Travelog

Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang

Museum tidak sekadar tempat untuk membaca informasi atau melihat galeri. Lebih dari itu, seperti di Museum Song Terus, kita akan berziarah dan bercermin pada garis takdir di masa lalu.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Rifqy Faiza Rahman dan Muhammad Najih Fasya


Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
Tampak depan Museum Song Terus Pacitan/Rifqy Faiza Rahman

Rasa takjub menyelimuti ketika baru tiba di depan pagar Museum Song Terus Pacitan. Bangunan utama nan futuristik dan serba cokelat, dengan patung ikon DNA di bagian depan sebagai simbol keragaman manusia yang pernah tinggal di kawasan Gunung Sewu, tampak kontras dengan lingkungan di sekitarnya, tetapi sejatinya selaras terhadap perkampungan, bukit-bukit kapur, dan hijaunya pohon kelapa. Letaknya hanya sekitar 350 meter dari situs dan objek wisata Gua Tabuhan yang lebih dulu populer. Dari pusat kota Pacitan, perlu waktu berkendara paling cepat setengah jam untuk jarak tempuh 23 kilometer ke Desa Wareng, Kecamatan Punung, tempat museum ini berada.

Meskipun akhir pekan, saat saya dan keluarga datang (6/4/2024), tidak ada satu pun pengunjung lainnya. Karena masih dalam masa soft launching sejak 12 Oktober 2022, kunjungan wisata ke museum belum dipungut biaya alias gratis. Saya hanya diarahkan mengisi buku tamu di meja resepsionis. Usai menulis data diri yang mewakili rombongan keluarga, saya meminta seorang petugas museum untuk memandu kami berkeliling museum.

Permintaan saya direspons cepat. Seorang pria tambun dengan seragam lapangan berbahan ripstop warna khaki muncul dari balik ruang resepsionis. Ia dengan cekatan memasang mikrofon bando di atas kepalanya lalu menyambut kami dan memperkenalkan dirinya. Namanya Janu, asisten humas dan pemasaran museum yang asli orang Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Ia merupakan pegawai resmi di bawah naungan UPT Museum dan Cagar Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI. 

Langkah awal kami dimulai dengan mendatangi ruang audio visual atau bioskop mini yang berada satu lantai dengan lobi. Letaknya di belakang resepsionis. Seorang petugas perempuan menyambut ramah dan membantu melakukan tap in pada mesin pembaca kartu (ke depannya setelah berbayar akan ada karcis berkode batang atau barcode khusus) untuk kami masuk satu per satu.

Di bioskop mini yang nyaman dan bisa menampung puluhan orang itu, pengelola memutar video edukasi seputar Museum Song Terus dan literasi prasejarah yang disajikan Pusat Arkeologi Nasional. Durasinya cukup singkat, kira-kira kurang dari 10 menit. Detik itu juga, saya kian merasakan kebanggaan dan keharuan luar biasa sebagai putra asli Pacitan. Kabupaten kecil yang dikepung perbukitan dan laut selatan, yang ternyata mempertemukan jejak dua ras besar manusia ribuan tahun lampau, yaitu Australomelanesoid dan Mongoloid. 

  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang

Enam zona galeri dan hikayat Kali Baksoka

Museum yang berdiri di lahan seluas dua hektare tersebut tidak hanya bercerita tentang Song Terus itu sendiri, maupun jejak-jejak prasejarah lain yang ada di Pacitan. Membahas Song Terus berarti berbicara pula tentang ekosistem alam karst dan kehidupan prasejarah yang ada di sepanjang kawasan Pegunungan Sewu atau Gunung Sewu.

Sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 3045 K/40/MEM/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu, gugusan batuan kapur yang terangkat dari dasar laut ribuan tahun silam itu membentang seluas 1.100,17 km2 di empat kabupaten dalam tiga provinsi. Mulai dari Bantul (20,70 km2) dan Gunungkidul (757,13 km2) di Daerah Istimewa Yogyakarta, Wonogiri (162,80 km2) di Jawa Tengah, serta Pacitan (159,54 km2) di Jawa Timur. Sejak 2015 (sampai sekarang), area berisi 40 ribuan bukit karst tersebut ditetapkan sebagai Geopark Global oleh UNESCO.

