Pendakian bukanlah tentang perlombaan siapa yang paling cepat sampai ke puncak untuk saling unjuk kebolehan. Bukan pula saling merendahkan untuk mencapai level tertinggi. Pendakian sejatinya tentang menikmati seluruh proses yang ada di setiap langkahnya, tentang bersyukur dan bersujud syukur rapat ke arah bumi, namun didengarkan oleh penghuni langit.
Ajakan kawan dari Magelang dan Semarang tidak mampu saya tolak untuk kembali mendaki ke Gunung Slamet via Bambangan, Purbalingga, Jawa Tengah. Gunung dengan ketinggian 3428 meter di atas permukaan laut ini telah saya kunjungi sebelumnya di bulan September 2018 lalu. Statusnya sebagai puncak tertinggi kedua di Pulau Jawa membuat saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk kembali berkunjung. Momen ini juga merupakan kali pertama saya kembali mendaki dan ngecamp di tahun 2022. Sebelumnya, saya hanya bisa merasakan tektok atau pendakian tanpa kemping di Gunung Andong, Magelang, Jawa Tengah pada bulan April lalu.
Langit malam Yogyakarta masih gerimis ketika saya berangkat mengendarai sepeda motor menuju Magelang (Senin, 13 Juni 2022) untuk berkumpul dengan rombongan lainnya. Kami menjadikan rumah Pak Hartanto sebagai titik kumpul dan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju basecamp Bambangan keesokan harinya. Di sini telah berkumpul juga Tri dan Yogi dari Semarang yang menggenapkan jumlah rombongan kami sebanyak empat orang. Jumlah yang sekiranya telah pas untuk satu tenda kapasitas lima orang.
Keberangkatan dari Magelang menuju Purbalingga dimulai pada pukul 04.00 dini hari (Selasa, 14 Juni 2022) dengan menggunakan kendaraan roda empat yang telah dicarter sebelumnya dan diantar oleh sopir yang juga bernama Pak Tri. Lama perjalanan memakan kurang lebih tiga jam hingga tiba di basecamp. Waktu yang cukup untuk melanjutkan tidur ketika kondisi masih setengah mengantuk dikarenakan harus bangun dan berangkat dini hari.
Mentari pagi telah menampakkan dirinya dari sisi timur ketika rombongan kami telah tiba di basecamp Bambangan, Kabupaten Purbalingga. Cuaca cerah telah cukup memberi kehangatan bagi rombongan kami dan rombongan pendaki lainnya untuk memulai pendakian pada hari itu juga. Dengan membayar retribusi Rp25.000 per orang dan meninggalkan kartu identitas salah satu anggota rombongan pendaki, kita dapat menjelajahi serta menikmati keasrian dan kesejukan hutan Gunung Slamet yang konon bagi penduduk setempat dipercaya sebagai “paku” Pulau Jawa.
Atas keinginan untuk menghemat tenaga dan waktu, serta untuk membantu penduduk setempat, maka rombongan kami memutuskan untuk menyewa jasa ojek yang bersedia mengantarkan para pendaki dari basecamp hingga menjelang pos satu. Tarif dari jasa ini yaitu Rp30.000 per orang. Harga yang sebanding dengan skill dan kemampuan tukang ojek dalam mengendarai motornya di trek yang berlumpur serta menanjak.
Layaknya gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa, lereng Gunung Slamet sebelum memasuki hutan didominasi oleh perkebunan penduduk dengan berbagai macam jenis sayuran. Begitupun ketika telah mulai memasuki hutan, pepohonan rimbun serta vegetasi rapat telah menyambut para pendaki di sepanjang jalur pendakian. Melansir dari berbagai sumber, hutan Gunung Slamet merupakan satu dari sekian hutan di Pulau Jawa yang masih dihuni oleh macan tutul, salah satu spesies dilindungi dan terancam punah.
Seperti jalur pendakian lainnya, pos satu hingga pos tiga jalur pendakian Gunung Slamet juga terdapat warung yang dikelola oleh penduduk sekitar. Keberadaan warung-warung ini telah sedikit mengurangi beban para pendaki sehingga tidak harus membawa logistik terlalu banyak. Terkait harga, tentunya akan ada perbedaan dengan harga di warung pada umumnya. Namun harga yang dipatok oleh para pemilik warung kiranya sebanding dengan usaha mereka untuk mengangkut barang dagangan dari perkampungan masing-masing.
Cuaca yang mulanya cerah perlahan mendung, kemudian menjadi hujan, air perlahan membasahi hutan Gunung Slamet. Alhasil, rombongan secara refleks mengeluarkan mantel masing-masing agar hujan yang turun tidak membasahi pakaian, logistik, serta peralatan elektronik yang kami bawa. Namun ternyata hujan tidak berlangsung lama, hanya sekitar 30 menit. Hujan berhenti ketika tim sedang beristirahat di pos tiga sekitar pukul 11.00. Setelahnya, suasana hutan cenderung berkabut tipis beserta angin yang bertiup perlahan menambah suasana sejuk tapi dingin khas pegunungan.
Jika jalur pendakian dari basecamp hingga pos tiga didominasi oleh perkebunan dan hutan-hutan dengan pohon tinggi dan rindang, lain halnya kondisi trek setelah pos tiga. Vegetasi yang rendah dan rapat mendominasinya. Bahkan di beberapa kondisi jalur hanya mampu dilalui oleh satu orang saja.
Kami berjalan sambil menunduk dan memperhatikan langkah kaki. Jalur pendakian setelah pos tiga benar-benar menuntut kita untuk berhati-hati, jangan sampai terpeleset ataupun tersangkut di dahan-dahan ilalang. Saking sempitnya, kadang kita harus setengah membungkuk ketika berjalan agar tas carrier di punggung tidak tersangkut karena rapatnya vegetasi.
Sungguh jalur yang banyak menguras energi! Pandangan kita dituntut untuk melihat kedua arah sekaligus. Melihat ke atas untuk memastikan carrier tidak tersangkut dan melihat ke bawah untuk mendapatkan pijakan yang tepat agar tidak terpeleset.Rapatnya vegetasi juga mengakibatkan jalur yang semulanya terang menjadi remang bahkan gelap walau jam masih menujukkan waktu masih siang. Beruntungnya kami yang mendaki di waktu weekday, jadi kami sedikit diuntungkan dengan kondisi jalur yang lumayan sepi sehingga kami tidak harus sering-sering berpapasan dan berbagi jalan dengan rombongan pendaki lainnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.