Travelog

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo

Warga asli Kota Solo yang sudah lintas generasi tinggal di sekitar tujuan saya, yaitu Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, menyebut wilayah ini dengan sebutan Warung Pelem. Dahulu area ini banyak perkebunan pohon pelem (mangga), yang sekarang berganti menjadi kompleks pertokoan. Tepat di ujung persimpangan jalan antara Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Ir. Sutami, berdiri sebuah warung makan di bawah pohon mangga. Ada dugaan karena keberadaan warung inilah warga lebih mengenalnya seperti itu.

Tujuan saya, mansion peranakan Tionghoa Kota Solo, kini sudah beralih fungsi menjadi penginapan bernama Hotel Trio. Penamaan “trio” bukan berarti pemiliknya tiga orang meskipun pengelolaan turun-temurun.

Ketika saya berkunjung tampak seorang pria paruh baya keluar dari salah satu ruang kerja. Dia adalah Gunawan, pengelola hotel tersebut. Kedatangan saya sangat diterima dengan baik dan mengizinkan saya mengabadikan detail-detail hotel meskipun tidak menginap. Ia juga tidak segan berbagi cerita dengan saya mengenai masa lalu Hotel Trio dan Warung Pelem Solo.

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo
Tampak depan Hotel Trio, mansion peranakan Tionghoa yang tersisa di Kota Solo/Ibnu Rustamadji

Benang Merah Hotel Trio dan Warung Pelem

Gunawan, panggilan akrabnya, masih ingat betul. Sejatinya areal Warung Pelem cukup luas. Bahkan menurutnya tempat Hotel Trio berdiri dulunya perkebunan mangga, yang terhampar dari halaman belakang hotel hingga keluar kampung.

“Anak muda sekarang tidak banyak tahu Warung Pelem Solo, tetapi kalau kamu tanya orang tuamu yang asli Solo pasti tahu. Beberapa orang tua sekitar hotel masih ada yang menyebut Warung Pelem daripada Kepatihan Wetan (timur kepatihan),” tandasnya.

Gunawan benar. Ketika saya menghubungi orang tua melalui pesan singkat, mereka mengetahui adanya Warung Pelem yang ada di sisi utara Pasar Gede Solo. Namun, lupa seluas apa wilayahnya. Penarik becak pun, ketika saya sambangi sembari memulai memotret Hotel Trio, beberapa di antaranya menyebut Warung Pelem adalah wilayah yang tengah saya kunjungi saat itu.

Penyebutan Warung Pelem saat ini sudah jarang dan berganti Kepatihan Wetan atau Mbalong yang notabene kampung pecinan Kota Solo. Puas mengetahui asal usul Warung Pelem, saya kembali memasuki Hotel Trio. 

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo
Ruang depan atau lobi utama Hotel TrioIbnu Rustamadji

Berawal dari Rumah Pribadi

Di tengah mencari sudut yang tepat, terlihat Gunawan masih duduk di kursi tamu seperti sebelumnya. Tanpa pikir panjang saya langsung menghampiri dan muncul hal yang tidak saya duga sebelumnya. Seketika ia bercerita menjelaskan masa lalu Hotel Trio. 

Sebagai generasi penerus pemilik Hotel Trio, tentu banyak pengalaman menarik yang bisa saya ungkap. Terlebih saya senang berbagi cerita dengan mereka yang lebih tua, sehingga Gunawan pun lebih senang untuk berbagi pengalaman hidupya.

Hotel Trio berdiri sekitar tahun 1932, saat Solo berkembang menjadi kota modern seperti saat ini. Hotel Trio sejatinya memiliki kembaran bangunan tepat di seberangnya, tetapi sayang kini berubah total menjadi Mall Atria.

Secara kasatmata, Hotel Trio masih utuh. Pengelola hanya melakukan perbaikan kecil dan menambahkan kamar di halaman belakang, menempati bekas kebun mangga. Bahkan gaya arsitekturalnya pun tidak berubah. Hotel Trio memadukan tiga unsur gaya bangunan, yakni tradisional Jawa,  Eropa, dan Cina. Masing-masing memiliki karakter sendiri. Gaya tradisional Jawa lebih menekankan penggunaan tiga pintu simetris. Gaya Eropa terlihat pada ornamen lis tembok, fasad depan, penggunaan kolom besi ukir gaya Korintia, serta penggunaan halaman depan dan belakang. Adapun gaya tradisional Cina menekankan feng shui atau tata ruang rumah.

Dari luar hingga belakang masih utuh, termasuk tegel motif flora tiga macam. Tegel batu marmer dan lantai kayu di lantai dua pun masih dipertahankan. Sebuah mansion mewah perpaduan tiga gaya yang tidak banyak ditemukan di kota lain.

Gunawan menambahkan, Hotel Trio dulunya rumah pribadi milik keluarga Tjokro Soemarto, seorang saudagar batik terkemuka awal abad ke-19 di Laweyan. Di bawah kepemilikannya, Hotel Trio kemudian disewa oleh Tjoa Boen King. Hal ini ia lakukan karena keluarga Tjoa mencari rumah untuk dikelola menjadi penginapan. 

Karena disewakan dengan harga standar, Hotel Trio akhirnya menjadi pilihan mereka. Pertama kali dibuka hanya bernama Trio saja hingga tahun 1970. Cukup lama memang. Setelah penginapan berjalan sukses, salah satu putra Tjoa Boen King bernama Djoenadi Tjokrohandojo, membeli dari Tjokro Soemarto dan mengubah nama menjadi Hotel Trio seperti saat ini. Pengelolaan berlangsung secara turun-temurun, dua di antaranya adalah Gunawan dan Indriati Tjokrohandojo, salah satu putri Djoenadi Tjokrohandojo sebagai penanggung jawab Hotel Trio.

Mengulik Interior Hotel Trio

Melalui artikel yang ditulis Dhian Lestari Hastuti mengenai fungsi desain interior rumah peranakan Tionghoa di Kota Surakata awal abad ke-20, Hotel Trio sejatinya terdiri dari dua bangunan, yaitu bagian depan sebagai penginapan dan belakang untuk hunian. Antara keduanya terpisahkan halaman belakang. Namun, selama saya menelusuri setiap kamar utama hingga lantai dua tidak menemukan jawaban atas informasi tersebut.

Yang saya dapatkan, Hotel Trio merupakan banguan berdiri sendiri berlantai dua serta terapit oleh halaman depan dan belakang. Ruang keluarga ada di beranda belakang hingga halaman belakang, sedangkan ruang tidur ada di keempat kamar.

Menariknya, setiap kamar utama dilengkapi meja kayu dengan permukaan marmer untuk merias diri. Jendela krepyak besar terpasang menghadap halaman samping. Setiap kamar memiliki dua daun pintu. Sepasang pintu kayu bukaan keluar dan sepasang pintu kaca grafir bukaan ke dalam.

Untuk menuju kamar dari depan, saya melewati kolom bergaya tuscan dengan lengkungan motif kelopak bunga di sisi tengahnya. Lantai bagian ruang depan berupa tegel marmer. Melangkah lebih jauh, tampak tegel tiga motif hingga beranda belakang.

Beranda belakang lantai satu saat ini menjadi ruang makan tamu hotel yang menginap. Makanan yang tersaji pun khas masakan rumahan, seperti sayur asem dan lodeh.  Begitu juga dengan pramusaji, yang berasal dari warga kampung sekitar Hotel Trio.

“Makanya kami lebih memberikan pelayanan dan kenyaman tamu yang ingin beristirahat di sini. Tidak perlu mewah. Selama mereka betah di bangunan kuno seperti ini, kita akan bertahan dan mempertahankan warisan ini,” jelasnya.

Menikmati panorama Jalan Urip Sumoharjo dari balkon lantai dua, saya serasa kembali ke abad sembilan belas ketika Hotel Trio menjadi rumah pribadi. Dari sisi atas balkon halaman depan, saya menjumpai hiasan berupa patung burung berkepala singa. Hiasan itu juga terdapat di sudut atas kolom balkon.