Keberadaan Museum Song Terus justru ikut melengkapi Museum Karst Indonesia di Wonogiri yang sudah berdiri terlebih dahulu pada 2009. Jarak kedua museum hanya 28,5 kilometer atau kurang dari satu jam perjalanan dengan motor maupun mobil. Kini, selain pantai atau gua, warga asli Pacitan atau pelancong yang berkunjung ke Pacitan memiliki destinasi alternatif terbaik dan memberi pelajaran berkesan dengan kehadiran museum yang dibangun pada 2016–2020 tersebut. PT Urbane Indonesia yang didirikan Ridwan Kamil adalah pemenang sayembara desain dan merancang arsitektur museum seperti bisa kita lihat sekarang. Menurut Janu, sejumlah seniman gabungan asal Bali turut memberi sentuhan penting pada tata letak dan bagian interior.

Terdapat enam zona galeri di dalam Museum Song Terus. Zona 1: Introduksi memuat informasi umum terkait Museum Song Terus dan kawasan karst Gunung Sewu. Di sini dijelaskan peran umum museum sebagai salah satu tempat interpretasi kehidupan prasejarah, ceruk alam, dan kondisi aliran sungai bawah tanah Gunung Sewu. Zona 2: Lingkungan Alam Gunung Sewu menyajikan informasi tentang proses alam pembentukan bukit-bukit kerucut karst Gunung Sewu, serta keanekaragaman hayati yang telah ada sejak lama sampai akhirnya mulai dihuni manusia.

  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang

Mencuatnya Pacitan sebagai salah satu pusat riset kehidupan prasejarah yang sudah diperhitungkan dunia, kemungkinan berawal dari temuan situs eponym Kali Baksoka sejak abad ke-19. Sungai sepanjang 23 kilometer dan lebar sekitar 50 meter tersebut berhulu di Gunung Batok. Ada empat bagian dengan nama berbeda yang mengisi jalur sungai, yaitu Kali Baksoka di blok hulu dan tengah, kemudian Kali Kladen, Kali Sambi, dan Kali Maron di blok hilir yang bermuara di Pantai Ngiroboyo, Desa Sendang, Donorojo. Pantai selatan yang berjarak 20 km dari Song Terus atau 30 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Pacitan. Menurut Suprapta (2018), situs Kali Baksoka merepresentasikan aspek kehidupan sosial ekonomi manusia praaksara pada fase perkembangan teknologi paleolitik, dengan tingkatan kehidupan Masa Berburu dan Mengumpul Makanan Tingkat Sederhana.

Dalam ekspedisi G. H. R. von Koenigswald dan M. W. F. Tweedie pada 1935, dua kurator Museum Raffles (kini Museum Nasional Singapura) tersebut menemukan kekayaan peninggalan artefak paleolitik di dasar dan teras sungai. Bukti eksistensi Pacitanian, produk kebudayaan purba semasa Paleolitikum. Keduanya menemukan sedikitnya 3.000 buah alat-alat batu, di antaranya kapak genggam (hand axe). Sebuah kabar yang menggebrak dunia, bahkan lekat dalam ingatan para sesepuh Punung saat itu, karena von Koenigswald berinisiatif merayakan hasil temuannya dengan menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit selama tujuh hari tujuh malam.

Berselang setahun berikutnya, von Koenigswald memublikasikan penemuannya bersama Tweedie dengan artikel ilmiah berjudul Early Palaeolithic stone implements from Java, yang dimuat dalam buletin jurnal Raffles Museum No. 1 (hal. 52–62). Kelak, temuan legendaris ini menginspirasi peneliti-peneliti tingkat nasional dan dunia untuk berkunjung ke Pacitan. Khususnya peneliti kebumian, yang berusaha menguak bagian berundak dan teras Kali Baksoka itu sendiri.

Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
Potret dan informasi yang menggambarkan pertemuan dua ras manusia modern di kawasan Gunung Sewu wilayah Pacitan/Rifqy Faiza Rahman

Bergeser ke Zona 3: Perjalanan Kehidupan Manusia Prasejarah Gunung Sewu, kami diceritakan kehidupan yang berlangsung di Gunung Sewu dari masa paling tua sampai paling muda di era prasejarah. Termasuk pertemuan dua ras manusia modern terbesar, yaitu Australomelanesoid dan Mongoloid, hingga bagaimana kemampuan mereka bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya serta menghasilkan corak kebudayaan yang beragam.

Lalu pada Zona 4: Capaian Peradaban Manusia Prasejarah Gunung Sewu menampilkan ragam produk budaya manusia penghuni Gunung Sewu. Mulai dari alat-alat batu, seperti calon-calon beliung (perkakas serupa mata kapak untuk memotong kayu dan bercocok tanam), serpih (limbah batu untuk menguliti, memotong, dan mengiris binatang buruan), bahan baku alat baik dari batu-batuan atau artefak kerang, perhiasan, dan sistem penguburan yang pernah eksis di kawasan karst tersebut. Adapun Zona 5: Gunung Sewu Masa Sekarang memperlihatkan kepada kami koleksi-koleksi tradisi prasejarah yang diadaptasi dan berlangsung hingga saat ini. Sebut saja alat-alat pandai besi, seperti ububan (sejenis alat pengembus api pada tungku), palu, sapit, gantol, dan tatakan. Pun alat-alat dapur, seperti kendi, kendil, tungku, lemper, alu, lumbu, teko, kuali, dan gentong.

Terakhir di Zona 6: Kesimpulan, merupakan galeri penutup yang mengajak kami merenungkan dan memahami kembali jejak sejarah, apa pun itu, yang telah terjadi di Gunung Sewu sepanjang periode lampau sampai sekarang. Perjalanan panjang tersebut memberi pelajaran berarti bagi masyarakat yang hidup saat ini.

Menyapa Mbah Sayem dan sosok perempuan dari Song Keplek

Salah satu yang saya incar tatkala berkunjung ke Museum Song Terus adalah melihat replika kerangka manusia yang dijuluki Mbah Sayem. Sosok ikonis situs Song (gua) Terus yang terletak persis di seberang museum. Sebagai informasi, Song Terus merupakan gua horizontal sepanjang 150 meter dengan lebar lorong antara 10–20 meter dan ketinggian plafon 10 meter. Dinamakan “Terus” karena pintu depan gua tembus ke sisi lain bukit.

Mbah Sayem ditemukan para arkeolog dan warga setempat pada 1999. Rangka Mbah Sayem (ST 1), bukti manusia ras Australomelanesoid, adalah wujud seorang laki-laki berusia 40–50 tahun yang dikubur dalam posisi kaki terlipat dengan lutut berada di bagian dada, orientasi arah jasad dari timur ke barat (bagian kepala) dan punggung membelakangi Kedua tangannya terlihat menggenggam alat-alat atau sejenis perkakas dari batu maupun tulang. Sejumlah bagian giginya masih melekat pada mandibula (rahang bawah) dan maksila (rahang atas) berjumlah 28 buah. Sembilan di antaranya mengalami karies (gigi berlubang), yaitu gigi seri (incisor), gigi taring (canine), gigi geraham kecil (premolar), dan gigi geraham (molar).

Di sekitar jasad Mbah Sayem, peneliti juga menemukan sejumlah besar tengkorak monyet ekor panjang (Macaca sp.), moluska, dan binatang kecil lainnya, yang mungkin merupakan bahan makanan utama sekaligus penting bagi manusia penghuni Song Terus. Dari hasil reka waktu oleh seorang pakar paleontologi Florent Détroit, Ph.D dari Muséum national d’Histoire naturelle (MNHN), penanggalan beberapa sampel moluska menunjukkan usia sekitar 9.330 tahun. Angka inilah yang akhirnya menjadi dasar kesimpulan masa hidup Mbah Sayem, yakni di kisaran 8.500–9000 tahun lalu.

Dalam pandangan Widianto (2010), ras Australomelanesoid adalah penghuni sejati gua-gua karst Gunung Sewu, terutama Pacitan, yang hidup dan mendiami lebih dari 5.000 tahun di paruh pertama Kala Holosen. Profesor riset Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta itu juga menyebut jika Gunung Sewu pun tenar sebagai kerajaan-nya para Australomelanesoid di Pulau Jawa.

