Sore. Tanpa disadari sore menjadi waktu wajib bagi saya dan dua kawan, Benny dan Romi, untuk menelusuri Sumba.
Benny adalah teman kuliah saya yang sekarang menetap di Sumba bersama LSM Burung Indonesia. Romi orang Sumba dari suku Anakalang, Sumba Tengah. Hari ini kami di Sumba Barat. Kami menginap di permukiman suku Kodi, rumah kerabat Romi.
Jam 2 siang WIT, kami pun bergegas menuju lokasi sunset. Ada satu tempat yang sangat ingin kami kunjungi, Pantai Mbawana namanya. Pantai ini berada di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya. Referensi untuk ke sana hanya beberapa foto dari media sosial dan Google Maps.
Ternyata rute perjalanan menuju Pantai Mbawana melewati sebuah desa kuno yang sudah terkenal sebagai tujuan wisata, yakni Desa Ratenggaro. Atap-atap bangunannya menjulang tinggi, beda sekali dengan rumah adat Sumba yang saya lihat di Anakalang.
Setelah istirahat sebentar di desa ini, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Mbawana. Dua jam memacu motor, kami pun sampai di tujuan.
“Gapura” Pantai Mbawana
Di pos retribusi kecil, seorang pria dewasa dan anaknya tampak sedang duduk berjaga. Kami pun menghampiri pos tersebut, mengisi buku tamu, kemudian membayar Rp 10.000 per orang.
Ternyata, Pantai Mbawana terbagi menjadi dua, yakni areal pantai dan areal bukit yang dari sana kamu bisa melihat Pantai Mbawana dari atas. Kami mengunjungi pantainya terlebih dahulu. Untuk bisa sampai ke sana, kami harus menuruni anak tangga yang lumayan terjal dan licin.
Pantai Mbawana sungguh indah. Ada sebuah tebing kolosal yang tengahnya bolong seperti gapura. Pemandangan jadi semakin indah oleh ombak yang menampar tebing-tebing di kejauhan.
Kali ini pantai sedang surut sehingga ombak tak sampai ke gapura. Dari beberapa foto yang saya lihat di media sosial, saat laut sedang pasang ombaknya bisa sampai ke sana.
Kami pun berjalan mendekati monumen alami itu. Tebing bolong itu sangat kokoh dan tampak megah, cocok sekali dijadikan tempat berfoto.
Di atas bukit
Dari pantai, kami pindah ke bukit. Ternyata jaraknya lumayan jauh sampai-sampai kami harus ke sana menumpang sepeda motor.
Sesampai di bukit, kami nongkrong di sebuah pondok bambu kecil sambil menikmati keindahan pesisir Pantai Mbawana. Pondok ini terasa menyatu dengan suara ombak dan angin, juga kehangatan matahari sore.
Saat sedang asyik menikmati detik-detik tenggelamnya matahari, dua orang warga lokal datang bersama beberapa ekor anjing. Mereka bersikap ramah dan ikut duduk bersama kami.
Namun, diam-diam Romi memberitahu saya bahwa kedua orang itu datang karena sedang ada wisatawan—kami bertiga—yang berkunjung ke sini. Mereka datang untuk menjadi “penjaga” keselamatan wisatawan dan, ujung-ujungnya, mereka akan meminta imbalan uang rokok. Kondisi tipikal di destinasi-destinasi “potensial.”
“Nanti kasih saja Rp 10.000 per orangnya. Mereka sudah terbiasa seperti itu,” begitu kata Romi. Saya tak keberatan, sebab uang segitu memang tak ada bandingannya dengan pemandangan indah Pantai Mbawana ini.
Senja di Pantai Mbawana
Hari semakin sore. Tanpa terasa, matahari mulai turun mendekati garis horizontal di laut. cahaya matahari mulai memberikan pemandangan terbaiknya. Senja begini, keajaiban seolah-olah terus terjadi tanpa henti.
Apalagi suasana saat itu sangat mendukung. Langit cerah, laut surut, dan, di samping saya, ada kawan-kawan yang bisa diajak berbincang.
Di bawah sana, warga setempat pun mulai memenuhi Pantai Mbawana. Mereka tampak sibuk mengorek-ngorek sesuatu di genangan air laut yang sedang surut. Entah apa yang mereka cari: kerang-kerangan, keong, gurita, atau mungkin teripang?
Tebing ini terlalu tinggi sehingga saya tidak bisa berteriak untuk bertanya pada mereka. Apa pun itu, yang jelas momen ini indah sekali dan sayang jika tidak diabadikan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.