Travelog

Pendakian Awal Tahun dan Perubahan Gunung Karang

11 Januari 2022. Pagi-pagi sekali, saya membuka ponsel, untuk melihat ramalan prakiraan cuaca di sekitaran Cadasari-Pandeglang hari ini. Ternyata ramalan cuaca pada hari itu mengatakan akan turun hujan disertai angin yang cukup kencang kencang. Sekitar pukul 14.30, dengan enam kendaraan motor dan sepuluh orang, kami berkumpul di Cadasari hendak melakukan pendakian dan berziarah di puncak Gunung Karang, yaitu Sumur Tujuh.

Di antara kami hanya ada lima pendaki termasuk saya pribadi, dan lima orang lainnya merupakan “pemula” yang menjajal mendaki gunung. Anggapan pemula dari saya untuk lima teman tersebut karena mereka hanya membawa satu jaket tanpa membawa sleeping bag atau setidaknya membawa dua sampai tiga jaket untuk menahan suhu dingin di dalam tenda. Bahkan salah satunya memakai sandal-sepatu high heels, selayaknya seorang perempuan hendak pergi ke pusat perbelanjaan.

Sepuluh orang dalam rombongan terdapat tiga orang wanita dan sisanya laki-laki. Tidak menjadi masalah, namanya juga pengalaman pertama mendaki yang nantinya akan menjadi pelajaran di pendakian selanjutnya. Lima pendaki yang menyertai kami pun hanya saya seorang yang hafal jalur bercabang dari Kaduengang menuju Sumur Tujuh.

Gunung Karang
Pendakian Gunung Karang/Muh Hafizh

Perjalanan dari bawah, Cadasari menuju pos check-in untuk simaksi pendaki yang letaknya di perkampungan Kaduengang, dapat ditempuh sekitar 90 menit. Itu pun perlu ekstra hati-hati, karena jalan menanjak dan berbatu, rawan terjadi kecelakaan. Alasan inilah yang membuat saya memberikan instruksi—dari enam motor hanya lima motor saja yang dibawa ke atas. Satu motor lagi dititipkan di Cadasari dalam keadaan rem yang cenderung tidak berfungsi.

Pukul 16.20, kami sampai di Pos Simaksi, akan tetapi tidak ada petugas seorang pun yang ada di sana, entah karena kami yang datang sore menjelang Maghrib atau kami yang datang di hari kerja bukan di hari akhir pekan.

“A, dilarang mendaki malam,” ucap seorang penjaga warung di dekat Pos Simaksi, yang membuat saya terheran akan alasannya. Sebab, saya sudah sering mendaki ke Gunung Karang, bahkan beberapa kali saya melakukan pendakian sendiri. Sepertinya kurang afdol bila larangan tersebut bukan keluar dari mulut petugas atau pihak berwenang seperti petugas atau tokoh masyarakat. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak langsung melakukan pendakian sebelum mengantongi izin.

Alasan penting mengapa saya memutuskan untuk tidak memulai pendakian, tanpa izin petugas atau pun izin tokoh warga setempat seperti ketua RT. Perlu diketahui Gunung Karang menyimpan 1000 misteri yang telah diketahui atau yang belum diketahui. Alasan lainnya, saya berpikir jauh kedepan khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan petugas tidak dapat menolong, karena tidak mengetahui kedatangan rombongan kami. Selain itu, saya memegang prinsip dimanapun kaki berpijak akan selalu menjunjung langit, maksudnya sebagai pendatang yang hendak mendaki sudah seharusnya saya menghargai budaya setempat dengan mendaki disertai doa restu warga setempat.

Gunung Karang
Di Pos Simaksi/Muh Hafizh

Menjelang adzan Maghrib, rombongan beristirahat di Pos Simaksi. Saya dan satu orang teman mengunjungi ketua RT setempat mengurus perihal perizinan. Di luar harapan, ternyata perizinan bukan kepada ketua RT, melainkan kepada petugas. Ketua RT memberitahu rumah petugas di dekat Pos Simaksi. Saya bersama seorang teman langsung melangkahkan kaki menghampiri rumah petugas tersebut, yang diketahui bernama Pak Nana.

Pak Nana menyambut kedatangan kami yang berencana untuk mendaki ke Gunung Karang pada malam hari dalam keadaan hujan berangin, sayang ternyata Pak Nana tidak mengizinkan rombongan kami. Ternyata terdapat peraturan baru tahun 2022 hasil dari kesepakatan warga Kaduengang, bahwa bila suatu rombongan terdapat wanitanya, maka rombongan tersebut dilarang menginap di trek Gunung Karang. Hal ini sebagai bentuk antisipasi agar tidak terulang kejadian yang tidak diinginkan, maka diciptakanlah peraturan baru ini.

Maksud arahan yang diberikan Pak Nana bukan berarti tidak mengizinkan rombongan kami mendaki ke puncak Sumur Tujuh, melainkan rombongan kami diperbolehkan mendaki, asalkan berangkat subuh dan turun di sore hari. Pengecualian kalau rombongan kami hanya laki-laki, baru dapat menginap sepanjang trek Gunung Karang. Dengan hati terpaksa, maka saya bersama teman-teman rombongan memutuskan untuk menginap di Pos Simaksi, rencananya menjelang subuh nanti kami akan mendaki menuju puncak Sumur Tujuh.

Pos simaksi terletak berseberangan dengan makam Ki Jaga Raksa, seorang tokoh yang kisahnya melegenda turun temurun di sekitaran Gunung Karang sebagai utusan agung Maulana Hasanuddin. Makam ini menjadi salah satu alasan mengapa Gunung Karang dikunjungi banyak santri ataupun wisatawan yang hendak berziarah.

Bermalam di Pos Simaksi, kami ditemani cuaca ekstrem yang menandakan alam tidak mendukung perjalanan kami kali ini, sesuai dengan ramalan cuaca dari BMKG–Gunung Karang dan sekitarnya akan dihinggapi hujan berangin. Tampak anjing liar berkeliaran di sekitar Pos Simaksi, beberapa di antaranya berhenti di pos, pandangan anjing-anjing tersebut mencoba memperhatikan rombongan kami.

Pukul 03.00, saya membangunkan teman-teman agar segera menyiapkan diri untuk memulai pendakian, estimasi perjalanan tiga sampai empat jam sampai di Pos 2 bernama Tanah Petir, di sana pendaki dapat melihat panorama sunrise bahkan kalau beruntung kami akan disuguhi samudera awan.

Senter seadanya guna menerangi pendakian menyusuri trek gunung karang yang gelap gulita–medan yang terjal, bebatuan yang licin setelah terkena air hujan, dan tanah berlumpur mendramatisir perjalanan kami. Wajar bila beberapa di antara kami terpeleset karena trek yang licin.

Langkah gontai kami terbayarkan setelah sampai di Pos Tanah Petir, terpampang jelas panorama indah di pagi hari, yaitu matahari mengintip merayu di ufuk timur. Sudah hampir empat jam kami berjalan, beristirahat selama dua jam guna sarapan dan mengambil foto sebagai pemuas sensasi bersama matahari terbit. Matahari terbit memang menjadi tujuan utama beberapa pendaki ketika melakukan perjalanan menyusuri terjalnya trek gunung.

Tidak terhenti hanya sampai di Pos Tanah Petir, kaki kembali melangkah menuju Puncak Sumur Tujuh, estimasi waktu perjalanan akan sampai selama dua jam. Trek yang lebih ekstrem dari sebelumnya kami ladeni, tanjakan bebatuan, tanjakan tanah merah, bahkan beberapa kali kami tidak menemukan tanah hanya akar yang membentuk tanjakan.

Estimasi hanyalah perkiraan, kenyataannya kami membutuhkan waktu tempuh selama tiga jam beberapa menit untuk sampai ke Puncak Sumur Tujuh. Tempat paling keramat di antara tempat lainnya dari Gunung Karang.

Gunung Karang
Pendakian Gunung Karang/Muh Hafizh

Sebelumnya kami menanyakan asal-usul kisah Sumur Tujuh kepada Pak Nana, konon dahulu Maulana Hasanuddin dari Cirebon bertarung mati-matian di Gunung Karang dengan Pucuk Umun sang penguasa kerajaan Banten sebelum Maulana Hasanuddin. Dalam keadaan lelah setelah pertarungan yang berhasil dimenangkan olehnya, Maulana Hasanuddin memohon dalam doanya kepada Allah agar diberikan air untuk minum dan berwudhu, maka Maulana Hasanuddin menancapkan tongkatnya ke tanah hingga memunculkan air. Sampai sekarang, bekas pancuran air tempat itu dikenal dengan Sumur Tujuh.

Sepengetahuan saya semenjak tahun 2016 ketika pertama kali mendaki ke Gunung Karang, di Puncaknya hanya ada Sumur Tujuh sebagai petilasan Sultan Maulana Hasanuddin. Baru pendakian kali ini saya mengetahui fakta terbaru, di puncak juga terdapat makam Nyi Katel yang berasal dari Cirebon.

Saya sudah berusaha mencari sumber tertulis siapa Nyai Katel tersebut, tetapi saya tidak dapat menemukannya. Saya hanya mendapatkan informasi secara lisan saja. Informasi tersebut menyebutkan Nyai Katel sebagai tokoh berpengaruh yang dimakamkan di Puncak Gunung Karang, dan makamnya menjadi tujuan santri ataupun seseorang yang hendak berziarah meminta berkah kepada Allah.

Pada awalnya Gunung Karang hanya dikunjungi oleh santri ataupun seseorang yang hendak mandi di Sumur Tujuh dan berziarah di makam Nyai Katel. Semakin terekspos keindahan Gunung Karang membuat para pendaki tertarik untuk menapakkan kaki di Gunung Karang. Saya berharap siapapun yang mendaki Gunung Karang diharapkan dapat menjaga kelestarian alamnya dari segala hal yang merusak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penulis bernama Muhamad Hafizh sedang menjadi Mahasiswa Filsafat di UIN Sultan Maulana Hasanuddin. Mahasiswa yang gemar membaca apapun, kecuali membaca pikiran. Bermukim di Kota Serang-Banten, tetapi karena hobinya jalong-jelong, membuat eksistensinya berada di mana-mana.

Penulis bernama Muhamad Hafizh sedang menjadi Mahasiswa Filsafat di UIN Sultan Maulana Hasanuddin. Mahasiswa yang gemar membaca apapun, kecuali membaca pikiran. Bermukim di Kota Serang-Banten, tetapi karena hobinya jalong-jelong, membuat eksistensinya berada di mana-mana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mampir Sejenak ke Kampung Cakrawala di Kaki Gunung Gede—Pangrango