Selain Mbah Sayem, berdekatan dengannya tersaji pula replika kerangka berjenis kelamin perempuan (SK 5) dari situs Song Keplek. Sebuah kompleks gua yang berada di Dusun Pagersari, Punung, Pacitan. Ia adalah salah satu dari lima rangka manusia yang ditemukan di situs berjarak lima kilometer dari Song Terus itu. Berbeda dengan Mbah Sayem, jasad manusia Song Keplek merupakan bukti keberadaan ras Mongoloid yang hadir lebih muda dan prosesi penguburannya lebih rapi dan lurus atau primer telentang (dorsal). Hasil rekonstruksi penanggalannya menghasilkan angka sekitar 3.053 tahun silam.

Rangka asli Mbah Sayem dan tengkorak manusia lainnya dari Song Keplek tersimpan rapi dan aman di laboratorium milik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Punung, Pacitan. Berdasarkan keterangan Janu, sampai sekarang pun sejumlah peneliti hingga arkeolog lintas negara masih silih berganti datang ke Song Terus. Mencoba menguak sisi-sisi lain yang belum terungkap. 

Setidaknya selama dua dekade terakhir, proses eksplorasi dan ekskavasi Song Terus, Song Keplek, maupun situs-situs purba lainnya terus dikerjakan para arkeolog atau peneliti prasejarah. Kredit lebih ditujukan terutama pada dua tokoh yang menonjol, yaitu Prof. (Ris) Dr. Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Prof. Dr. François Sémah (MNHN), Paris, Prancis. Keduanya berkolaborasi menghasilkan makalah-makalah (paper) ilmiah seputar kehidupan dan kebudayaan prasejarah yang luar biasa.

Secara usia, memang jejak manusia prasejarah di situs Sangiran, Sragen–Karanganyar, jauh lebih tua dan dibandingkan Mbah Sayem. Namun, Janu dengan tegas menyebut, di Pacitan-lah salah satu pusat bengkel penghasil perkakas purba terbaik dan terbanyak yang pernah dibuat pada masanya.

  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
  • Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang

Wujud gerakan pelestarian literasi sejarah

Sejak soft launching 12 Oktober 2022 bersama Museum Semedo Tegal dan Museum Batik Indonesia Jakarta, sejumlah kegiatan lintas usia telah meramaikan Museum Song Terus. Mulai dari lomba mewarnai tingkat TK, lomba rekonstruksi gerabah tingkat SMP/MTs, workshop pembuatan replika alat batu, kegiatan promosi oleh media dan influencer lokal, bahkan pagelaran wayang kulit.

Terbaru, pada akhir Desember 2023 sampai awal Januari 2024 digelar pameran dan diskusi publik Song Terus Expo dengan tajuk “Jagat Mbah Sayem” oleh Komunitas Kangen Pacitan bersama Pemerintah Kabupaten Pacitan. Dikutip dari siaran pers di situs web Pemkab Pacitan, acara tersebut menyajikan sejumlah objek literasi dan aneka kegiatan, seperti tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan dan teknologi tradisional, seni bahasa, permainan rakyat, sampai olahraga tradisional.

Menurut informasi Janu, saat ini tengah dikebut penyelesaian infrastruktur fisik amphitheater yang terletak di sisi luar atau barat bangunan museum. Pembangunan amfiteater atau gelanggang terbuka tersebut dilakukan oleh Indonesian Heritage Agency (IHA), lembaga publik di bawah Kemendikbud RI, sebagai bagian revitalisasi terbaru di Museum Song Terus. Ke depan, tambah Janu, siapa pun boleh memakai amfiteater ini untuk berkegiatan dan berkolaborasi dengan museum.

Tak hanya itu. Fasilitas-fasilitas penunjang lainnya terus dipoles agar optimal saat digunakan. Selain ruangan galeri temporer semi terbuka untuk pameran, pentas seni, dan bazar, ruang audiovisual atau auditorium pun bisa digunakan komunitas atau pihak-pihak luar museum sebagai sarana pemutaran film, seminar, rapat, maupun acara diskusi publik. Bagi pengunjung yang ingin leluasa mengeksplorasi lebih jauh, tersedia 18 kamar atau mess untuk menginap dengan tarif tertentu sesuai tipe kamarnya.

Langkah-langkah serius oleh beberapa pihak dan pemangku kepentingan terhadap pengembangan Museum Song Terus Pacitan patut diapresiasi. Tidak akan mungkin pemajuan dan pelestarian kebudayaan dilakukan sendiri-sendiri. Sehingga julukan “Kota 1001 Gua” tidak sekadar slogan, tetapi juga wujud konkret memperluas jangkauan literasi sejarah kepada seluruh generasi. Dalam kacamata Dwijonagoro dkk (2022), pada hakikatnya Museum Song Terus merupakan tempat yang berfungsi sebagai pelestari budaya sejarah. Bukan hanya secara wujud fisik saja, melainkan dalam tatanan nilai dan norma juga.

Museum Song Terus Pacitan: Tempat Pulang ke Nenek Moyang
Mulut gua Song Terus yang terletak persis di seberang museum/Muhammad Najih Fasya

Situs Song Terus dan museum barunya, seakan berkata pada khalayak, bahwa Pacitan bukan melulu soal pantai atau wisata kekinian lainnya. Daerah paling ujung barat daya Jawa Timur ini adalah medium untuk refleksi pada masa lalu. Melihat kembali perjalanan Mbah Sayem dan para leluhur yang hidup sezaman. Menjaga singgasananya abadi sebagai pelajaran dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan untuk masa depan.

Kita tidak boleh kalah dengan spirit dan hasrat Franz Wilhelm Junghuhn, yang meluangkan waktunya melukiskan keindahan bentang alam Gunung Sewu dengan teknik litografi. Pada 1853, naturalis dan botanis Jerman itu menerbitkan karyanya dalam buku Java, Deszelfs Gedaante, Bekleeding en Inwendige Structuur.

Pun begitu dengan von Koenigswald sang pencetus Pacitanian, Prof. Dr. Teuku Jacob (Bapak Paleoantropologi Indonesia), Prof. Dr. Harry Truman Simanjuntak, maupun Prof. Dr. François Sémah. Sumbangsih jiwa dan raga para peneliti yang passionate di bidangnya tidak boleh disia-siakan. (*)

Foto sampul:
Monyet ekor panjang (Macaca sp.) adalah salah satu spesies kera paling dominan dari sejumlah spesies fauna yang pernah ditemukan di situs Song Keplek (Punung, Pacitan) dan Gua Braholo (Rongkop, Gunungkidul). Selain itu, temuan gigi orang utan (Pongo pygmaeus) di kawasan Luweng Dawung (Donorojo, Pacitan) juga engindikasikan satwa ini pernah hidup di Gunung Sewu dan menunjukkan kawasan tersebut sebagai hutan tropis. Ukuran orang utan purba tersebut lebih besar dari orang utan sumatra, tetapi lebih kecil dari orang utan kalimantan. Sayang, fauna endemik Gunung Sewu itu kini telah puna/Rifqy Faiza Rahman


Referensi

Dwijonagoro, H. A. P., Dwijonagoro, A. N., & Hadi, S. (2022). Museum Song Terus sebagai Sarana Wisata Budaya Sejarah di Kabupaten Pacitan. Jurnal Siginjai. Vol. 2, No. 2, Desember 2022. https://doi.org/10.22437/js.v2i2.21551.
Suprapta, B. (2018). Pemanfaatan Cagar Budaya di Kabupaten Pacitan Sebagai Media Penunjang Pendidikan Sejarah. Jurnal Pendidikan Sejarah Indonesia. Vol. 1, No. 1, 2018. http://dx.doi.org/10.17977/um033v1i12018085.
Widianto, H. (2010). Jejak Langkah setelah Sangiran. Sragen: Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.


Museum Song Terus

Buka setiap Selasa–Minggu. 08.00 – 16.00 WIB (Senin dan hari libur keagamaan tutup)
Facebook: Museum Song Terus
Instagram: @songterus_museum
Tiktok: @songterus_museum
Informasi: +62 821-4052-3401 (WhatsApp humas museum)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Pacitan, Kenangan Masa Kecil di Kampung Halaman