Kali ini saya akan menceritakan perjalanan liburan beberapa waktu lalu, ketika kami melakukan pendakian ke Puncak Ile Boleng. Ile Boleng atau Ili Boleng merupakan gunung berapi aktif yang berada di tenggara Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Gunung dengan ketinggian sekitar 1.659 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini sudah tercatat beberapa kali meletus.
Perjalanan saya dimulai dari ibu kota kabupaten, yakni Larantuka. Saya berangkat menggunakan kendaraan roda dua ke Pulau Adonara. Untuk menuju Pulau Adonara, saya harus menyeberang menggunakan perahu motor. Penumpang cukup membayar tiket seharga Rp30.000 per orang.
Sesampainya di Pelabuhan Waiwerang, Adonara, saya menuju Desa Nobo untuk beristirahat semalam di sana. Saya menginap di rumah keluarga salah satu teman kenalan.
Persiapan Pendakian
Keesokan harinya, saya berangkat ke Desa Witihama. Jaraknya sekitar setengah jam perjalanan dari Nobo. Di sana, saya bertemu teman-teman pencinta alam dari Witihama. Kami merencanakan beberapa hal dan persiapan sebelum melakukan pendakian.
Tepat pukul 19.00 WITA, saya bersama teman-teman pendaki berkumpul di balai warga untuk makan malam bersama, Kami juga mempersiapkan bekal pendakian, seperti makanan ringan, air mineral, dan obat-obatan. Perjalanan kali ini adalah pendakian pertama saya, sehingga saya lebih memilih ikut dalam rombongan teman-teman Witihama. Mereka sudah terbiasa dan sering melakukan pendakian ke Puncak Ile Boleng.
Menurut informasi yang saya ketahui, pendakian menuju Puncak dapat ditempuh dari tiga arah, yaitu Kampung Dua Muda (utara—timur laut) Kampung Lamahelan Atas (selatan), dan Kampung Lamabayung (timur). Kami memilih jalur pendakian lewat Kampung Dua atau jalur utara—timur laut.
Lintasan jalur Kampung Dua tersebut tidak terlalu berat dan terjal. Kemiringan lerengnya sekitar 40°—45°, kecuali pada daerah hampir mendekati puncak yang kemiringan lerengnya 50°—55° dengan kondisi trek sangat licin karena tertutup endapan jatuhan piroklastik muda yang tidak padu. Lama perjalanan dari Kampung Dua menuju puncak sekitar lima jam.
Pendakian Penuh Tantangan Menuju Puncak
Tepat pukul 10 malam, kami bersiap memulai pendakian. Karena ini adalah pendakian pertama saya, jujur rasanya memang cukup sulit dan menantang.
Kami menggunakan senter sebagai penerang jalur malam itu. Ya, dengan alat seadanya, kami selalu diminta untuk saling menjaga teman. Ketika sudah berjalan tiga jam, kami beristirahat sejenak dan menyalakan api untuk menghangatkan diri.
Setelah beristirahat cukup lama, kami melanjutkan perjalanan ke puncak. Pendakian menuju puncak benar-benar menantang. Tanjakan demi tanjakan membuat saya lumayan kelelahan. Saya sangat bersyukur dan terbantu oleh salah satu teman dari Witihama, yang saat itu siaga menjaga saya.
Melakukan pendakian di malam hari sebenarnya sangat membantu. Apalagi bagi pemula seperti saya. Saya memang agak takut dengan ketinggian. Sampai ketika ia melihat saya yang benar-benar kepayahan, tubuh saya pun ditopang olehnya. Akhirnya saya bersemangat lagi melanjutkan langkah menuju puncak.
Tepat pukul 05.00, atau setelah tujuh jam mendaki, kami tiba di Puncak Ile Boleng. Udara pagi itu sangat dingin. Membuat tubuh saya menggigil karena kedinginan. Jaket yang saya kenakan benar-benar tidak membantu. Namun, saya tetap berusaha menikmatinya. Namanya juga petualangan.
Aktivitas di Puncak Ile Boleng
Pemandangan alam yang terlihat dari dataran puncak sungguh luar biasa. Terlebih ketika sinar matahari mulai perlahan menampakkan dirinya dari balik cakrawala.
Kawasan Puncak Ile Boleng masih sangat alami. Dataran puncak yang berumput dan penuh batu tersebut belum tersentuh pembangunan apa pun. Namun, ketika sudah berada di puncak, keselamatan benar-benar dipertaruhkan karena tidak ada pagar pengaman di sekitar bibir kawah. Jika ingin memberanikan diri mengelilingi kawah Ile Boleng, harus didampingi oleh orang-orang yang sudah berpengalaman. Saya saja, bersama beberapa teman dari Larantuka, merasa pendakian ke gunung ini menguji nyali.
Kami beristirahat cukup lama di puncak. Bersama-sama menyantap beberapa bekal roti yang kami bawa. Setelah itu saya memberanikan diri untuk mengambil dokumentasi.
Selain panorama alamnya, yang menarik dari Gunung Ile Boleng adalah keberadaan mata air di area puncaknya. Mata air ini diyakini masyarakat setempat memiliki berbagai macam khasiat. Namun, air tersebut tidak boleh dibawa pulang karena bisa menyebabkan bahaya. Oleh karena itu, setiap pendaki yang datang hanya bisa mengambil air untuk sekadar membersihkan wajah, tangan, dan kaki.
Puas berkeliling, kami pun pulang. Tantangan dalam perjalanan turun tentu berbeda dibandingkan saat naik. Panas matahari terasa lebih menyengat kulit, ditambah kaki kami harus benar-benar kuat dalam menopang beban tubuh. Turunannya begitu curam, sehingga kami harus berhati-hati jika tak ingin jatuh dan tergelincir ke jurang. Kami pun tiba di salah satu pondok perkebunan milik warga sekitar pukul 14.00 WITA.
Siang itu juga, usai menghabiskan perbekalan, saya memutuskan untuk langsung kembali ke Larantuka. Kami berpamitan dengan warga sekitar, dan juga teman-teman dari Witihama yang telah mendampingi pendakian pertama saya ke Ile Boleng.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.