Saya masih ingat betul. Beberapa tahun lalu saat jalan tol ke Malang belum ada, setiap kali saya menaiki bus hendak pulang ke kampung halaman atau balik ke Malang, perhatian saya pasti akan tertuju ke sebuah bangunan bertingkat. Terutama sewaktu melewati wilayah Kecamatan Lawang, perbatasan Kabupaten Malang dan Pasuruan.
Ketika itu saya hanya tahu bahwa bangunan bertingkat tersebut bernama Hotel Niagara. Hotel ini merupakan bangunan tua yang sudah ada sejak era kolonial Belanda. Apakah saya penasaran? Tentu saja. Sayangnya, bertahun-tahun saya hanya mampu menyimpan perasaan itu sembari membayangkan bagaimana isi Hotel Niagara.
Begitu Indonesia Colonial Heritage (ICH), sebuah komunitas pencinta bangunan era kolonial mengadakan acara menginap di hotel tersebut, saya pun tak ingin melewatkannya.
Berawal dari Vila Liem Sian Joe
Perasaan saya campur aduk begitu motor yang saya kendarai memasuki halaman Hotel Niagara. Seorang pekerja hotel mengarahkan saya untuk memarkir kendaraan di teras rumah tua bergaya kolonial, yang berada tepat di samping hotel.
Ibarat orang yang sudah lama tak bertemu dengan pujaan hati, mungkin itulah yang bisa mewakili hati saya ketika itu. Dengan hati berdebar, saya memasuki lobi hotel. Tulisan “Niagara” dari kayu tergantung di dinding dekat meja resepsionis. Suasana jadul menjadi hal pertama yang saya rasakan begitu tiba.
Seorang perempuan berjilbab di bagian resepsionis melempar senyum ketika saya menghampirinya. Saya memberitahunya bahwa saya peserta tur ICH. Ia kemudian mempersilakan saya duduk. Beberapa peserta telah tiba terlebih dahulu, termasuk seorang pria yang duduk di samping saya.
Setelah menunggu agak lama, acara tur Hotel Niagara pun dimulai. Ada sekitar lima puluh peserta yang ikut. Tepat jam empat sore, kami mulai mengeksplorasi kompleks hotel didampingi oleh Irawan Paulus, pemandu tur. Kami mulai mengelilingi bagian luar Hotel Niagara.
Semua berawal saat Liem Sian Joe pergi ke Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Tentu bisa dibayangkan betapa kayanya Tuan Liem saat itu. Mungkin karena terkesima dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi sewaktu mengunjungi negeri Paman Sam, ia pun menghendaki bangunan vila yang akan ia dirikan dengan bentuk di luar pakem alias vertikal.
Liem Sian Joe adalah seorang pengusaha karet dan kayu yang tinggal di Malang. Daerah Lawang dikenal sebagai pintu masuk menuju Malang serta kawasan perkebunan, seperti Perkebunan Teh Wonosari yang sudah ada sejak 1910.
Vila Liem Sian Joe mulai dibangun 1914 kemudian selesai empat tahun berikutnya. Pembangunannya diarsiteki Fritz Joseph Pinedo, arsitek Belanda berdarah Portugis. Sekilas mengenai Fritz Joseph Pinedo, pada 1911, ia mendapat surat izin praktik di Semarang. Beberapa karyanya masih berdiri, seperti Restoran 1914 dan gedung PT Perkebunan Nusantara. Kedua bangunan tersebut berada di Surabaya.
Sementara itu, gaya bangunan Hotel Niagara sendiri mengadopsi gaya neoklasik yang sepenuhnya meniru bangunan Eropa. Meskipun begitu, sebenarnya bangunan ini juga menggunakan unsur China melalui ornamen yang tidak terlalu diperlihatkan, seperti garis-garis yang menghiasi bagian depan hotel.
Dahulu, bangunan asli vila Liem Sian Joe sebenarnya dilengkapi air mancur, yang saat itu menjadi simbol status sosial seseorang. Sampai sekarang, air mancur tersebut masih ada dan terletak di halaman depan. Tak hanya air mancur saja, tetapi juga di halaman yang sama terdapat tiang bendera yang masih berdiri tegak sejak 1914.
Pada bagian depan hotel terdapat pintu utama dan pintu samping. Pintu utama sebagai akses menuju lobi, sedangkan pintu samping dulunya digunakan untuk menuju ke taman vila yang terletak di selatan bangunan.
Selesai mendengar penjelasan bagian depan dan sisi kiri Hotel Niagara, saya beserta peserta lainnya kemudian bergerak menuju belakang hotel. Di sini, terdapat sebuah bangunan tua yang digunakan sebagai sarang walet. Beberapa bagiannya sudah menghitam dan kusam.
Selanjutnya, terdapat pula bangunan tua lainnya yang berada tepat di samping hotel. Oleh pengelola, tempat ini dimanfaatkan untuk area pelayanan hotel, termasuk difungsikan sebagai dapur. Kemudian antara hotel dan bangunan tersebut dihubungkan dengan selasar yang langsung menuju ruang makan.
Bangunan yang Dipenuhi Simbol Kemewahan
Selesai menjelajahi bagian luar hotel, kami kembali ke dalam. Tepatnya di bagian lobi. Dahulu, ruangan ini digunakan sebagai teras. Selain menjadi lobi, pada sisi kanan terdapat ruang kerja pemilik hotel.
Sebagai simbol kemewahan, vila Liem Sian Joe dibangun begitu detail dan istimewa. Menurut Arief DKS, salah satu pendiri ICH, hal ini tercermin pada penggunaan lantai teraso yang sangat khusus. Namun, berbeda dengan teraso pada umumnya—di zaman itu pemasangannya tidak menyambung—teraso di Hotel Niagara dipasang menyambung alias terusan.
Mendengar ucapannya, saya mengernyitkan dahi karena tak memercayainya. Saya berjongkok. Sembari mengamati, telunjuk saya menyentuh lantai teraso. Dibandingkan teraso pada beberapa bangunan kolonial yang pernah saya kunjungi, teraso Hotel Niagara memang terasa lebih halus. Sepanjang mata saya memandang tidak ada bekas sambungan antarteraso.
Arief melanjutkan bahwa motif teraso yang digunakan di tiap ruangan di hotel lima lantai ini pun tak sama. Saya ingin membuktikannya. Saya beranjak dari lobi hotel menuju ruang tengah dan belakang. Ternyata memang benar, motif terasonya berbeda. Motif teraso pada lobi lebih ramai ketimbang dua ruangan di belakangnya.
Begitu pula saat saya menjelajahi ruangan-ruangan lain di lantai atas. Antarruang terasonya juga berbeda. Mengetahui hal itu saya hanya menggeleng takjub mengingat teknologi zaman dahulu tentu saja belum secanggih sekarang.
“Saat pengerjaan hotel ini, yang jelas teraso tidak didatangkan dari pabriknya, justru para pekerjanya yang didatangkan ke sini. Dalam artian mereka membuat terasonya, ya, di sini. Saya juga memperkirakan beberapa material bangunan, seperti keramik dan porselen diimpor dari luar,” jelas laki-laki yang berprofesi sebagai arsitek itu sambil menekankan betapa istimewanya teraso Hotel Niagara.
Mengenai ruang tengah Hotel Niagara, yang saat ini berfungsi sebagai ruang makan, pada langit-langitnya yang berlapis kayu terdapat hiasan ornamen menyerupai naga. Sewaktu masih menjadi vila, ruang tengah tersebut dimanfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga. Alasanya karena di ruangan ini pemandangannya menghadap langsung ke area taman yang luas. Ketika itu halaman vila Liem Sian Joe memang terbilang luas, termasuk separuh area ruko yang kini berderet di selatan bangunan.
Keistimewaan Hotel Niagara tak hanya berhenti di teraso saja. Secara keseluruhan bangunan ini masih utuh sejak didirikan, termasuk jendela-jendelanya. Baik di ruang tengah maupun belakang, jendela-jendela yang terpasang berukuran besar. Jendela ini bisa dibuka setengahnya dengan cara diangkat ke atas.
Pada jendela-jendela tersebut terukir pula inisial nama Liem Sian Joe: LSJ. Di bagian bawah jendela lantai satu juga terdapat ambalan yang menggunakan huruf kanji. Tulisan ini baru bisa dibaca jika pengunjung berada di dalam bangunan.
Arief menambahkan, motif grafiran yang terdapat pada kaca jendela di lantai satu berbeda dengan lantai-lantai di atasnya. Rasa takjub saya kembali bertambah begitu ia menjelaskan tentang dinding bagian dalam bangunan.
“Dinding hotel ini ada yang ditutupi kayu. Istilahnya panel dinding berukir yang terbuat dari kayu jati berkualitas terbaik di zamannya,” ucap Arief.
Selesai mendengar penjelasan tentang ruang tengah, saya lalu melangkah ke bagian belakang. Sama seperti ruangan sebelumnya, di sini tertata rapi sejumlah meja dan kursi kayu. Terdapat semacam mini bar yang berada dekat pintu menuju selasar, yang menghubungkan dengan bangunan di sebelah hotel.
Kemewahan bangunan, yang bagian luarnya berhias bata merah muda, juga bisa dilihat dari railing (pegangan tangan) pada salah satu sisi anak tangga di luar pintu masuk. Sama seperti anak tangga di bagian dalam yang terbuat dari tembaga. Begitu pula dengan teraso anak tangga yang menyerupai hamparan karpet.
Ketika berkeliling di luar bangunan, saya mendapati hal menarik. Vila Liem Sian Joe ini ternyata dilengkapi pula kolam renang yang berada di sisi barat bangunan. Air yang digunakan untuk kolam renang berasal dari sumber air di sekitar area vila.
Sayangnya, saat ini kolam renang tersebut tak berbekas sama sekali. Ada timbunan tanah yang memenuhi hampir seluruh area kolam, serta sampah plastik dan semak belukar. Sejujurnya, saya hampir saja tak percaya bahwa saya berdiri di tepi kolam yang memiliki kedalaman dua meter tersebut.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.