Travelog

Pendaki yang Mengurai Cikuray (2)

Gunung Cikuray terletak di perbatasan Kecamatan Cikajang, Dayeuh Manggung dan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ada tiga jalur pendakian yang bisa dilalui yaitu via Cikajang, Bayongbong, dan Pemancar di Cilawu. 

Pemancar sendiri merupakan jalur yang paling sering dilalui oleh para pendaki. Selain jalurnya yang terkenal ramah, juga paling mudah dalam urusan transportasi. Namun meski demikian, ini adalah jalur terpanjang. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mendaki relatif lebih lama dibandingkan jalur lain.

Rata-rata pendaki mencapai puncak Cikuray membutuhkan waktu kurang lebih 8 jam. Tergantung lamanya beristirahat, serta kecepatan perjalanannya. 

Kami memulai petualangan setelah melewati Pemancar. Setapak demi setapak trek perlahan menanjak. Perjalanan melewati kebun teh di Pemancar sekitar 30 menit lamanya. Setelah itu baru memasuki hutan yang teduh. Kondisi tanah masih terlihat gersang.

Suasana di Puncak Cikuray/Etzar

Dari mulai Pos 1 hingga Pos 8, jalur yang dilalui selalu membuat dagu dan lututku beradu karena saking menanjaknya tanjakan yang ada. Nafasku sudah tak bisa dipacu dengan teratur lagi, ditambah kaki yang mulai terasa keram.

Jalur pendakian di Gunung Cikuray sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tanjakan di gunung lain. Kadang kita disuguhi dengan jalur yang curam dengan akar pohon yang kuat meski kadang terkesan licin sehingga harus ekstra hati-hati. Istimewanya, pendaki cukup terlindung dari sinar matahari karena jalur yang dipayungi rimba.

Ketika kami tiba di Pos 4 atau di Pos 5 terlihat seekor ‘bagas’, atau babi ganas. Hewan liar ini cukup populer di Cikuray. Tidak jarang para pendaki ketakutan jika hewan ini mendekat. Tapi tenang, mereka hanya sekumpulan hewan yang kelaparan.

Cukup disayangkan, Cikuray merupakan salah satu gunung terjorok yang pernah kulihat. Bagaimana tidak, sampah-sampah menjadi sebuah pemandangan yang lumrah selama pendakian. Mulai dari botol plastik, kemasan permen, celana dalam bekas hingga pembalut bekas bisa ditemukan di beberapa sudut jalur pendakian. Ulah dari para pendaki abal-abal. 

Tidak terasa, hari mulai petang, setelah diguyur hujan ringan, beberapa tanjakan lagi kami akan segera tiba di puncak. Kami memang tipe penikmat perjalanan, terkesan santai namun tidak menyesal jika harus kemalaman sebelum mencapai puncak.

“Jangan melamun, yuk lanjut! Puncak sudah di depan mata.” Bisik Dimas.

Inilah aku, imajinasi ini terlalu liar. Sehingga di dalam kondisi seperti itu seakan aku berada di dalam film horor. Bukan tidak mungkin, sekelebat bayangan hitam baru saja lewat di sisiku itu adalah makhluk halus. Kami pun segera melanjutkan pendakian yang tinggal beberapa menit saja.

Sesampainya di puncak, terlihat ada beberapa tenda berdiri, suasana cukup ramai. Uniknya, terdapat seorang pedagang gorengan yang berteriak sambil menjajakan dagangannya. 

Dimas segera mencari lokasi untuk membuat tenda. Karena penuh, kami hanya bisa mendirikan tenda tidak begitu jauh dari bibir jurang. Cukup berbahaya, apalagi Puncak Cikuray merupakan lahan kosong yang hanya terdapat semak-semak rendah. Dikhawatirkan bila terjadi badai, tenda akan beterbangan. Mungkin, hal tersebutlah yang menjadi alasan bagi para pendaki terdahulu untuk membangun sebuah pos seukuran pos satpam di puncak tersebut.


Foto pendakian Cikuray/Etzar

Pagi telah membelah gulitanya malam. Aku terbangun di sebelah Dimas. Sementara Sherli berada di tenda sebelah. Perlahan bangkit, lalu keluar dari tenda untuk menyambut sang mentari. Beberapa pendaki lain terlihat sibuk berswafoto. Tak lama, setelah itu Dimas muncul dengan kopi di tangan kanannya.

“Yuk kita sarapan dan segera berfoto, sebentar lagi kita harus sudah turun. Pendaki lain tampak berkemas, bahkan ada yang sudah turun. Oh, iya, Zar, jangan lupa bawa turun sampah kita ya. Biar aku yang bawa tenda dan barang berat lainnya.” ucapnya.

“Pastilah, dengan senang hati, kawan.” Ucapku. 

“Terima kasih, Zar.” 

“Tapi ingat, jangan melamun lagi di jalur pendakian.” Bisiknya. 

Hal lain yang masih membuatku tidak tenang ialah sesuatu yang menimpaku saat perjalanan turun. Aku memiliki kelebihan yang belum tentu bisa dimiliki orang lain, namun dampaknya, aku yang harus menanggungnya sendiri.

Seperti kebanyakan pendaki, awal turun gunung terasa mengasyikkan, karena butuh berjam-jam untuk naik, namun cukup singkat ketika turun. Tapi, sesuatu yang membuatku takut akan segera terjadi. Si bagas, dia benar-benar datang lagi. Kali ini lebih ganas dan hendak mengganggu kami. 

Maka dengan sigap kulemparkan sebuah tongkat yang ada di genggaman, lalu mengejarnya. Babi itu lari dan masuk ke dalam hutan. Namun, hal buruk segera terjadi. Pergelangan kaki ini seakan patah, aku sempat terkilir. Mungkin salah urat atau sejenisnya. Sangat sakit dan diri ini harus menahannya sampai tiba di Jakarta. 

Bayangkan saja ketika turun gunung dengan kaki yang sakit penuh debu, bahkan kesulitan untuk menyeimbangkan diri, aku juga sempat terjatuh. Rasanya seperti baru pulang dari medan perang. Babak belur. Tapi, untunglah risiko yang kualami hanya sekadar sakit di kaki. Bukan hal lain yang bisa membahayakan nyawa.

Seorang penulis yang lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Selain sebagai pegiat Sastra, ia merupakan alumni dari MASTERA atau Majelis Sastra Asia Tenggara 2019 dan MUNSI III atau Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2020.

Seorang penulis yang lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Selain sebagai pegiat Sastra, ia merupakan alumni dari MASTERA atau Majelis Sastra Asia Tenggara 2019 dan MUNSI III atau Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *