Travelog

Menyusuri Pasar Kumandang hingga Candi Bongkotan

Terkenal dengan hawa dingin khas pegunungan, tempat wisata alam yang menawan, dan beragam kuliner lezat yang menggoda lidah, adalah beberapa alasan kenapa para wisatawan berkunjung ke Kota Wonosobo. Jika biasanya wisatawan datang untuk berkunjung ke Dieng, lain cerita sebelum pandemi singgah. Mereka datang untuk berkunjung ke Pasar Kumandang, Bongkotan. Pasar ini berhasil mencuri perhatian karena mengusung konsep pasar tempo dulu dan terletak di tengah hutan yang masih asri. 

Saya sendiri penasaran dan berkesempatan mengunjungi Pasar Kumandang bersama teman SMP. Kebetulan saya sedang berada di rumah Wonosobo, dan ingin menghabiskan akhir pekan dengan lebih produktif—tidak hanya sekedar rebahan di pojokan kamar.

Kami ke sana mengendarai sepeda motor dari rumah dengan estimasi waktu kurang lebih sekitar satu jam. Begitu tiba, suasana di area pasar sudah ramai pengunjung, dan rupanya saya kesiangan karena sudah begitu antre kendaraan yang terparkir. Terlihat tukang parkir dan beberapa petugas mulai kewalahan saat memberikan karcis pada para pengunjung sudah mulai mengular.

Letak pasar di tengah hutan/Annisa S

Lokasi Pasar Kumandang

Lokasi Pasar Kumandang mudah ditemukan, karena tidak jauh dari pusat Kota Wonosobo. Terletak di Jl. Candi Bongkotan, Dukuh Bongkotan, Desa Bojasari, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo. Pasar ini hanya buka di hari minggu saja, mulai pukul 07.00 – 13.00 WIB.

Ini pasar wisata, bukan pasar tradisional pada umumnya. Letaknya berada di tengah hutan rindang, menggunakan koin atau kepingan kayu sebagai alat transaksi di dalam pasar. Tentu membuat saya penasaran ingin segera bertandang.

Begitu memasuki pintu masuk pasar, alunan musik angklungan menyambut. Para pemusik lengkap menggunakan blangkon dan pakaian batik khas tempo dulu bermotif garis berwarna coklat tua.

Dari pintu masuk, rupanya harus melewati tangga yang terbuat dari tanah. Ada papan penunjuk arah yang tersebar di area pasar sehingga memudahkan para pengunjung memilih area yang dituju. Setelah tiba di area pasar, banyak hal menarik yang saya jumpai. 

Koin untuk bertransaksi di pasar/Annisa S

Transaksi menggunakan kepingan kayu

Untuk bisa bertransaksi di pasar ini, para pengunjung harus membeli kepingan kayu terlebih dahulu di tempat pembelian yang bernama Bakul Koin. Satu keping kayu nominalnya adalah Rp2 ribu. Pengunjung bebas membeli berapa keping pun selama kepingan kayu masih tersedia di tempat pembelian.

Kebetulan saya dan teman sampai pasar pukul 10.00 WIB, Bakul Koin sudah ramai. Beruntungnya, saya masih kebagian walaupun hanya 5 keping saja. Sebab, peredaran koin di pasar ini memang dibatasi.

Suasana khas tempo dulu

Memasuki area pasar, ada banyak ornamen zaman dulu yang direpresentasikan di sini. Lihat saja para penjual yang berasal dari Desa Bongkotan, mereka mengenakan menggunakan jarik, kemben, dan blangkon. Para penjual di sini harus menggunakan tungku dari tanah liat guna memasak makanan yang dijual.

Menariknya, penggunaan besek bambu, dan daun pisang wajib digunakan sebagai pengganti plastik untuk semua kemasan makanan. Pengunjung yang membuang sampah sembarangan juga diberlakukan denda, dan tidak boleh merokok sembarangan di area pasar. Para pengelola telah menyediakan tempat khusus di salah satu sudut pasar.

Sayup-sayup alunan musik gamelan terdengar, serta lalu-lalang pengunjung yang datang membuat semakin riuh pasar. Ada yang menarik di sini, yakni penggunaan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi saat bertransaksi.

Kuliner yang disajikan pun semua khas Wonosobo, dipadu jajanan tempo dulu untuk nostalgia para pengunjung. Ada cilok bumbu kacang, tiwul, rujak buah, klepon, cenil, lopis, tempe kemul, nasi megono, pecel, mie ongklok, soto, dan masih banyak jajan lain yang lezat saya temui disini. 

Harganya pun terjangkau. Saya membeli satu porsi cilok seharga Rp4 ribu, dibayar dengan dua keping koin. Untuk nasi megono, harganya 3 keping sudah termasuk lauk tempe kemul. Tak hanya kuliner yang menggoda, sebagai pecinta kopi, saya dan teman saya juga mencicipi kopi tubruk khas Pasar Kumandang. Gelasnya terbuat dari bambu seperti gelas zaman dulu. Secangkir kopi ini, kebetulan saya mendapatkan secara gratis. Kebetulan, pemiliknya adalah teman kami SMP yang tak sengaja bertemu di pasar ini. 

Susana pasar Kumandang/Annisa S

Mainan anak tradisional 

Beragam permainan anak tradisional ada di sini, mulai dari egrang kayu, egrang batok kelapa, sirkuit ndeso, jungkat-jungkit, lumbungan, hingga memberi makan kambing.

Ada yang disediakan gratis, dan ada juga yang berbayar. Para pengunjung juga banyak mengajak anak-anaknya untuk bermain di sini. Nampaknya pelbagai permainan  di sini erat kaitannya dengan ungkapan Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa “permainan anak adalah pendidikan.”

Belajar aksara Jawa

Para pengunjung bisa mengikuti les Bahasa Jawa dan aksara Jawa gratis, di gubuk bambu di area pasar. Pengajar yang merupakan anak muda desa penuh semangat menerangkan, saya jadi sadar pentingnya belajar aksara Jawa.

Tetiba, saya ingat kalau dulu selalu malas untuk menghafalnya. Maka setiap ujian tiba, saya selalu membawa gantungan kunci beraksara Jawa yang saya pasang di tempat pensil. Memang, aman-aman saja dari pantauan guru kelas untungnya. 

Tidak hanya les aksara Jawa, beragam koleksi buku cerita, sejarah, juga tersedia. Pengunjung yang ingin membaca dan misal tidak tertarik dengan kelas aksara Jawa, bisa membaca beragam koleksi buku. Gubuk ini cocok untuk singgah sebentar, setelah memutari pasar dari pojok ke pojok sebelum akhirnya pulang. 

Candi peninggalan Mataram Kuno 

Menjelang pukul 12.00 WIB, saya bersama teman pun bergegas untuk pulang karena pasar segera tutup. Tak disangka, pintu keluar mengarahkan kami pada situs Candi Bongkotan.

Konon, ini merupakan situs bersejarah peninggalan Dinasti Syailendra. Ditemukan pada tahun 1996, di kawasan kebun milik seorang warga. Berdasarkan data penelitian Badan Arkeologi Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dilihat dari struktur bangunan batuan candinya, diketahui candi ini lebih tua jika dibandingkan dengan Candi Dieng.

Candi Bongkotan dibangun saat kerajaan Mataram Kuno, tepatnya saat Dinasti Syailendra menempati Dukuh Bongkotan untuk menjadikan pusat kajian spiritual. 

Berkunjung ke Pasar Kumandang banyak cerita menarik yang bisa saya bawa pulang; wisata, sejarah, dan kuliner lokal bisa semakin berkembang berkat kolaborasi para warga desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.

Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Ragam “Hasil Hutan Bukan Kayu” dari Kapuas Hulu