Travelog

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung (2)

Masih bersama Kang Rizky, kami mengunjungi pusara salah satu mason di Kota Bandung. Tepatnya di Ereveld Pandu, Jalan Pandu No. 42, Pamoyanan, Cicendo.

Setelah menyusuri sisi timur gapura makam, tibalah kami di pusara sang mason. Awalnya saya bingung letak batu nisannya, karena tidak menyiratkan simbol organisasi mereka ataupun batu nisannya. 

“Batu nisan dan simbol organisasinya ada di bawah kita,” ungkap Kang Rizky. Batu nisan sederhana berbaring di atas tanah. Terimpit rerumputan. Tidak seperti batu nisan lain di sekitarnya yang terbangun menjulang. Padahal yang terbaring di sini adalah seorang mason berpengaruh di Kota Bandung kala itu.

“Batu nisan sederhana menandakan seorang mason memegang teguh rendah hati dan sederhana. Inilah buktinya!” jelasnya.

Saking terlalu rendah hatinya, membuat warga yang berziarah di makam sebelahnya pun kadang menginjak batu nisan sang mason. Tentu dapat memaklumi, karena kondisi yang tidak terlihat dari kejauhan dan ketidaktahuan warga.

Setelah kami bersihkan sedikit, muncul guratan nama mason yang kami cari. Meski kondisinya sudah aus termakan usia, tetapi masih dapat terbaca jelas dan lengkap dengan ukiran jangka dan penggaris siku pada bagian bawah. Ukiran tersebut merupakan simbol organisasi Freemason di Indonesia (Hindia Belanda kala itu).

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Pintu gerbang Ereveld Pandu Bandung/Ibnu Rustamadji

Barend Albert (Ben) Strasters

Memerhatikan guratan nama dari batu nisan dan dokumen milik Kang Rizky, sang mason itu bernama Ben Strasters. Nama lengkapnya Barend Albert Strasters, putra dari Cornelis Strasters dan Cornelia Wilhelmina Oosterlaan. Tanpa pikir panjang, saya segera menghubungi Hans Boer untuk mendapat informasi lebih jauh.

Berdasarkan informasi dari Hans Boers, saya mengetahui sepak terjang Ben Strasters di Kota Bandung. Ben Strasters merupakan seorang kurator Rijks Plantentuin dan kepala laboratorium Zoologi Bogor. 

“Tahun pertama ia bekerja, diajak asisten konservator Rijks Plantentuin Bogor untuk melakukan pemindahan isi museum dari Garut menuju Bogor,” jelasnya.

Pekerjaan yang tidak terduga sebelumnya oleh Ben Strasters. Alhasil, ia menerima tawaran pekerjaan tersebut. Pemindahan museum pun segera terlaksana di bawah pengawasan Mr. W. Reuter sang asisten konservator Rijks Plantentuin Bogor. Barang yang mereka bawa dari Garut menuju Bogor sangat rentan, sehingga butuh waktu lama untuk memindahkan semuanya. 

“Puncak prosesi pemindahan ditandai dengan pemindahan kerangka ikan paus (Balaenoptera musculus). Ben Strasters sebagai pengawas. Karena kerangka paus tersebut merupakan barang yang paling berharga bagi keduanya,” tambahnya.

Proses pemindahan berlangsung secara manual selama 40 hari. Bukan tanpa alasan. Isi museum yang kaya akan nilai, sangat rentan untuk dipindahkan secara massal dan terburu-buru. Jalur yang mereka lalui selama pemindahan menjadi alasan lain lamanya waktu yang mereka tempuh. Dari Garut berjalan kaki menuju Priangan (Kota Bandung), setelahnya berlanjut dengan kereta api menuju Kota Bogor. Medan terjal harus mereka lalui demi menuntaskan pemindahan kerangka paus seberat 6.398 kilogram. 

Terjadi banyak gejolak selama proses pemindahan. Namun, W. Reuter bekerja sama dengan rekan konservator lain supaya proses pemindahan dapat terus berlangsung hingga pertengahan tahun 1914. Pemindahan selesai total di awal tahun 1915.

“Atas kerja sama dan dedikasinya, Ben Strasters dan W. Reuter diganjar penghargaan bergengsi dari Rijks Plantentuin Bogor. Tidak lama setelahnya, Ben Strasters pindah [kerja] penelitian di Ornitologi Palembang hingga pensiun dan kembali ke Bandung tahun 1918,” tambahnya. 

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Epitaf nama Ben Strasters dan simbol organisasi Freemason yang ia ikuti/Ibnu Rustamadji

Keterlibatan Ben Strasters dalam Freemasonry

Setelah pensiun, Ben Strasters mengabdikan diri sebagai administratur perkebunan teh dan kina bernama Tjibitoe. Di perkebunan inilah awal keterlibatan Ben Strasters dalam organisasi Freemason di Loji Sint Jan Bandung. 

Mengacu pada catatan Kang Rizky, Ben Strasters aktif berorganisasi Freemason Bandung atas ajakan Dr. Frans van Meervenne, selaku wakil suhu agung Loji Sint Jan. Ben Strasters dan istrinya menyambut hangat kedatangan Dr. Frans beserta istri di rumah dinas perkebunan Tjibitoe. 

“Awal keterlibatannya karena diajak Dr. Frans untuk ikut menghadiri obrolan mengenai ilmu kelautan dan botani di Loji Sint Jan,” ungkap Rizky. 

Seraya menikmati panorama perkebunan, Ben Strasters pun menerima tawaran Dr. Frans. Setahun kemudian, Ben Strasters bergabung secara resmi sebagai mason Loji Sint Jan Bandung.  

Ben Strasters tercatat aktif mengajarkan ilmu botani dan zoologi di bawah bimbingan F.B.J. Saches dan J. Roelofsen. Ben Strasters, setiap kali berpidato, menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan sumber referensi yang kredibel.

“Di hadapan para grand master, ia mengajukan sebuah karya ilmiah berjudul Keragaman Hayati di Hindia Belanda,” tambahnya.

Menurut Kang Rizky, sejatinya masih ada beberapa karya tulis Ben Strasters yang tercatat. Hanya saja tidak banyak yang dipublikasikan untuk masyarakat. Salah satu alasannya pro dan kontra mengenai karya Ben Strasters. Meski begitu, berdasar catatannya tidak ada perlawanan dari Ben Strasters. 

“Ia lebih memilih merangkul pihak-pihak yang menentang, meski dalam satu organisasi,” jelasnya. Kang Rizky menambahkan, “Perbedaan pola pikir antaranggota mason kala itu wajar, karena mereka berasal dari latar belakang keilmuan dan pengalaman yang berbeda.”

Berawal dari jabatan sebagai kurator, Ben Strasters mampu membawa keilmuannya untuk dibagikan ke anggota organisasi. Terlepas perbedaan pola pikir, loji mengharapkan setiap anggota saling ringan tangan membantu anggota lain. Membantu dalam segala hal sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

Keterlibatan lain dari Ben Strasters sebagai mason adalah menggalang dana pendirian sekolah Ardjuna School, Abimanjoe School, dan Kweekschool voor Indische Onderwijzer di Lembang. Penggalangan dana ia lakukan dengan menggelar loterij di Loji Sint Jan. 

Loterij berupa sumbangan dana sukarela berhadiah. Lazim terjadi kala itu. Bukan loterij yang terjadi seperti saat ini, menang kalah sama-sama rugi,” katanya sembari bercanda. 

Bendahara loji memanfaatkan dana yang terkumpul untuk membiayai kegiatan sosial, sekolah, dan amal. Selain itu juga membiayai kegiatan organisasi yang tujuannya juga kembali untuk masyarakat. Loterij kala itu tak ubahnya penggalangan dana saat ini. Hanya saja yang membedakan adalah loji memberikan kesempatan dan jamuan setiap donatur di dalamnya.

Tentu hanya orang terpilih dan pemberi dana yang mendapatkan kesempatan tersebut. Mereka berkumpul di dalam loji untuk berpesta dan menghadiri gelaran pentas pertunjukan, dan loterij. Loterij sendiri dapat berupa dana maupun lelang barang berharga, seperti perabot rumah atau tanah hibah.

Dari biaya yang terkumpul itu, oleh bendahara loji segera menggunakannya sebagaimana mestinya. Kalaupun sisa, ia mengumpulkan dan menyampaikan kepada anggota untuk digunakan di waktu lain. 

Kang Rizky menambahkan, “Ben Strasters sebagai anggota mason, turut memberikan sebagian uang gaji untuk pendirian sekolah.”

Kontribusi setiap anggota tidak sama. Mereka berkontribusi sesuai kemampuan. Apabila ada insinyur, maka ia menyumbangkan pikirannya merancang bangunan sekolah. Begitupun dengan anggota lain. 

“Karena perbedaan latar belakang setiap anggota, dalam mendirikan sekolah mereka membutuhkan dana dari donatur melalui loterij seperti apa yang saya jelaskan tadi,” sambung Kang Rizky.

Menapak Jejak Organisasi Freemasonry Kota Bandung
Panduan dari OGS Indonesia selaku pengelola bagi pengunjung Ereveld Pandu Bandung/Ibnu Rustamadji

Apresiasi Prestasi dan Karier Ben Strasters

Keikutsertaan Ben Strasters sebagai mason di Loji Sint Jan turut meningkatkan prestasi dan kariernya. Terbukti, pada tanggal 30 September 1924, Ben Strasters mendapatkan undangan dari Kerajaan Belanda untuk menerima penghargaan atas dedikasi dan prestasinya yang luar biasa. 

Ben Strasters akhirnya diganjar penghargaan Orde van Oranje-Nassau, Graad: Goud. Tanda penghormatan untuk masyarakat sipil atas jasa dan dedikasinya untuk Kerajaan Belanda, meski mereka berada di tanah jajahan. 

“Luar biasa memang dedikasinya Ben Strasters. Meski kondisi makamnya jauh dari kata sempurna,” tandasnya.

Namun, kebahagiaan Ben Strasters dan sang istri tidak berlangsung lama. Ben Strasters wafat tanggal 6 Mei 1936 di rumah perkebunan Tjibitoe karena komplikasi yang ia derita. Ia lantas dikebumikan di kerkop Pandu. Pejabat Kota Bandung dan wakil mason seluruh Hindia Belanda hadir waktu itu.

“Upacara pemakaman digelar mewah, dengan iring-iringan jenazah memasuki kawasan pemakaman diapit kolega dan pejabat Kota Bandung. Makam dari Ben Strasters pun berada tidak jauh dengan makam arsitek kenamaan Hindia Belanda, yakni Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker dan mausoleum familie Ursone, tutupnya. 

Selama perjalanan menapak jejak organisasi Freemasonry Kota Bandung, ada poin menarik bagi saya. Terutama seperti Bu Soejati sampaikan tempo lalu, bahwa benar menjadi seorang mason itu tantangannya berat. 

Selain dituntut mampu menguasai keilmuan, juga harus mampu beradaptasi dalam segala kondisi. Berkumpulnya anggota di Loji tujuannya jelas, menyatukan pola pikir untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang mereka hadapi. Bukan untuk memuja makhluk gaib seperti kabar yang beredar. 

Istilah orang Jawa, manunggaling kawula Gusti dan manunggaling marang liyan. Artinya, harus mampu mendekatkan diri pada Tuhan, dan mendekatkan diri dengan orang lain. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan