Hari itu saya tiba di Pulau Sumba, tempat teman semasa kuliah saya bekerja. Teman saya itu bernama Benny. Dia bekerja untuk LSM Burung Indonesia dan sudah dua tahun ini ditempatkan di Pulau Sumba.
Saya dijemput di Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur. Ternyata kawan lama saya itu tidak sendiri. Dia membawa temannya, orang Sumba asli yang juga anggota LSM Burung Indonesia. Namanya Romi, anak dari suku Anakalang,¹ Sumba Tengah. Singkat cerita, dibawalah saya untuk beristirahat sebentar di rumah kerabat Romi di Kampung Raja Prailiu.
Kampung itu sangat kaya akan nilai budaya, mulai dari sejarah bangunan, makam batu, sampai, yang paling membuat saya tertarik, kain tenun Sumba. Di kampung itu saya mendapati banyak perempuan yang sedang membuat kain tenun Sumba.
Corak dan pola kain tenun Sumba yang mengesankan
Yang mengesankan dari kain Sumba Timur ini adalah corak dan polanya. Tiap gambar—kuda, ayam, dan lain-lain—memiliki cerita masing-masing. Kerumitan dan keindahannya membuat kain tenun Sumba dihargai lumayan mahal, sekitar satu sampai tiga juta rupiah. Barangkali, lain kali saja saya membeli kain tenun Sumba.
Setelah istirahat sebentar di Kampung Raja, kami meneruskan perjalanan. Saya akan numpang menginap di kantor Burung Indonesia di Sangalaki, Sumba Tengah.
Tetapi, sebelum ke sana, saya mesti menyaksikan sesuatu yang selama ini hanya bisa saya “lihat” di tulisan atau foto orang, yakni sunset di Bukit Wairinding. Melihat matahari terbenam di Wairinding memang jadi tujuan utama saya jalan-jalan ke Sumba Timur.
Kami pun melaju dengan motor ke Wairinding dan tiba di sana sebelum sunset. Bagi saya yang terbiasa melihat pemandangan khas Jakarta—gedung pencakar langit dan lampu mobil yang sedang antre karena macet—Wairinding tampak luar biasa.
Saya terpukau melihat perbukitan hijau yang menghampar begitu luas sampai ke cakrawala. Angin sejuk yang berhembus dan kehangatan matahari yang sedang menuju peraduan membuat momen sunset di Wairinding itu susah untuk dilupakan.
Keceriaan anak-anak Wairinding
Karena saat itu masih jam 4 sore, kami pun duduk menanti sunset ditemani biskuit yang dibawa oleh teman saya. Tak lama berselang, lewatlah beberapa anak kecil membawa jeriken penuh air yang baru diambil dari sumur.
Teman saya pun mengajak mereka untuk ikut menikmati sunset. Setelah mengantarkan air ke rumah masing-masing, mereka pun bergegas kembali ke Bukit Wairinding. Mereka ceria dan bersemangat. Sebentar saja, kami langsung akrab. Mereka juga tak ragu-ragu bercerita tentang kegiatan sehari-hari mereka—sekolah dan membantu orangtua.
Membantu mengambil air ke sumur termasuk tugas harian mereka. Ternyata, sumur itu terpaut beberapa bukit dari tempat kami duduk. Lumayan jauh. Namun anak-anak Sumba itu sudah terbiasa melakukannya.
Teman saya pun menawarkan biskuit kepada anak-anak itu. Mereka sangat suka biskuit. (Ternyata itulah alasan kenapa teman saya selalu membawa biskuit kemana-mana.) Anak-anak Sumba senang biskuit—sementara orang-orang tua di Sumba sangat menggemari kopi.
Dihangatkan oleh cahaya keemasan matahari dan keceriaan anak-anak Sumba, hari pertama saya di Nusa Cendana sungguh menyenangkan.
[1] Pada 09/05/18 pukul 11.18 dikoreksi dari “Sangalaki” menjadi “Anakalang” agar sesuai dengan tulisan kedua tentang Sumba yang dikirimkan oleh kontributor—ed.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.