Baduy di Provinsi Banten sudah sejak lama jadi tujuan wisata. Setiap Sabtu dan Minggu, wisatawan domestik atau mancanegara berbondong-bondong mampir ke permukiman urang Kanekes itu.
Beberapa waktu lalu, saya jadi salah seorang wisatawan yang berbondong-bondong ke Baduy. Saya tertarik untuk ke sana karena penasaran melihat bagaimana mereka menghidupi kehidupan sehari-hari. Menurut cerita, kehidupan orang Baduy masih tradisional dan mereka masih sangat berpegang teguh pada kearifan lokal.
Saya berangkat dengan dua rekan saya. Agar tak perlu repot merancang itinerary dan melengkapi kebutuhan, kami ke Baduy bersama agen perjalanan. Tapi, alasan kami untuk berangkat dengan agen perjalanan bukan cuma karena kepraktisan. Kami ingin trekking sampai ke Baduy Dalam dan untuk ke sana wisatawan memerlukan pemandu.
Saya dan kedua rekan menempuh perjalanan dua jam dari Jakarta ke Stasiun Rangkasbitung. Di salah satu kota terbesar di Banten itu kami bertemu rombongan lalu melanjutkan perjalanan ke Desa Ciboleger, perhentian terakhir sebelum ke permukiman suku Baduy.
Jika dihitung-hitung, kami jalan kaki selama 6-7 jam untuk ke Baduy Dalam melewati trek yang cukup terjal. Untuk yang tidak kuat jalan membawa tas selama itu, tersedia jasa porter. Porter-porter itu biasanya adalah warga Baduy Dalam yang rumahnya akan digunakan sebagai tempat menginap bagi wisatawan. Hari itu kami ditemani Ayah Aldi, Kamong, Asep, dan Narja.
Begitu memasuki kawasan Baduy Luar, saya disambut keramahan orang Baduy dan pernak-pernik hasil kerajinan tangan urang Kanekes—kain rajut, gelang, gantungan kunci, tas rotan, dll.—yang dipajang di depan rumah-rumah Baduy Luar. Pernak-pernik itu jadi makin menarik karena latarnya adalah rumah-rumah bambu beratapkan daun nyanda.
Menjauhi Baduy Luar yang cukup ramai, suasana berubah. Hutan dan bukit kini jadi pemandangan yang diserap indra penglihatan saya. Sumber suara hanyalah kicau burung dan suara manusia yang bersahut-sahutan dalam obrolan hangat.
Dalam perjalanan, saya bertanya pada Narja, salah seorang pemandu wisata kami, alasan kenapa orang Baduy tidak memakai sandal dan naik kendaraan. Narja menjawab bahwa itu sudah jadi aturan yang ditetapkan dan tidak boleh dilanggar.
Tapi, meskipun itu dilarang, apakah mereka tidak penasaran untuk mencoba bagaimana rasanya memakai sandal dan naik kendaraan?
Tidak ada rasa ingin mencoba, dalam keadaan bagaimana pun, karena itu sudah menjadi aturan adat mereka, tegas Narja. Jadi, meskipun mereka mesti menempuh perjalanan panjang, misalnya ke Jakarta dan sekitarnya untuk jualan madu, orang Baduy tetap tidak akan memakai sandal dan naik kendaraan.
Orang Baduy percaya betul bahwa ada konsekuensi yang bakal mereka terima ketika melanggar aturan-aturan tersebut. Menurut Ayah Aldi, jika ada yang sengaja melanggar aturan adat, misalnya memakai sandal atau naik kendaraan, ia akan terkena sial, misalnya terjangkit penyakit yang takkan bisa sembuh sampai ia mengakui kesalahan yang diperbuat.
Dari obrolan dengan orang Baduy Dalam pula saya tahu bahwa urang Kanekes punya “regulasi” soal jodoh dan pernikahan. Mereka dilarang untuk menikah dengan orang luar Baduy—ini barangkali adalah mekanisme untuk mempertahankan keaslian suku.
Laki-laki yang sudah berusia 17 tahun wajib dinikahkan dengan perempuan pilihan keluarga dan ketua adat suku Baduy (pu’un). Narja, yang sekarang sudah usia kepala dua, tunduk pada aturan ini. Saat hendak dinikahkan dulu, Narja tidak protes soal calon istri yang sudah ditetapkan untuknya. Ia percaya bahwa pilihan tersebut adalah yang terbaik bagi keluarga dan suku mereka.
Setelah berjalan entah berapa jam, akhirnya kami tiba di perbatasan Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbatasan itu ditandai sebuah tanjakan sangat terjal yang oleh pemandu kami dinamakan Tanjakan Seratus Ribu. Lewat dari sini, produk teknologi seperti ponsel dan kamera tidak boleh digunakan entah untuk keperluan apa pun.
Tapi, karena saya terpana melihat tanjakan itu dan ingin mengabadikannya, “tak sengaja” saya mengeluarkan ponsel untuk merekam. Baru beberapa detik rekaman itu berjalan, salah seorang pemandu menegur saya. Saya pun meminta maaf dan segera mematikan ponsel.
Larangan penggunaan teknologi memang cukup ketat diberlakukan oleh komunitas suku Baduy. Ayah Aldi bercerita bahwa dulu pernah ada seorang fotografer Indonesia yang memotret suku Baduy Dalam dan merangkum cerita perjalanannya dalam buku. Warga Baduy yang tahu langsung melaporkannya pada ketua adat untuk ditindaklanjuti. Akhirnya, untuk menyelesaikan persoalan tersebut, dilakukan upacara untuk menetralisasi pelanggaran.
Aturan-aturan adat suku Baduy barangkali memang sudah integral dengan diri masing-masing individu, yang menjadi pedoman bahkan peranti kontrol sosial. Mereka tahu bahwa setiap aturan yang dibuat pasti memiliki tujuan, yakni demi kebaikan mereka sendiri. Apa yang mereka percayai dan yakini itulah yang mereka jalani.
Setiba di rumah Ayah Aldi, kami merasakan kehangatan dari obrolan dan canda tawa, juga makanan sederhana yang kami santap bersama-sama di bawah senter dan pelita. Suasana saat itu benar-benar berkesan di hati saya.
Barangkali benar apa yang dikatakan salah seorang pemandu kami bahwa hanya orang-orang yang berniat baik, kuat, dan pantang menyerah yang mampu menikmati perjalanan dan tiba di Baduy Dalam. Niat baik, tenaga, dan tekad itu tidak hanya berguna untuk melewati perjalanan yang menguras tenaga, tapi juga untuk menjaga sikap; menurunkan ego sebagai orang asing yang bertandang ke komunitas yang sudah eksis sejak jauh sebelum Indonesia lahir; dan mengambil pelajaran.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.