Travelog

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)

Mendaki ke Gunung Lawu lewat jalur Cetho bukanlah perjalanan yang sepele. Pengalaman dihajar hujan deras pada 2019 masih membekas di ingatan.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Mundur sebentar ke Maret 2019. Ketika pertama kali memilih Candi Cetho untuk mendaki ke Gunung Lawu. Jalur ketiga yang saya lalui setelah lintas Cemoro Sewu—Cemoro Kandang pada Oktober 2013. Cetho adalah sebuah dusun tertinggi di Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, sekaligus jalur terpanjang menuju Hargo Dumilah, puncak tertinggi Lawu.

Kala itu hari-hari basah masih mendominasi hingga akhir triwulan pertama, khususnya di sekitar Gunung Lawu. Walau sejatinya tidak sampai menciutkan niat kami, sembilan orang dari lintas daerah, curah hujan tinggi bisa saja meruntuhkan fisik dan mental. Sebuah potensi gejolak alam yang sudah kami sadari. Hampir tak ada ekspektasi sekecil apa pun tentang puncak. Sejauh mana kami mampu melangkah, sejauh itu batas yang kami miliki.

Sampai akhirnya kami benar-benar tunduk pada waktu. Hujan merontokkan tekad sejak di atas Pos 3 Cemoro Dowo sampai Pos 4 Penggik. Air hujan mengalir di jalur yang berubah menjadi sungai. Tanah berlumpur dan licin. Petang kian surut, gerimis belum berhenti. Sementara pikiran, pandangan, hati, dan kaki sudah tidak sejalan. Kami benar-benar payah setelah hampir 10 jam berjalan. Beberapa teman menggigil. Gupakan Menjangan, target berkemah hari itu, tak kunjung kami gapai. Bulak Peperangan yang hanya beberapa puluh meter saja di depan tidak sanggup kami rengkuh. Di sabana terbuka selepas hutan cemara gunung, kami lepas ransel dan memutuskan mendirikan tenda di situ.

Di pikiran kami waktu itu, sudah tergambar tentang rencana keesokan harinya. Yang jelas, target puncak sudah tercoret dari daftar kunjungan. Kami hanya ingin hari esok lekas datang dan pulang dalam keadaan sehat. Dan di pikiran saya, suatu saat harus mengulang kembali perjalanan ke Lawu lewat jalur ini.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Jalan terjal ke Dusun Cetho. Kendaraan harus benar-benar prima saat melalui jalan menuju Candi Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Pertanda Baik

Empat tahun berselang, saya kembali menyapa dusun di ketinggian 1.384 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. Kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Dari standar dua hari satu malam, saya memutuskan perjalanan remedial ini dengan menambah sehari semalam, dengan dua target titik camp di Pos 3 Cemoro Dowo dan Gupakan Menjangan. Pendakian menjadi lebih santai karena tidak berkejaran dengan waktu.

Empat rekan lain dalam tim belum pernah sama sekali mendaki lewat jalur ini. Sementara pengalaman terjauh saya pada 2019 lalu terdampar di sabana sebelum Bulak Peperangan. Hari itu (26/05/2023) hanya dua rombongan yang mendaki. Selain kami, ada satu grup besar anak-anak remaja di belakang kami dalam jarak yang cukup jauh.

Sebelum berangkat ke Cetho, saya berkomunikasi intensif dengan Mas Danang Eko Priyono. Dia adalah pemilik dan pengelola basecamp Exotisme Lawu dan rental perlengkapan outdoor OAOE di Cetho. Tahun 2019, saya menggunakan jasanya untuk jemput dan antar kami dari Stasiun Solo Balapan ke basecamp dan sebaliknya.

Melalui Whatsapp, saya memesan dan menyewa tiga peralatan, yaitu tenda dome berkapasitas empat orang, sebuah kompor portabel, dan headlamp (lampu kepala). Di rumah, saya hanya punya satu tenda berkapasitas dua orang. Rencananya tenda sewaan tersebut akan saya tempati bersama Aan dan Fadly, kawan dari Jogja. Adapun tenda milik saya akan ditempati Emma—adik ipar saya—dan Evelyne, rekan asal Purbalingga, yang pernah mendaki bareng ke Argopuro 2022 lalu. 

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Danang sedang mengecek perlengkapan yang kami sewa/Rifqy Faiza Rahman

Danang, sapaan akrabnya, siang itu sibuk sekali. Pemilik dan pengelola basecamp Exotisme Lawu, sebuah tempat istirahat pendaki yang bertempat di rumah keluarganya, sedang menyiapkan sejumlah perlengkapan pendakian. 

“Ada tamu, Mas? Naik sekarang?” saya coba memastikan.

“Besok, Mas, tapi nggak ke Lawu,” jawabnya.

“Loh, ke mana?”

“Sumbing sama Prau, Mas.” Tamunya serombongan dari Malaysia. Katanya, tamu langganan.

Ketika tiba sekitar pukul 10.00, basecamp yang kami singgahi kosong melompong.  Lokasinya dekat sekali dengan gerbang wisata Candi Cetho. Halaman depan bisa memuat parkir dua mobil. Pintu basecamp depan terbuka lebar. Kami masuk dan meletakkan tas di atas tikar-tikar sederhana yang biasa dipakai untuk sekadar duduk atau rebahan. Kami manfaatkan waktu mengemas ulang barang bawaan. Meskipun di dalam, posisi dusun yang sudah cukup tinggi membuat lantai rumah terasa menusuk kulit.

Usai packing, saya menemui Paul di teras basecamp. Seorang pendaki. Seorang pendaki senior dan berpengalaman dari Jakarta. Ia baru selesai mandi setelah turun gunung. Kami sempat mengobrol sebentar. Saya bertanya seputar kondisi jalur dan cuaca terkini padanya.

“Cuaca aman, Pak, di atas?”

Perfect! Pemandangannya bagus,” sahutnya mengacungkan jempol. Kami mengobrol dan berbagi pengalaman di gunung lain. Salah satu gunung yang ia ingin ulang adalah Argopuro. Paul tertarik dengan cerita saya mendaki di kawasan suaka margasatwa Dataran Tinggi Iyang tersebut selama tujuh hari enam malam.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Ruang utama basecamp milik Danang/Rifqy Faiza Rahman

Secara keseluruhan, berdasarkan informasi yang saya himpun dari Danang dan Paul, jalur dari Candi Cetho sekilas tidak banyak berubah. Ketersediaan sumber air satu-satunya di Pos 3 Cemoro Dowo juga aman. Cemoro Dowo adalah target camp di hari pertama ini, sekaligus tempat mengisi ulang bekal air untuk pendakian hari kedua. Info lainnya, terdapat warung milik warga dan fasilitas toilet sederhana di Pos 3.

Informasi itu menjadi bekal data berharga bagi kami. Saya makin yakin bahwa program pendakian santai selama tiga hari dua malam adalah rencana yang realistis untuk perjalanan kali ini. Kami tidak perlu ngoyo seperti pengalaman saya dahulu, yang terlalu memaksakan diri tancap gas ke Gupakan Menjangan dalam satu hari. Setiap orang memiliki ketahanan fisik yang berbeda, sehingga perlu jalan tengah untuk menahan ego masing-masing dan perjalanan pun menjadi nyaman.

Persiapan Akhir

Kami sepakat akan memulai pendakian setelah saya, Aan, dan Fadly salat Jumat di masjid dusun. Salat Jumat biasanya dimulai sekitar pukul 12.00 tepat. Saya melihat arloji, masih ada waktu 45 menit untuk menyempatkan makan siang sebentar.

Saat itu belum banyak warung yang buka dan memiliki menu lengkap. Warung yang ada di halaman basecamp Danang pun tidak beroperasi. Si pemilik warung malah menyarankan kami untuk beli makan di warung seberang.. 

Sesuai arahannya, kami bergegas ke warung yang ditunjuk ibu itu. Tidak ada nama khusus yang melekat di warung sederhana itu. Selain menu, salah satu yang mencolok adalah tulisan dari cat “24 jam” di muka dan samping warung. Saya melihat beberapa orang yang sedang makan. Rata-rata pengunjung Candi Cetho, baik yang sekadar berwisata maupun bersembahyang.

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Warung makan (kanan) di seberang basecamp Danang. Tampak gapura wisata Candi Cetho di ujung jalan menanjak/Rifqy Faiza Rahman

Hanya satu orang yang menjaga warung beratap seng itu. Seorang bapak paruh baya yang memakai jaket. Ia menyilakan kami duduk di ruang kosong dekat dapur dan posisinya lebih rendah dari tempat lesehan di depan. Untuk mengisi tenaga, kami memesan nasi goreng telur dan minuman hangat. Khusus yang laki-laki, kami makan lebih cepat karena harus segera ke masjid. Terdengar azan pertama sudah berkumandang.

Bapak warung memberitahu lokasi masjid. Lewat jendela di samping warung, ia menunjuk ke arah bawah. Sedikit terlihat kubah kecil masjid dengan corong suara di bagian menara. Ketika saya cek di peta, jaraknya sekitar 300 meter dengan kontur jalan kampung menurun. Ini berarti saat kembali ke basecamp kami harus mendaki dengan jarak yang sama. Lumayan buat pemanasan, pikir saya.

Khutbah Jumat cukup singkat dan jemaah yang hadir sekitar 5-6 saf. Yang menarik adalah adanya makanan ringan yang disediakan takmir setelah salat Jumat. Sebuah jajanan pasar yang manis dan saya sampai mengambil dua kali.

Setibanya di basecamp, kami melakukan persiapan akhir. Kami mengecek ulang perlengkapan dan memastikan tidak ada yang tertinggal. Beberapa barang bawaan yang tidak dibawa saya masukkan ke mobil yang terparkir di halaman bawah basecamp. Saya pamit ke Mas Danang di kios rentalnya.

“Mas, kami naik dulu, ya. Titip mobil.”

“Oke, Mas. Hati-hati di jalan.”

Jurnal Lawu: Lebih Siap, Lebih Matang (1)
Memulai langkah pendakian ke Gunung Lawu dari Dusun Cetho/Rifqy Faiza Rahman

Tepat pukul 13.00 kami berjalan meninggalkan basecamp. Rutenya naik sedikit di atas basecamp lalu belok kiri menyusuri gang di bawah Ceto Coffee sampai menemui perempatan kecil. Dari persimpangan itu, kami belok kanan dan menaiki anak tangga hingga ke pos perizinan pendakian. Jaraknya hanya 100 meter atau lima menit jalan kaki.

Kabut dan mega yang sempat menyelimuti Ceto perlahan terkuak. Sinar matahari menembus celah-celah pohon. Sebuah awal yang baik untuk pendakian hari pertama. Selanjutnya tergantung pada langkah kami.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Tak Perlu Buru-Buru di Argopuro