“Mobilnya sudah datang, ayo kita pergi tunggu mereka di Soraja.” sapa Andi melihat mobil rombongan arak-arakan Padendang yang sedari tadi kami tunggu. Mobil itu ‘berdendang’ mengelilingi kampung tanda dimulainya acara pesta panen warga. Dengan busana baju bodo—pakaian khas Bugis—penumpang perempuan memukul lesung padi dipadukan dentungan gendang di atas mobil, hingga mengeluarkan irama tradisional.
Sementara sebagian penumpang laki-laki memukul gendang, sebagian lagi berdiri sebagai pengawal. Para pengawal ini merias dirinya dengan spidol di wajah dilukisnya brewok dan kumis memegang tombak agar tampak garang serupa para pengawal kerajaan zaman dulu. Saya dan Andi bergegas ke soraja (rumah adat) tempat Mappadendang—atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘berdendang’—akan berlangsung.
Ajang ini berlangsung di Desa Lallatang, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara umum Mappadendang dikenal dengan pesta panen—perayaan selepas warga melakukan panen raya di kampung. Rangkaian utama acara melekat menjadi nama kegiatan sehingga orang luar mengenal adat Mappadendang sebagai perayaan selepas panen.
Dari arti kata ‘berdendang’, kita sudah membayangkan bahwa perayaan adat satu ini mengisahkan tentang kegembiraan. Acara yang ditunggu warga setempat setiap tahunnya ini selain sebagai pesta merayakan hasil panen, juga menutup lelah sewaktu panen dengan bersenang-senang. Terbukti dengan antusias warga berbondong-bondong mengerami soraja bahkan memotong beberapa hewan ternak seperti sapi, kuda dan unggas untuk menu makan bersama warga kampung. Euforia petani pedesaan terlihat amat jelas lewat acara itu.
“Kamu bawa kamera juga?” tanya Izanal menenteng kameranya menghampiri saya dekat soraja.
“Ia nih, nanti kita naik ke soraja untuk ambil gambar. Kau ambil video, saya memotret,” saya dan Iznal berperan sebagai kru dokumentasi hari itu. Disela percakapan kami soal konsep dokumentasi, tiba-tiba mobil rombongan datang. Kami lalu berpencar mengambil posisi berbeda untuk mendapat angle gambar yang beragam.
Setibanya rombongan arak padendang di soraja, acara berlanjut dengan penyambutan para tokoh masyarakat dan aparat pemerintah setempat. Suguhan utamanya yakni tarian dan Angaru’ oleh seorang pemuda mengenakan baju bodo dengan songko’ recca’—tutup kepala khas Bugis—sembari menusuk-nusuk badannya dengan sebila badik—senjata tradisional khas Bugis. Dia memainkan lakonnya dengan meneriakkan pesan luhur pakai bahasa Bugis menyambut orang yang ditokohkan.
Angaru’ sendiri merupakan adat kerajaan Bugis pada zaman dahulu yang dilakukan oleh panglima perang sebagai bentuk pengakuan kesiapan prajuritnya memimpin perang pada sang raja. Tapi semenjak zaman modern dan lewatnya masa perang, adat ini dilestarikan dengan menampilkannya di setiap kegiatan budaya sebagai penyambutan kepada orang yang ditokohkan. Angaru’ masih sering sekali ditampilkan oleh para pemuda di setiap acara bahkan pernah ditampilkan menyambut presiden sewaktu kunjungannya ke Makassar.
“Ayo ikut naik sama rombongan. Kau ke depan dekat padendang—lesung padi yang di pukul, saya dekat pintu masuk.” ajak saya ke Iznal naik ke soraja sewaktu para tokoh selesai disambut.
Di atas sana, para tokoh duduk menikmati permainan para pemain musik dengan memukul lesung padi yang sudah diberi rias rombe-rombe. Sebelumnya para pemain sudah latihan setiap malam selama hampir sebulan sebelum acara digelar. Lesung padi memanjang sekitar 3 meter di pukul oleh 6 pemain. 4 orang pemukul utama diisi oleh perempuan dan 2 (bisa lebih) laki-laki memukul ujung Lesung sambil bergoyang. Dua orang [laki-laki] lagi menjadi pemain tetap yang memainkan gendang. Irama pukulan silih berganti memunculkan musik yang sangat khas.
Adat Mappadendang sendiri lahir sebelum adanya mesin penggiling padi. Yang mana para warga saat itu mengolah padi menjadi beras dengan cara dipukul dalam lesung. Mereka, saling gotong-royong dan bahu-membahu dalam mannampu (memukul padi dalam lesung) padinya.
Aktivitas ini dilakukan saling bergantian, dari rumah ke rumah yang lain sampai semua padi milik warga selesai diolah untuk persediaan makanan dan selebihnya dijual. Setiap rumah yang padinya di-nampu (diolah menjadi beras) menyediakan banyak makanan untuk menjamu para warga yang datang membantu tanpa digaji. Sebuah pemandangan yang sangat artefaktur untuk dilihat pada era kini.
Aktivitas ini kemudian membentuk kebiasaan dan berubah menjadi adat istiadat yang dilestarikan sampai sekarang oleh warga Desa Lallatang.
“Minggir, minggir… Kami mau lewat!”
Seorang teman yang bertugas dengan candanya menyelak saya yang masih sibuk memotret di dekat pintu masuk. Padendang diisi oleh beberapa tim yang “bermain” silih berganti. Para pengawal, mengawal setiap kedatangan dan kepergian tim dengan raut wajah garang.
Ajang ini berlangsung sekitar 3 jam, dan selama itu pula musik harus terus berbunyi. Olehnya para pemain bergantian agar tidak capek.
Irama para pemain inti dari setiap tim hampir senada. Lain lagi dengan dua orang yang memukul ujung lempung, mereka selalu menciptakan irama yang berbeda. Mereka disebut Pabbenrang—dua orang atau lebih yang memukul ujung lesung—bergoyang dengan kepala ditundukkan memegang tongkat meliukkan badannya. Pemandangan ini memunculkan riak penonton dengan tawa mengelilingi soraja.
Mappadendang bukan hanya disaksikan oleh warga desa setempat, para warga desa lain hingga para pejabat kecamatan hingga kabupaten turut datang menyaksikannya. Tentu saja, Desa Lallatang seketika itu menjadi sangat ramai. Para perantau pun menjadikan Mappadendang sebagai momen untuk pulang kampung. Bahkan antusiasme mereka untuk pulang kampung melebihi antusiasme pulang kampung saat lebaran.
“Dek, Dek.. Tolong fotoin dulu Dek!” Sapa seorang perempuan kepada saya saat acara hampir usai.
Para tamu yang berada di atas soraja mulai meninggalkan tempat, tapi sebelumnya itu, tentu mereka tak mau ketinggalan mengabadikan keberadaannya di ajang ini. Saya dan Iznal seketika sibuk memotret para tamu dengan segala gayanya. Wajar saja, sebab acara adat ini tak saban hari ada.
Setelahnya, penyelanggara mengarahkan para penonton yang berada di sekitar soraja menuju tenda jamuan. Beragam boga khas Bugis seperti nasu manu likku (ayam masak lengkuas), sokko (nasi dari beras ketan hitam), bejabu (abon dari kelapa yang gurih), cangkuli (abon kelapa dengan gula merah), onde-onde, tumpi-tumpi (lauk dari sangrai kelapa yang dibentuk segitiga) dan menu lainnya tertata rapi di meja.
Warga setempat mendahulukan tamu dari luar, salah satu adab luhur Bugis dalam menjamu tamu. Bahkan, mereka rela tidak kebagian jamuan asalkan tamu menikmati segala jamuan yang tersaji.
Saat saya menanyakan tentang makna ajang ini, masyarakat setempat menekankan bahwa Mappadendang bertujuan untuk mappasiruntu nennia mappasitemmu deceng (bahasa Bugis) yang artinya “untuk saling bertemu antar sesama dan saling mempertemukan kebaikan.” Selebihnya mereka bercerita dengan wajah sumringah tentang keseruan berperan sebagai pabbenrang, tukang gendang, dan asiknya ikut bergoyang sambil bersorak gembira dengan musik Padendang.
Menariknya, mereka bahkan tidak pernah menceritakan ke saya soal bagaimana hasil panennya. Apakah untung atau rugi, banyak atau sedikit, hingga hasil panennya baik atau rusak, dan cukup atau tidak memenuhi kebutuhannya sampai panen berikutnya.
Dari sana saya berkesimpulan bahwa betapa indahnya konsep syukur para petani desa. Bahwa syukur mereka tidak bergantung pada bagaimana hasil diperoleh melainkan bagaimana menghargai proses usaha dalam mengolah pertanian. Apapun dan bagaimanapun hasil panen, Mappadendang tetap akan terselenggara.Mappadendang menyisakan pesan luhur bagi para generasi kita, tentang bagaimana cara bersyukur. Konsep yang amat penting untuk tidak tergesa-gesa dan tidak terlalu cepat dalam menjalani hidup.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Hobi bepergian dan tertawa lalu menulisnya dalam buku harian. Sarjana pertanian namun lebih suka dianggap petani.