Berjalan turun dari lantai dua, saya menapaki dua tangga kayu di sisi kiri dan kanan beranda belakang. Tangga asli Hotel Trio sejatinya terbuat dari kayu, yang terletak di sisi kanan beranda belakang.  

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo
Tangga menuju lantai dua di sisi kanan beranda belakang/Ibnu Rustamadji

Detail Lain yang Terlupakan

Sesampainya di lantai satu kembali, Gunawan menjelaskan satu detail yang saya lupakan sejak pertama kali berkunjung. Penggunaan warna pada pintu dan beberapa sisi tembok segera menarik perhatian saya. Sebagai pengelola ia turut menjelaskan makna warna tersebut.

Aksen kedua warna yang membalut Hotel Trio, menurutnya mendapat pengaruh estetika Pura Mangkunegaran. Masing-masing memiliki arti tersendiri meskipun tidak serta-merta pihak Pura Mangkunegaran yang memilihkan warna.

Dalam budaya Tionghoa, warna hijau melambangkan pohon. Artinya, perlambangan panjang umur dan pertumbuhan laksana sebuah pohon yang dirawat hingga memasuki usia tua. Sedangkan warna kuning melambangkan unsur tanah, yang bermakna perlambangan kekuatan dan kekuasan. 

Ada pohon tentu ada tanah untuk tumbuh, begitu juga harapannya pada Hotel Trio. Harus kuat meskipun mengalami perkembangan zaman yang keras. Terbukti dengan menjamurnya hotel mewah di Kota Solo, keberadaan Hotel Trio tetap eksis dan menjadi rujukan beberapa tamu dari luar kota.

Selain memiliki nuansa mansion peranakan Tionghoa, mereka yang menginap di sini juga bisa merasakan hangatnya kekeluargaan ketika disajikan olahan masakan rumahan khas Hotel Trio. Jika tidak percaya, silakan menginap dan menikmati suasana yang ada.

Hotel Trio pun menyewakan keempat kamar utamanya, terutama bagi mereka yang berkeluarga atau beramai-ramai. Karena kamarnya cukup besar dan mampu menampung 4—6 orang sekaligus. Berbeda dengan kamar tambahan di belakang, ukurannya lebih kecil. Apabila beruntung, kalian dapat menjumpai Om Gunawan—saya memanggilnya begitu—untuk mendapat cerita pengalamannya di Hotel Trio. Puas menikmati detail Hotel Trio dan waktu yang makin sore, saya putuskan untuk menyudahi penelusuran dan berpamitan dengan Om Gunawan.

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo
Beranda belakang lantai satu. Tampak para tamu menikmati sarapan/Ibnu Rustamadji

Harapan untuk Hotel Trio

Bagi kalian yang ingin berkunjung ke Hotel Trio, keberadaannya tidak sulit dicari karena bisa menggunakan Google Maps. Namun, apabila sudah mendekati hotel perlu jalan perlahan-lahan karena letaknya berdampingan dengan ruko-ruko sepanjang jalan. Jika belum yakin, silakan tanya ke tukang becak atau juru parkir sekitar. Pasti mereka tahu lokasi Hotel Trio, yang beralamat di Jalan Urip Sumoharjo No. 25, Kepatihan Wetan, Jebres, Solo.

Harapan saya—sebagai penikmat peninggalan kolonialisme—saat melihat Hotel Trio sangat sederhana. Semoga eksistensinya sebagai mansion peranakan Tionghoa yang tersisa di Kota Solo tidak lekang oleh perkembangan zaman yang serba modern. 

Seperti kata pepatah. Ada desa, tetapi tidak ada kota warganya tetap bisa hidup; dan apabila ada kota, tetapi tidak ada desa warganya akan mati. Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi. Kita memperoleh warisan yang tidak ada duanya, sehingga tentu harus memperlakukannya dengan bijak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan