkan diri sebagai pengawas Pabrik Gula Gembongan. Ia rehat hingga wafat pada 21 Juni 1904 di Wirogunan, Kartasura. 

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Makam tanpa batu nisan (paling depan) yang diduga milik C. H. SchukkingIbnu Rustamadji

Ada dugaan makam C. H. Schukking tanpa nisan dan terletak di sebelah barat makam sang istri di makam Wirogunan Kulon. Tidak diketahui pasti sebab Nyonya Rasina wafat. Yang jelas, ia adalah eorang perempuan priayi. Batu nisan pusaranya beraksara Jawa, tidak seperti makam Islam Jawa lain yang menggunakan aksara latin.

Puas mengabadikan makam kedua mendiang, tidak lupa saya kirimkan doa.  Setelahnya perjalanan saya berlanjut mencari kompleks kediaman Schukking dan istri di sekitar Desa Wirogunan. Namun, sayang seribu sayang saya tidak berhasil menemukannya. 

Saya memutuskan mengakhiri penelusuran makam Schukking. Selanjutnya saya menyambangi dan mengabadikan Pabrik Gula Gembongan di Dukuh Tegalmulyo, Honggobayan, Pabelan, sekitar empat kilometer ke arah timur dari Desa Wirogunan.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Struktur cerobong asap Pabrik Gula Gembongan tampak masih kokoh dan menjulang/Ibnu Rustamadji

Yang Tersisa dari Pabrik Gula Gembongan

Pabrik Gula Gembongan berdiri sekitar tahun 1899, dimiliki oleh perusahaan perkebunan swasta bernama Kartasoera Cultuur Maatschappij. Secara kasatmata bangunannya masih utuh dan tampak jejak pembangunan yang dilakukan bertahap.

Saya memasuki areal pabrik ditemani Widodo, penjaga pabrik. Terlihat bangunan yang ada di dalam kawasan tersebut dibangun bergaya art deco. Ada gedung yang dibangun pada 1918 hingga 1920, ada pula yang berdiri sekitar 1930-an.

Saya mengabadikan sisa kejayaan Pabrik Gula Gembongan cukup lama. Selama ini mungkin tidak banyak warga mengetahui kisahnya. Kisah mengenai Pabrik Gula Gembongan mungkin suatu saat akan saya ceritakan lebih detail.

Warga Gembongan memercayai pabrik ini merupakan pabrik tembakau, padahal sejatinya bukan. Widodo pun awalnya juga berpikir demikian. Namun semenjak beliau bertugas menjaga pabrik, ia mulai memahami pabrik tersebut memproduksi gula.

Ketika kami mengobrol, beliau bercerita banyak pengalaman masa kecil hidup di lingkungan pabrik gula. Salah satunya nyolong (mencuri) tebu di atas kereta lori yang melintas. Tanpa saya duga sebelumnya, beliau juga sempat menunjukkan kepada saya keberadaan bungker di dalam Pabrik Gula Gembongan.  

Maka nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan, batin saya. Setelah sebelumnya ziarah pusara C. H. Schukking, kini dipungkasi dengan kesempatan menelusuri Pabrik Gula Gembongan. Rasanya jika obrolan kami berlanjut, tidak cukup sehari selesai. Setelah puas, saya berpamitan dengan Widodo dan memotret tampak depan pabrik gula dari luar untuk terakhir kalinya.

Kisah yang Terlupakan dari Kerkop C. H. Schukking dan Pabrik Gula Gembongan Kartasura
Salah satu sudut bagian dalam Pabrik Gula Gembongan Kartasura/Ibnu Rustamadji

Pabrik Gula Gembongan, kini menjadi The Heritage Palace tanpa mengubah kondisi asli pabrik kala itu. Nasibnya pun lebih beruntung daripada kerkop sang pengawas, yaitu C. H. Schukking. Meski begitu, saya cukup bersyukur masih dapat menemukan dan mengenalkan ke khalayak meski kondisinya tidak sempurna.

Warga Wirogunan pun sepertinya tidak mempermasalahkan keberadaan pusara Schukking di makam Wirogunan Kulon. Hal ini terbukti dengan kondisi nisan sang istri yang awalnya sudah terkoyak, tidak semuanya lantas dirusak sehingga warga menggantinya dengan nisan baru. Termasuk nisan tanpa nama di sebelah barat.

Besar harapan saya kepada warga Wirogunan untuk tetap menjaga makam keluarga Schukking di desanya. Semoga dengan sedikit cerita ini, anak dan keturunannya di luar sana dapat membaca dan mengetahui keberadaan moyang mereka.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menguak Kisah Andre-Mac Gillavry dan Christiaan Leonard Windijk di Kemudo, Klaten