Siapa sangka, di sudut desa tak jauh dari Candi Borobudur, sebuah taman baca dengan konsep tak biasa mampu memikat orang-orang sefrekuensi dari berbagai daerah?
Siapa mengira, di atas lahan 300 meter persegi yang diapit kebun singkong, sebidang bangunan perpustakaan berisi 700-an judul buku dan kafe kecil bisa menghapus dahaga literasi?
Rasanya seperti itu pertanyaan-pertanyaan retorik di kepala saya, ketika melihat edisi perdana Pekan Buku Magelang yang diselenggarakan Melek Huruf pada Jumat–Senin, 14–17 Juni 2024. Kemeriahan yang bersahaja. Lingkup ruang yang tersedia tidak terlalu luas, tetapi justru itulah yang membuat interaksi lebih intim dan hangat.
Di antara program-program berupa bursa buku, gelar wicara, tur sepeda, dan lokakarya, Pekan Buku Magelang adalah tempat berekspresi dan berjejaring bagi siapa pun yang datang. Seperti kata Cristian Rahadiansyah (43), salah satu pendiri dan pemilik Melek Huruf, inisiatif agenda bulanan tersebut seakan menegaskan bahwa tidak perlu jauh-jauh ke Yogyakarta untuk berteman akrab dengan buku-buku dan dunia yang mengiringinya.
Magelang, kini tak hanya hidup dengan Borobudur maupun wisata-wisata lainnya, tetapi juga geliat literasi di sudut Pucungan, Desa Candirejo. Sebuah titik temu bagi mereka yang peduli dan antusias pada dialektika ilmu dan gagasan seputar kepustakaan.
Mengenal para pustakawan Melek Huruf
Semua itu berhulu pada “rencana pensiun” Cristian Rahadiansyah (43), seorang jurnalis dan pendiri Jakarta International Photo Festival (JIPFest) yang telah malang melintang di tujuh majalah berbeda dalam dua dekade belakangan. Terakhir, ia meletakkan posisi editor in chief majalah DestinAsian Indonesia yang sudah ditempati selama 2012–2023.
Beragam hiruk piruk kehidupan Jakarta ia tanggalkan pelan-pelan demi kehidupan baru di kaki Menoreh, Borobudur. Titik balik itu ada di usianya yang ke-40, ketika ia mempersunting sang pujaan hati, Nina Hidayat—juga berkiprah di JIPFest dan bidang seni budaya—untuk bersepakat membersamai alumni UGM tersebut mewujudkan cita-cita besarnya. Kesamaan frekuensi, jalan hidup, dan kepedulian pada buku membukakan jalan mereka pada berdirinya Melek Huruf.
Pekan Buku Magelang adalah inisiatif besar pertama Cristian dan Nina untuk merayakan satu tahun Melek Huruf. Rekam jejak dan lingkaran jejaring yang hebat dari keduanya membuat nama-nama besar di dunia buku dan sastra mendekat tanpa ragu untuk berpartisipasi dalam acara tersebut. Jika tak ada halangan, Pekan Buku Magelang akan diselenggarakan rutin setiap bulannya.
Meski baru setahun, sinar Melek Huruf menyala begitu cepat. Konsepnya sebagai taman baca, warung—menjual kopi, teh, dan kudapan ringan, penginapan, dan ruang publik bersama disambut cukup antusias oleh masyarakat. Terutama bagi kalangan lintas generasi pencinta buku, kopi, dan fotografi.
Bursa buku-buku menarik
Tentu saja bursa buku menjadi salah satu daya tarik utama dari Pekan Buku Magelang pertama ini. Bursa buku terbuka untuk umum selama Pekan Buku Magelang dan berlangsung pukul 10.00–18.00 WIB. Dari katalog yang dipublikasikan lewat situs web Melek Huruf, terdapat 85 judul buku dari 24 penerbit dan pengarang. Baik itu penerbit mayor atau indie, genre fiksi maupun nonfiksi, semuanya menyatu rapi di dalam etalase buku Melek Huruf. Sebut saja Bentang Pustaka, Komunitas Bambu, Marjin Kiri, Partikular, hingga Warning Books.
Saya sempat membeli dua buku baru: Kepikiran Dangdut dan Hal-hal Pop Lainnya (2024) karangan Mahfud Ikhwan; dan Parade Hantu Siang Bolong (2020) karya Titah AW. Dua-duanya terbitan Warning Books, Yogyakarta. Mahfud kebetulan juga menjadi narasumber gelar wicara bedah buku terbarunya itu, sementara Titah AW merupakan jurnalis lepas yang sudah saya ikuti tulisan-tulisannya di sejumlah media, seperti Vice dan Project Multatuli.
Sayang, saya belum mampu membeli semuanya. Saya memilih bijaksana untuk menahan diri, daripada kalap menguras uang tabungan. Belanja buku juga perlu realistis. Namun, setidaknya saya telah mencatat judul-judul buku yang menarik dan masuk daftar beli suatu saat nanti.
Optimisme eksistensi penerbit independen
Gelar wicara pertama di Pekan Buku Magelang (14/07/2024)dibuka oleh diskusi tentang dapur penerbit independen. Diah Dwi Puspitasari dari Bentang Pustaka didapuk menjadi moderator, dengan dua narasumber kunci, yaitu Kurnia Yaumil Fajar (SOKONG! Publish) dan Wicahyanti Rejeki (TriBEE).
SOKONG! Publish merupakan platform penerbitan independen berbasis fotografi yang berasal dari Yogyakarta. Kurnia Yaumil Fajar termasuk dalam salah satu pemrakarsa selain Danysswara, Deni Fidinillah, Moh. A. Ulul Albab, dan Prasetya Yudha. Sementara TriBEE adalah penerbit indie di Magelang yang didirikan oleh Wicahyanti Rejeki, yang juga telah menulis banyak buku anak.
Keduanya membedah perbedaan signifikan antara penerbit mayor dengan independen, sekaligus mengulas potensi besar dari keberadaan penerbit indie. Baik itu dari segi penyusunan naskah, penyuntingan, sampai pemasaran. Di tengah tantangan dan kendala yang tak mudah, Wicahyanti dan Kurnia tetap yakin dengan keberlanjutan penerbit independen. Salah satu semangat yang mereka usung adalah mendorong siapa pun, baik anak-anak maupun orang dewasa, untuk bisa membiasakan menulis dan menerbitkan bukunya. Buku bisa menjadi dokumentasi terbaik untuk merekam ingatan dan pemikiran. Keduanya pun sepakat jika setiap buku pasti memiliki pembacanya sendiri.
Mengenang dan mendoakan Joko Pinurbo
Sesi diskusi kedua dilanjutkan dengan perenungan dan penyampaian kesaksian kepada jalan hidup Joko Pinurbo. Seorang penyair legendaris yang terkenal kepiawaiannya mengolah diksi berbalut humor, ironi, kadang-kadang absurd, dan mengandung refleksi. Kata-katanya pun sederhana, tetapi mampu menyenangkan, meneduhkan, bahkan menyayat hati.
Wafatnya penyair besar asal Yogyakarta itu pada 27 April 2024 lalu memang mengejutkan banyak orang, terutama mereka yang pernah beririsan atau bersinggungan langsung dengan Jokpin—sapaan akarabnya, baik dalam urusan pekerjaan atau informal. Tidak terkecuali yang dirasakan Paksi Raras Alit dan Adimas Immanuel, bahkan Akata (penulis) yang bertugas sebagai moderator.
Paksi, misalnya. Penulis sastra cum musisi asal Yogyakarta itu bersaksi pada kebaikan Jokpin saat berada dalam ikatan pekerjaan antara keduanya. Sementara Adimas, penyair dan novelis muda dari Solo, mengaku begitu terkesan dengan perhatian Jokpin pada sastrawan muda seperti dirinya. Paksi dan Adimas turut berbagi impresi pada puisi-puisi karya Jokpin yang dianggap paling melekat di benak masing-masing. Keduanya tak lupa mengajak peserta diskusi mendoakan mendiang sang pujangga sastra dan mengenang karya-karyanya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.