Musim pendakian telah tiba. Beberapa gunung di Indonesia, terutama yang masuk kawasan konservasi (taman nasional atau suaka margasatwa), telah membuka pintunya untuk pendaki yang rindu menjelajah rimba.
Taman Nasional Gunung Rinjani di Lombok, telah membuka enam jalur resminya untuk pendakian per 3 April 2024 lalu. Para pendaki bisa memilih jalur Senaru, Torean, Aikberik, Sembalun, Timbanuh, atau Tetebatu. Registrasi pendakian sepenuhnya daring lewat aplikasi eRinjani, yang sayangnya baru tersedia di Google Play Store. Satu hal yang menarik dari pembukaan jalur ke gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia ini adalah Go Rinjani Zero Waste 2025, sebuah komitmen bersama untuk mewujudkan alam Rinjani bebas sampah yang harus dipatuhi seluruh pihak, mulai dari pendaki, porter, pemandu, operator, maupun pihak pemangku kawasan itu sendiri.
Di Jawa Tengah, gunung sejuta umat, Merbabu, bahkan sudah buka secara bertahap untuk sebagian jalur sejak Februari lalu. Pendakian ke gunung yang bertetangga dengan Gunung Merapi tersebut buka sepenuhnya setelah libur lebaran kemarin. Reservasi kuota pendakian dilakukan secara daring di booking.tngunungmerbabu.org.
Lalu pemilik jalur pendakian terpanjang di Pulau Jawa, Gunung Argopuro, resmi membuka pintunya bagi calon pendaki sejak 8 April 2025. Jalur pendakian gunung yang masuk dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang itu dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur (BBKSDA Jatim). Namun, untuk saat ini baru jalur Baderan, Situbondo saja yang dibuka, sehingga belum bisa lintas untuk turun ke Bermi, Probolinggo. Sama seperti Rinjani dan Merbabu, pengurusan izin pendakian dilakukan daring. Calon pendaki bisa mengunjungi tiket.bbksdajatim.org, yang juga tersedia untuk izin masuk kawasan konservasi lainnya, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Ijen, TWA Baung, dan TWA Tretes.
‘Berita baik’ tersebut tentu bersambut dengan euforia calon pendaki dari seluruh Indonesia. Namun, para pendaki mesti mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tidak hanya fisik, mental, dan logistik yang cukup, tetapi juga kesadaran moral dan lingkungan yang terkadang masih terabaikan.

Upayakan semangat minim sampah itu
Seperti sudah kronis, sampah adalah momok yang mencoreng wajah gunung dan menunjukkan sisi buruk dari manusia yang tidak bertanggung jawab. Dari sebelum era masifnya media sosial, berita sampah berserakan di gunung-gunung selalu jadi pergunjingan. Sejumlah gunung memiliki riwayat penumpukan sampah—terutama anorganik—seperti Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Gunung Merbabu, Gunung Lawu, Gunung Semeru, hingga Gunung Rinjani.
Pelakunya bisa siapa saja. Tidak hanya pendaki, tetapi juga operator trip pendakian, mencakup di dalamnya porter atau pemandu lokal yang disewa jasanya. Peraturan dan sanksi yang kurang tegas dari pengelola jalur, biasanya hanya tertulis di atas kertas sebagai imbauan, menyebabkan sampah-sampah hasil kegiatan pendakian banyak tertinggal secara sengaja di jalur atau area berkemah (camp area).
Belakangan, seiring masifnya media sosial, muncul kesadaran kolektif yang muncul dari kesadaran pribadi atau desakan pencinta alam dan aktivis lingkungan untuk menjaga kebersihan gunung. Di antara segelintir pengelola jalur pendakian, Basecamp Skydoors yang berwenang mengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem di Wonosobo patut dicontoh. Pengecekan berlapis dan penerapan denda maksimal terhadap potensi sampah yang dihasilkan pendaki berbanding lurus dengan sterilnya jalur dari sampah organik maupun anorganik.
Di tempat lain, pendakian Gunung Semeru, Gunung Merbabu via Selo, Boyolali dan baru-baru ini Gunung Rinjani telah memberlakukan peraturan yang ketat. Setiap detail barang bawaan dan logistik pendaki dicatat, khususnya yang berpotensi menjadi sampah.
Akan tetapi, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah pengelolaan sampah yang sudah dibawa turun gunung. Pemangku kawasan atau pengelola jalur pendakian harus memastikan distribusi sampah bisa terpilah dan terkawal sampai ke tempat pembuangan akhir (TPA). Oleh karena itu, kesadaran pada usaha minim atau bahkan nol sampah (zero waste) perlu ditumbuhkan di masing-masing individu. Tak terkecuali jika mendaki di gunung-gunung yang belum memiliki peraturan ketat soal penanganan sampah. Sampah tidak hanya sekadar membuat kotor dan tak sedap dipandang mata, tetapi juga merusak ekosistem hutan.

Hormati warga lokal dan keanekaragaman hayati
Umumnya jalur pendakian di Indonesia melalui kawasan perkampungan warga yang hidup di lereng gunung. Setiap daerah memiliki adat istiadatnya sendiri. Sebagai tamu, para pendaki semestinya menghormati tradisi maupun kebiasaan setempat yang berlaku. Beragam mitos mungkin berkembang di tengah masyarakat, tetapi pendaki cukup diam dan menghargai eksistensinya.
Kemudian di antara permukiman terakhir dengan pintu hutan sebagai titik awal pendakian, biasanya melalui kawasan perkebunan atau lahan pertanian warga. Jangan sampai kegiatan pendakian mengganggu aktivitas masyarakat yang sedang bertani atau berkebun.
Begitu pula dengan ritus-ritus tertentu, jika ada, yang terkadang diekspresikan melalui pemberian sesaji di dalam hutan—di pohon-pohon, pinggiran sungai atau danau, dan beberapa tempat lainnya yang dianggap sakral oleh masyarakat.
Status tamu masih melekat pada pendaki ketika masuk kawasan hutan dan gunung yang didaki. Di dalamnya hidup keanekaragaman hayati, mencakup flora dan fauna endemik, serta entitas kehidupan lain yang menghidupi gunung itu sendiri.
Seperti yang umum terlihat di beberapa gunung, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) biasanya mudah dijumpai di Merbabu, Rinjani, Butak, dan beberapa gunung lain. Dilarang keras memberi makan mereka karena akan mengubah sifat alami satwa liar dan bisa agresif mengganggu pendaki. Lalu bunga edelweiss yang tumbuh di atas 2.000-an mdpl, biarkan abadi tanpa harus dipetik untuk alasan apa pun.


Pendaki berpapasan dengan warga setempat yang membawa kayu bakar di jalur pendakian Gunung Sumbing via Banaran, Temanggung (kiri) serta tanaman edelweiss di Gunung Semeru/Rifqy Faiza Rahman
Bijaksana mengukur diri sendiri
Kunci utama dalam pendakian sejatinya hanya satu: tahu diri. Tahu batas diri. Seorang pendaki yang bijaksana seharusnya mampu memahami batas kekuatan fisik tubuhnya, ketahanan mental; serta sejauh mana mampu mengendalikan egonya selama pendakian, apalagi jika membawa banyak personel dengan latar belakang berbeda dalam satu tim.
Tampaknya terbilang cukup sering insiden terjadi menimpa pendaki. Mulai dari hipotermia, terjatuh di jalur pendakian, atau kehabisan bahan makanan dan minuman karena kurangnya persiapan. Tak sedikit pendaki yang menganggap remeh perjalanannya, sampai “kesialan” itu menimpanya.
Memang benar tidak ada satu pun manusia yang tahu apakah hari itu memberi nasib baik atau buruk. Namun, persiapan pendakian dan kedewasaan pikiran yang matang memudahkan langkah serta memitigasi kejadian-kejadian tak diinginkan.
Akan lebih bijak jika mengetahui batasan tubuh yang bisa dijangkau. Pulang ke rumah lebih awal jauh lebih selamat dan aman—serta tidak merepotkan sesama rekan pendakian—daripada memaksakan diri melaju lebih jauh tanpa perhitungan matang.
Selamat mendaki gunung!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.