Travelog

Pendaki yang Mengurai Cikuray (1)

Garut, kota yang sudah lama ingin aku kunjungi. Pas sekali, kabar gembira datang dari rekan rimbawan yang sudah lama aku kenal, mereka merupakan dua bersaudara beda ayah juga beda ibu. Bagaimana bisa? Ya memang bisa, karena adanya ikatan tali persahabatan. Mereka adalah Sherli dan Dimas. 

Awal kisah pertemuan kami berawal dari pendakian di Mahameru. Berkenalan di Oro-Oro Ombo, satu tenda di Kalimati, dan bersenda-gurau di tepian Ranu Kumbolo. 

Jelas saja, aku yang tadinya sedang tiduran di ruang tamu sambil menulis cerita pendek tentang pendakian di Gunung Raung langsung meraung saking bersemangat karena bersama mereka, aku akan mencoba mengurai Cikuray!


Waktu yang dinanti tiba. Aku menjemput sang fajar. Sebenarnya bangun pagi bukan rutinitas bagi diri ini yang lebih aktif menulis di tengah malam dan tidur di pagi hari. Namun, demi perjalanan yang dinanti, tidak ada salahnya jika harus bangun lebih awal. Setelah mandi dan sarapan, barulah aku menuju stasiun kereta listrik atau KRL terdekat.

Setiba di Stasiun Manggarai, dari jauh tengah berdiri di tepian peron seorang wanita berkerudung putih. Ia melambaikan tangan ke arahku. Dengan penuh hati-hati aku segera menyeberang jalur, di sekitar kami lalu-lalang warga setempat yang sibuk dengan tujuan mereka masing-masing cukup membuatku harus lebih cekatan agar segera berdiri di hadapan Sherli. 

“Maaf, aku telat. Tadi agak macet.” Ujarku sembari mengatur napas.

Ia hanya tersenyum lalu mengajakku untuk duduk sejenak sembari menurunkan ransel besar yang sejak tadi setia berada di pundaknya.

“Bawa tenda, kan?” Tanyanya.

“Waduh, iya sih, bawa. Hehehe.”

Beberapa saat setelah kami ngobrol, kereta jurusan Tanah Abang tiba. Kami kembali bersiap-siap lalu berdiri di dekat peron untuk masuk ke dalam gerbong. Beberapa kali transit dan malah sempat salah jurusan, sebelum akhirnya kami berhenti di stasiun di mana Dimas menunggu dengan sabar.

Ketika keluar dari gerbong, hari sudah mulai sore. Hal ini dikarenakan kereta penuh dan sempat salah jurusan. Stasiun Tanah Abang memang terkenal cukup sibuk. Jika tidak pandai bertanya, tentu akan bernasib sama seperti kami.

“Kita dengan sangat terpaksa harus naik truk sayur, kereta jurusan ke Garut sudah pergi, dan akan ada lagi di esok hari.” Ujar lelaki berbadan tinggi itu. 

“Maaf Dim, tadi memang benar-benar kereta penuh, sulit untuk ditembus.” Ucapku.

Pria itu hanya mengangguk pelan lalu mengajak kami untuk segera menuju sebuah pasar malam tempat di mana truk yang dimaksud berada.


Sopir truk sayur kembali mengecek para penumpang, kami segera melakukan transaksi. Upah untuknya memang lebih murah, kira-kira Rp35.000-50.000/orang, tergantung banyaknya barang bawaan. Jika naik kereta atau bus mungkin akan memakan biaya perjalanan lebih dari Rp150.000/orang. Namun harga yang kami bayar ini sesuai dengan keadaan yang semestinya.

Perjalanan dimulai dari pukul 01.00 malam dan kami akan tiba di pusat Kota Garut ketika pagi tiba, dalam bak truk terbuka, dan dalam kondisi duduk berdempetan dengan warga lain beserta barang bawaan termasuk dua unit sepeda motor. Namun, begitulah sebuah perjalanan, kawan. Petualangan tidak akan indah jika semuanya berjalan begitu lancar. Jadi mari nikmati saja!

Foto pendakian Cikuray/Etzar

Truk tiba di pusat Kota Garut pukul 06.00, sesuai dengan perkiraan. Kami segera turun di sekitar pasar untuk mencari sarapan sambil menunggu mobil pemandu menjemput. Bubur ayam dan teh tawar panas mampu membuat stamina kembali pulih. Tidak lupa kami melengkapi segala kebutuhan pendakian. Sebuah swalayan kami masuki dengan berbekal Rp100.000 dari uang patungan.

Beberapa saat kemudian, mobil bak terbuka menghampiri, seorang pemuda dengan tutur kata sopan mengajak kami untuk segera naik ke bak mobil yang kali ini berukuran kecil tetapi cukup untuk membawa kami bertiga untuk sampai di Pos Pemancar. Ongkosnya hanya Rp100.000 untuk berangkat dan pulang nanti.

Lalu di persimpangan jalan terlihat 3 orang pendaki lain yang ingin menumpang. Maka kami menjadi 6 orang. Ketiga pemuda itu ialah Sadam, Ragil, dan Yoyo. Mereka berasal dari Bogor. Kami pun menemukan teman baru yang bisa diajak bercanda dan bercerita.

Kurang lebih terdapat 2 hingga 3 Pos Registrasi yang kami lalui, semuanya menarik biaya. Selama ini, rasa-rasanya baru kali ini membayar retribusi pendakian lebih dari satu kali. Memang tidak mahal, hanya Rp25.000 saja, namun nggak habis pikir aja sih, kenapa harus berturut-turut melapor di pos yang berbeda dan mengapa mengapa harus membayar di setiap pos tersebut. Padahal sejak dari pos pertama, biaya pendakian sudah kami bayarkan.

Tapi sudah, begitulah sebuah perjalanan.

Seorang penulis yang lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Selain sebagai pegiat Sastra, ia merupakan alumni dari MASTERA atau Majelis Sastra Asia Tenggara 2019 dan MUNSI III atau Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2020.

Seorang penulis yang lahir di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Selain sebagai pegiat Sastra, ia merupakan alumni dari MASTERA atau Majelis Sastra Asia Tenggara 2019 dan MUNSI III atau Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *