Menanam bukan hanya persoalan tanah dan petani, tapi ada adat yang mengatur jauh lebih dari itu. Sewaktu musim tanam tiba, masyarakat tidak boleh membunyikan apapun dan membuat berisik. Pantangan ini dijaga oleh penganut Jingitiu, yang masih memimpin dan dituakan secara adat. Jingitiu sendiri awalnya bukanlah sebuah kepercayaan yang mempunyai nama—nama Jingitiu tersebut diberikan Portugis untuk memisahkan penganut Kristen dan penganut kepercayaan lama yang memuja arwah nenek moyang dan alam.

Di Sabu, kata kafir melekat pada penganut Jingitiu karena mereka belum mau menerima ajaran Kristen yang berkembang pesat di Sabu. Di Desa Lobohede, hanya ada empat keluarga yang menganut Jingitiu, satu keluarga penganut Katolik, dan sisanya adalah penganut Kristen Protestan. Sedangkan untuk kaum muslim di Lobohede tidak ada, mereka hanya tersebar di sekitar Pelabuhan Seba dan sebagian besar merupakan orang perantau dari Jawa, Bugis, dan Madura.

Kale Lele dan Kaleb Piga sedang memperlihatkan pusaka/Tim Arah Singgah
Kale Lele dan Kaleb Piga sedang memperlihatkan pusaka/Arah Singgah

Kami mendatangi sebuah rumah sederhana yang dikelilingi oleh pohon lontar dan kelapa. Seorang bapak tua dengan sarung hijau terlihat bingung dengan kedatangan kami yang didampingi oleh Kaleb Piga. Berdasarkan petunjuk dia, bapak tua ini merupakan seorang tetua adat yang dihormati dan masih menganut kepercayaan Jingitiu. Seusai bersalaman, kami menuturkan maksud kami ke sini, namun beliau kesulitan untuk memahami apa yang kami ucapkan dalam bahasa Indonesia. Untungnya Kaleb Piga dengan sigap menjadi penerjemah di antara kami. Bapak tua itu bernama Kale Lele yang masuk ke dalam salah satu anggota Mone Ama, dewan adat Sabu.

“Beliau ini yang menentukan, kalau tanam itu pada hari apa,” terang Kaleb Piga.

Saat waktunya tiba, Kale Lele akan berkeliling satu kecamatan, dengan memukul gong tanda dimulainya musim tanam. Kalau sudah begitu, semua orang dipersilahkan menanam apa saja; kacang hijau, sorgum, singkong, dan lainnya.

Kaleb Piga juga menceritakan soal Upacara Hole yang puncaknya adalah proses adat yang melarungkan miniatur perahu mini ke laut yang diisi dengan ayam yang baru menetas, anak anjing berkisar umur dua bulan, kacang hijau yang ditaruh di dalam ketupat yang terbuat dari daun lontar, sorgum merah. Perahu kayu itu dilarungkan ke arah Pulau Sumba dengan harapan mengusir penyakit dari Pulau Sabu. Ritual ini dilakukan rutin setahun sekali, sekitar bulan Mei pada kalender masehi.

Tradisi apa yang kemudian mulai hilang? Hila atau silat khas Sabu adalah salah satu yang tidak lagi banyak dipraktikkan oleh masyarakat Sabu. Di masa Kale Lele masih muda, praktisi hila begitu mudah ditemui. Sekarang, hanya ada beberapa orang saja yang masih menguasainya dan itu pun terhitung sudah sepuh.

“Setau beta yang besar di desa, masih ada [hila] itu kalau di tempat-tempat berdoa. Sekarang tidak ada lagi.”

Kale Lele berkenan untuk memperagakan beberapa gerakan untuk saya tonton. Beliau kencangkan sarung yang melekat di pinggangnya dan sebuah gerakan mengalun dengan lancar. Otot-ototnya tampak mengencang karena gerakan yang mengharuskannya lincah bergerak. Gerakan ditutup dengan sebuah pukulan tepat ke arah perut Kaleb Piga.

Hila sudah tidak terlihat. Hila sudah dianggap tidak diperlukan sehingga orang-orang tua dahulu tidak mengajarkan kembali. Keterampilan ini dianggap sering disalahgunakan untuk menyebabkan keonaran. Hila yang berkembang liar dan tidak pernah diorganisir harus rela tecabut dari Sabu yang berangsur-angsur menjadi modern. Meski tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut, saya sudah kagum dengan apa yang Kale Lele peragakan di depan kami.

Mone Ame di Hawu Mehara
Mone Ama di Hawu Mehara/Arah Singgah

Peran tetua adat cukup tereduksi akibat adanya pemerintahan resmi yang menaungi lembaga desa (kepala desa, ketua RW, ketua RT). Namun, tetua adat tetap diundang sebagai tokoh masyarakat, tapi pengambilan keputusan terkait masalah yang tidak berhubungan dengan adat tetap kepada perangkat desa. Beliau juga seringkali menerima undangan dari bupati untuk hadir sebagai tamu kehormatan acara kabupaten atau provinsi. Jingitiu yang semula menjadi kepercayaan dominan juga harus merelakan banyak pengikutnya untuk beralih menjadi Kristen. Di keluarga Kale Lele, hanya tersisa ia saja yang menganut Jingitiu. Anak-anaknya memilih untuk berpindah keyakinan menjadi Kristen.

Berbincang dengan Efer di Kelabba Maja
Berbincang dengan Efer di Kelabba Maja/Arah Singgah

Efer, salah satu penganut Jingitiu merangkap penganut Kristen, yang juga menjaga Kelabba Maja, menerangkan Kelabba Maja sebagai salah satu tempat yang dikeramatkan oleh penganut Jingitiu.

“Sebelum menjadi tempat wisata, awalnya kan dia (Kelabba Maja) salah satu tempat doa. Saya melihat [Kelabba Maja] diunggah oleh beberapa orang yang berkunjung ke sini untuk syuting, ternyata pada umumnya masyarakat suka.”

“Saya melihat dan sadar bahwa ini adalah salah satu tempat wisata yang berguna bagi Kabupaten Sabu Raijua,” tambahnya.

Dengan kesadaran sendiri, ia membersihkan dan merawat area sekitar yang nantinya bisa digunakan untuk berkunjung. Sebelum itu, dia meminta izin dan restu ayah kandungnya karena tempat ini merupakan tempat suci bagi suku Napuhina, penduduk di sekitar kawasan Kelabba Maja. Pemerintah Daerah Sabu kemudian mengajaknya untuk bekerja sama mengelola Kelabba Maja sebagai destinasi wisata di Pulau Sabu. Ajakkan ini diterima dengan senang hati oleh Efer. Dan ketika resmi menjadi tempat wisata, Efer ingin pengunjung tetap mematuhi himbauan yang telah ia sepakati dengan pemerintah daerah. Selayaknya tempat wisata, ia ingin tempat ini lebih dikenal agar perputaran ekonomi di Sabu berjalan lancar.

Banyak yang hilang dari Sabu. Syair-syair bapak tua yang disusun dengan bahasa yang tinggi sudah tidak dimengerti kaum muda. Silat khas Sabu sudah mulai pudar dari benak mereka. Penganut Jingitiu yang semakin sedikit. Menyadap lontar memang masih dilakukan, upacara masih tetap berlangsung, tapi urat nadi lainnya, sedikit demi sedikit sudah mulai terpotong..

Kale Lele sedang menyadap lontar
Kale Lele sedang menyadap lontar/Arah Singgah

Mencium hidung di Sabu adalah penghargaan tertinggi yang bisa diberikan orang Sabu kepada sesama. Cium hidung ditampakkan pada suasana duka untuk turut merasakan kehilangan, ketika lama tidak bersua sebagai dekapan, hingga masalah sengketa yang akan selesai dengan damai. Cium hidung tidak pamali. Lelaki perempuan boleh saling cium hidung. Tidak ada batasan dalam merangkul sesama. Sabu adalah satu. Jiwa orang-orang Sabu berada dalam satu genggaman Deo Ama.

Sabu ingin dikenal. Sabu ingin dikunjungi. Kepala Desa Lobohede ingin sekali Desa Lobohede bisa seperti desa-desa di Jawa yang dikunjungi saban harinya dan menjadi panorama pariwisata. Lagi-lagi masalah Sabu adalah akses. NTT saja sudah cukup jauh dari Jawa, bagaimana dengan Sabu, yang untuk menuju ke sini dari Kupang harus menumpang kapal 11 jam lagi? 

Bersama pak desa dan Irwan
Bersama Pak Desa dan Irwan/Arah Singgah

Irwan Rictoson, pemuda Desa Lobohede, membuat beberapa konten untuk mengenalkan Sabu kepada penduduk luar NTT, tapi dia sendiri cukup kewalahan untuk. Belum lagi soal regulasi yang mengurung Irwan dan teman-temannya dengan sejuta birokrasi yang ribet.

Irwan ingin suatu saat Lobohede menjadi desa wisata yang bisa memberi manfaat ekonomi kepada warganya. Jalan menuju ke sana masih panjang, setidaknya Irwan sudah berusaha mengompori teman-temannya untuk memulai. Dari konten video hingga sosial media, mereka sudah mencoba segalanya.

Gemerlap bintang-bintang terpancar jernih dari bukit dengan tiang pemancar. Lampu di desa ini belum sebanyak lampu di kota, tapi perlahan desa ini mengalami kemajuan. Beberapa ruas jalan diterangi cahaya dari lampu tenaga matahari. Meski gelap tetap mencekam, setidaknya desa ini punya penerangan untuk membuat jalan yang sepi ini sedikit bercahaya, bersinar seperti keinginan orang Sabu tentang pulaunya yang ingin dikenal dan dikunjungi.

 ***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar