Kadang-kadang puncak gunung hanyalah bonus perjalanan. Namun, proses menggapainya juga merupakan perjuangan yang harus diapresiasi.
Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman
Alarm ponsel saya berbunyi sekitar pukul empat Subuh. Akhirnya saya benar-benar bangun. Dalam artian bangkit sebenar-benarnya dari berbaring, setelah kerap membuka mata kala terdengar deru angin kencang di tengah malam. Saya segera membangunkan Aan dan Fadly agar bersiap. Sementara di tenda sebelah, Emma dan Evelyne juga terdengar sudah sepenuhnya sadar. Adapun sejumlah pendaki lain sudah berangkat terlebih dahulu ke puncak.
Agenda kami di hari ketiga akan lebih panjang daripada dua hari sebelumnya. Setelah dari puncak, kami langsung berkemas dan turun saat itu juga. Kami sepakat untuk berangkat setelah Subuh sehingga tidak terlalu gelap dan bisa menikmati matahari terbit di tengah perjalanan ke puncak.
Sebelum berangkat ke puncak, kami sempatkan menyeruput segelas teh, susu, atau minuman hangat lain untuk mengisi perut. Bekal lainnya, seperti biskuit, roti tawar dan selai, serta air minum sudah kami masukkan ke ransel kecil. Kami juga berencana menyarap di salah satu warung dekat Hargo Dalem usai dari puncak.
Angin tak sekencang semalam. Suhu perlahan menghangat seiring fajar mulai menyingsing. Pukul 05.05 kami meniti langkah demi langkah menuju tugu puncak tertinggi Lawu, Hargo Dumilah. Mencoba menyambut pagi yang mungkin akan jadi pengalaman tak terlupakan.
Lukisan Pagi
Jalan setapak sangat jelas membelah sabana yang kemarin sore kami pandang dari camp. Awalnya menurun, lalu relatif datar menjelang punggungan bukit yang masih ditumbuhi banyak cemara gunung dan semak. Dari batas sabana tersebut kami menyusuri jalur yang melipir dan menanjak hingga tiba di dataran terbuka penuh cantigi dan perdu lainnya.
Terus terang sebenarnya bisa saja kami mencapai puncak lebih cepat. Namun, selayaknya seorang pemburu konten dan tidak mau melewatkan momen sekecil apa pun, rasanya sayang jika kami harus terburu-buru mengejar puncak yang tidak akan ke mana-mana. Sementara matahari terbit beserta serunai alam yang mengiringinya adalah siklus yang belum tentu bisa disaksikan setiap hari. Lukisan alam yang belum tentu kami lihat di perkotaan.
Setelah hampir sejam berjalan, di salah satu tepian jalur terbuka sekitar kawasan Pasar Dieng (3.095 mdpl) saya berhenti sejenak. Saya memandang ke ufuk timur. Mencoba menerka-nerka deretan gunung dan pegunungan Jawa Timur yang tampak jelas berselimut awan di kakinya.
JIka membayangkan peta Jawa Timur dari arah barat, saya masih bisa melihat jelas Pegunungan Wilis, Gunung Arjuno-Welirang, Gunung Kawi, dan Gunung Buthak. Di antara gunung-gunung itu, saya belum pernah mendaki Wilis dan Kawi. Mungkin suatu saat nanti saya harus mencoba mendakinya.
Dari kawasan Pasar Dieng yang terbuka, berbatu, dan penuh cantigi, kami berjalan sekitar 340 meter untuk sampai di kawasan Hargo Dalem (3.131 mdpl). Hargo Dalem merupakan petilasan di sebuah cungkup, yang dipercaya warga setempat menyimpan jejak keberadaan Prabu Brawijaya. Lagi-lagi, perlu kajian literatur mendalam untuk memastikan hal tersebut. Sejauh ini kita tetap menghormati segala tradisi dan laku sebagai bentuk kearifan lokal.
Hargo Dalem juga merupakan pertemuan jalur Cetho dengan Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang. Di bawah Hargo Dalem, terdapat warung Mbok Yem yang terkenal. Kami nanti tidak akan makan pagi di sana karena akhir pekan pasti ramai pendaki dan antre panjang.
Kami juga tidak masuk ke Hargo Dalem, karena tujuan utamanya adalah puncak Hargo Dumilah. Dari Hargo Dalem, kami melipir ke jalur sebelah kiri melewati warung Mbok Gar (3.147 mdpl) menuju puncak. Kami berencana akan menyantap sarapan di warung tersebut. Menu yang tersedia adalah soto ayam dan nasi pecel.
Dari GPS saya, jarak dari Hargo Dalem ke puncak tinggal 360 meter lagi dengan kontur menanjak di atas tanah berpasir dan berkerikil. Sesekali saya menengadah ke arah puncak. Jelas terlihat tugu Hargo Dumilah dengan bendera merah putih di sebelahnya.
“Ayo, semangat! Sebentar lagi puncak!” saya berseru.
Puncak Kontemplasi
Sejak Bulak Peperangan sampai area Hargo Dalem, sebenarnya kami sudah masuk wilayah Jawa Timur. Puncak tertinggi, Hargo Dumilah (3.265 mdpl), berada persis di perbatasan Jawa Tengah—Jawa Timur. Maka bisa saya katakan kalau mendaki Gunung Lawu dari Cetho seperti melakukan perjalanan lintas kabupaten (Karanganyar—Magetan) dan lintas provinsi.
Dahulu sebelum pandemi Covid-19, pendaki masih diizinkan mendaki lintas jalur. Seperti yang pernah saya lakukan bersama teman-teman dari Malang pada Oktober 2013. Waktu itu kami naik dari Cemoro Sewu (Magetan, Jawa Timur) dan turun Cemoro Kandang (Karanganyar, Jawa Tengah). Namun, sejak pandemi hingga sekarang pendaki harus naik dan turun lewat jalur yang sama untuk alasan keamanan dan kemudahan pelaporan.
Pagi ini Hargo Dumilah seakan semringah. Ia tampak mengkilap lantaran semburan sinar sang surya. Di sisi lain, mungkin Hargo Dumilah senang karena banyak pendaki “berziarah” ke rumahnya. Puncak tertinggi Lawu ini adalah pertemuan para pendaki dari semua jalur. Selain yang saya sebutkan tadi, juga ada yang mendaki dari Tambak (Karanganyar) dan Singolangu (Magetan). Jalur yang disebut terakhir pernah saya coba pada momen perayaan 17 Agustus 2020. Jalur Singolangu akan tembus di belakang warung di pos Sendang Drajat, bertemu dengan Cemoro Sewu.
Selain itu, saya ingin membuat pengakuan bahwa monumen puncak di Gunung Lawu adalah yang terbaik dari gunung-gunung lain di Jawa. Tugu Kiky, begitu orang menyebutnya karena keterlibatan sponsor perusahaan buku tulis dalam pembangunan monumen tersebut.
Sebagaimana di gunung lain, puncak adalah tempat luapan euforia dan kebanggaan terbesar para pendaki. Puncak menjadi acuan semangat di tiap hadirnya keluhan terhadap tanjakan-tanjakan tak berujung. Sebagian orang memandang puncak adalah sesuatu yang wajib mereka rengkuh, sementara tak sedikit pula menganggapnya bonus perjalanan. Begitupun dengan kami. Meski tentu saja, selama kesempatan itu ada, tidak ada salahnya berikhtiar menggapainya dengan tetap mengutamakan keselamatan tim.
Berkaca pada sejumlah kasus yang pernah ada, tidak sedikit pendaki yang meregang nyawa di gunung ini. Penyebab terbesar salah satunya adalah hipotermia. Sebuah kondisi akut yang menandakan suhu tubuh turun sangat drastis di bawah normal. Jika penanganannya tidak cepat dan tepat, penderita bisa meninggal dunia tanpa merasakan gejala apa pun, bahkan merasa seperti kepanasan sampai melucuti semua bajunya. Maka upaya antisipasi terhadap situasi ini adalah menghindari pendakian saat musim hujan, selalu mempersiapkan kondisi fisik dan segala perlengkapan sebaik-baiknya.
Dari sudut pandang saya, semestinya puncak gunung adalah tempat perenungan bagi setiap pendaki. Saya tidak melarang pendaki merayakan pencapaiannya, hanya saja jangan berlebihan. Saya merasa kita perlu berpikir tentang proses yang kita lalui sepanjang perjalanan. Mulai berangkat dari rumah, tiba di puncak, lalu pulang kembali ke rumah. Memahami apa dan siapa saja yang telah memberi jalan dan menuntun kita ke tempat tertinggi ini.
Di gunung, kita tidak akan berjalan sendirian. Alam akan merestui orang-orang yang berniat baik.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.