April lalu Djaduk Ferianto hadir di Rumah Banjarsari Solo dalam diskusi berkenaan proses kreatif Bagong Kussudiardja, khususnya menyoal seni tari. Itulah mula perkenalan saya dengan sosok Bagong. Perkenalan terlambat yang saya nikmati, seperti halnya perkenalan-perkenalan lain dengan “orang-orang besar” yang baru terjadi seusai mereka tutup usia.
Kendati tidak bisa bertemu untuk menuai kuncup-kuncup pengetahuan langsung darinya, informasi tentang sosok dan karya Bagong terdokumentasi dengan sangat baik. Ini tampak ketika saya menghadiri pameran arsip bertajuk Ruang Waktu Bagong Kussudiardja. Pameran berlangsung pada 29 September-3 November 2018 di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Bantul, Yogyakarta.
Pameran arsip itu menjadi demikian penting untuk mengetahui dan, lebih jauh lagi, mempelajari kesungguhan Bagong dalam berkesenian. Salah satu sumber primer pameran arsip itu adalah arsip pribadi Bagong. Artinya, Bagong memiliki kesadaran akan perlunya kegiatan mengarsip. Ia mencoba mendisiplinkan dirinya untuk melakukan kerja pengarsipan berkenaan dengan karya-karyanya, mulai dari surat-surat kerjasama, surat keputusan, surat undangan, foto-foto perjalanan atau peristiwa kesenian, foto pertemuannya dengan para tokoh dunia, catatan seminar, pola lantai karya koreografinya, dan sejumlah artikel/naskah untuk pertunjukan, untuk media cetak, maupun untuk buku.
Mengutip Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran arsip Ruang Waktu Bagong Kussudiarja, bentangan arsip itu menunjukkan posisi Bagong dalam situasi: dilihat-melihat, dibaca-membaca, ditulis-menulis, dan difoto/direkam-memfoto/merekam.
Sosok Bagong yang dikenal sebagai seniman lintas skena itu kiranya mewujud dalam konsep PSBK. Kita melihat PSBK sebagai ruang berkesenian yang luwes merespon berbagai jenis kesenian—tari, musik, teater, rupa. Dus, perwajahan PSBK kini jelas tak bisa lepas dari semangat Bagong mengimani kesenian sebagai pilihan yang diupayakan dekat dan menjadi milik bersama masyarakat.
Dalam diskusi Public Lecture (27/10) lalu, diri ini, sebagai awam, mendapat cukup informasi mengenai persinggungan karya-karya Bagong dengan masyarakat. Beberapa tari ciptaan Bagong menjadi milik masyarakat di daerah-daerah tertentu, maksudnya diakui menjadi tarian daerah. Bagong tak pernah mempermasalahkan hal yang demikian. Ia justru senang ketika karyanya dapat diterima dan masih terus dipelajari dalam irama kehidupan bermasyarakat.
Seni tumbuh
Keinginan Bagong itu dengan mudah kita temui dalam kegiatan-kegiatan di PSBK, salah satunya ialah keberadaan program residensi seniman. Program hasil kerjasama PSBK dan Bakti Budaya Djarum Foundation itu setiap tahun membuka kesempatan bagi para seniman terpilih. Program tersebut jelas memberi ruang kepada masyarakat (dalam hal ini seniman dari berbagai daerah) untuk berproses seni bersama di PSBK.
Ihwal ini tidak bisa tidak bertaut dengan gagasan yang melatari Bagong menginisiasi padepokan seni. “Gagasan saya mendirikan padepokan ini muncul di benak saya ketika saya mengikuti pengambilan gambar film “Al-Kautsar” di sebuah pesantren. Saya benar-benar terkesan oleh kehidupan pesantren, hubungan antara yang mendidik dan yang dididik, keseharian para santri, kedisiplinannya, kerja keras mereka untuk mendapatkan ilmu dari para guru mereka, pengabdian mereka pada pesantrennya. Banyak. Di situlah saya mulai tergugah. Betapa baiknya pendidikan pesantren ini ditiru” (1993: 217).
PSBK kemudian menjadi ruang bertumbuhnya karya-karya para seniman. Salah satu kegiatan dengan tajuk Proyek Rupa Tumbuh 2018 menggagas pameran seni rupa karya para seniman residensi, yang secara puitis diberi judul “Menakar yang Gentar dan Gemetar.”
“Menakar yang Gentar dan Gemetar” dalam tujuh karya dari tujuh seniman
Dalam “Menakar yang Gentar dan Gemetar,” penikmat seni menjumpai tujuh karya dari tujuh seniman residensi yang berhasil bertahan. Konon, berdasar cerita dari salah seorang seniman, pada mulanya program residensi yang dimulai akhir tahun lalu itu diikuti oleh sepuluh seniman. Seorang di antaranya tidak dapat melanjutkan program tumbuh bersama di masa-masa awal, disusul dua seniman lain yang mundur atas pertimbangan-pertimbangan khusus oleh seniman yang bersangkutan. Tapi itu tak pernah jadi soal yang terlalu penting.
Tujuh karya yang dipamerkan demikian menarik keingintahuan penikmat seni. Pameran kali ini menarik justru bukan semata karena persoalan estetis atau keindahan karya yang terpajang, melainkan oleh apa-apa yang ada di balik lahirnya masing-masing karya.
Sampai di ruang pameran, saya disambut “Deathline” karya Nurina Susanti. Seniman rupa kelahiran Magetan ini bergelut dengan pandangan dan pengalaman diri dan orang-orang di sekitarnya—lebih banyak anak-anak muda—(serta yang diperolehnya ketika) mengalami hari-hari hiruk-pikuk berkarya dan/atau berkegiatan.
“Deathline” lahir berkat hari-hari gamang saat “diburu” waktu untuk lekas menyelesaikan karya guna dipamerkan dalam Proyek Rupa Tumbuh; karya ini adalah hasil pengenalan dan pengalaman dirinya saat bersinggungan dengan ragam tenggat. Selesai dengan dirinya, ia hadir kepada teman-temannya, mula-mula memberi pertanyaan, menanggapi jawaban teman dengan pernyataan dan/atau gagasan berkenaan dengan karya yang ingin ia kerjakan. Di situ terjadi alih pengalaman personal dan diskusi. Dua hal yang saya pikir sangat mungkin mendasari penciptaan sebuah karya, apa pun itu.
Bergeser dari karya Nurina yang terasa begitu “muda”—atau justru “anak-anak”—yang bernuansa riang gembira, penikmat bertemu karya Wijil Sinang Purba Waluya. Sinang adalah penulis naskah, aktor, dan sutradara film. Dengan kata lain, Sinang bukan seniman rupa.
Karya itu ialah diri Sinang sendiri, yakni pakaian cokelat Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan nuansa rebel. Konon, orangtua Sinang ingin anaknya menjadi PNS. Sementara dalam diri Sinang, PNS itu karib dengan hal-hal formil. Maka ia mengambil satu yang mencolok, seragam. Seragam yang dipajang tampak riuh oleh pin-pin pertanda jabatan di salah satu lengan, sementara lengan lainnya dipenuhi pin-pin simbol kebebasan (untuk tidak mengatakan terkekang oleh aturan) ala Sinang. Beberapa hiasan lucu berwarna merah muda juga kita jumpai di karya Sinang. Barangkali Sinang ingin mengenalkan dirinya, bahwa ia seorang rebel yang hatinya lembut.
Sri Kasih Hasibuan, seniman tari dan teater asal Medan bermain dengan caping dan kain-kain dengan beberapa teknik seperti lilit dan rajut. Pilihannya menggunakan media caping berkelindan dengan kisah ibunya yang seorang petani. Sementara, kain-kain dengan teknik lilit dan rajut yang berwarna-warni ialah gambaran dirinya mengalami beragam hal dalam perjalanan berkesenian. Pilihan kain yang beragam warna boleh kita anggap sebagai jiwa Kasih yang berani.
Dari keceriaan dan keberanian Kasih, kita bertemu Regina Gandes Mutiary. Seniman musik dan teater asal Jakarta itu tampak berdiri di samping karyanya. Beberapa penikmat menghambur ke arahnya. Perbedaan latar belakang pengetahuan, tingkat literasi antarorang, wilayah tempat tinggal, dan banyak faktor lain merupa ketimpangan sosial yang tak terelakkan. Perbedaan pemahaman dalam menghadapi isu tertentu itu konon mesti dikelola dengan kesadaraan akan toleransi. Dengan begitu, kita tak lagi perlu mempermasalahkan perbedaan. Sebab, bagaimana pun juga, perbedaan itu sudah bersifat kodrati, “given,” akan selalu ada.
Kesadaran untuk menghadapi perbedaan laiknya suatu yang wajar itulah yang mendasari kelahiran karya Gandes. Ia mencampur minyak dan air—dua hal yang jelas berlawanan—dalam satu tabung transparan. Sisi-sisi tabung dikaitkan sehingga berbentuk persegi panjang. Ada dua rangkaian tabung berbentuk persegi panjang yang masing-masing berisi minyak dan air yang telah diberi warna, merah dan biru. Gandes merangkainya menjadi sepaket tuas pengungkit. Ketika tuas digerakkan, kentara betul bagaimana minyak dan air dalam tabung itu menuju penyatuan.
Ada pula karya Istifadah Nur Rahma yang galau perkara jilbab di panggung pementasan. Bagi sebagian seniman teater perempuan, perkara jilbab ini kadang agak membingungkan. Kata Isti, jilbab itu kegalauan antara kepatuhan dan pilihan, hal yang lumrah dan terasa “biasa.”
Yang lumrah dan terasa biasa ini juga tampak dari karya Muhammad Tahta Gilang Anfasya Nasution, yang mengingatkan saya pada karya cukil kayunya Muhlis Lugis (2015). Muhlis menanggapi peristiwa sosial manusia-manusia gandrung ponsel di segala waktu. Manusia rekaan Muhlis tak punya kepala. Yang melekat di lehernya justru sebuah tangan, tentu saja yang menggenggam ponsel. Dua tangan lain juga tak alpa menggenggam ponsel yang di layarnya tampak penuh ikon aplikasi.
Pertautan ingatan dan pengalaman menikmati seni rupa di masa lalu rupanya cukup mengganggu saya mengenali karya Gilang. Di akhir tahun 2018, suara atau barangkali kegelisahan Gilang menghadapi dunia sosial gegar ponsel pintar tak lagi menghentak jiwa penikmat seni. Kegelisahan itu, kendati masih relevan, terasa biasa saja.
Sebelum menuruni tangga, penikmat bertemu karya Slamet Irfan. Dakron-dakron menyembul laiknya awan gemawan. Kain-kain lilit beragam warna menjuntai. Panjangnya berbeda-beda. Ada yang sangat pendek, ada pula yang sampai melingkar di lantai sebab terlalu panjang. Jika awan dari dakron-dakron itu ialah cita-cita atau mimpi, maka pendek-panjangnya kain itu tak lain ialah upaya menuju ke sana. Upaya itu juga bertaut kesediaan uang, pengetahuan, relasi sosial, dan lain-lain.
Kiranya, karya tujuh seniman residensi ini cukup berhasil merepresentasikan apa yang dilaik disebut Proyek Rupa Tumbuh. Tsah!