Setengah perjalanan antara Stasiun Kutoarjo dan Kebumen, saya dioper bis tanggung itu ke bis lain. Penumpang terlalu sedikit sehingga jadi tak ekonomis lagi bagi bis itu untuk meneruskan perjalanan sampai ke tujuan. Isinya memang hanya saya dan dua orang lain yang kemudian turun tak jauh dari titik keberangkatan.
Nasib bis kedua jauh lebih baik. Penumpang berjubel. Namun, saya tetap mengantisipasi jika saja nanti dioper lagi ke bis lain. Untungnya tidak.
“Yo! Persiapan Karanganyar! Pos Polisi! Pos Polisi!” kernet bis berteriak dari pintu belakang.
Senang sekali rasanya mendengar sebentar lagi saya akan tiba di tujuan. Saya segera bangun dari kursi, lalu menerobos barikade penumpang yang memadati lorong bis. Kendaraan umum itu pun berhenti dan saya meloncat turun. Tak menunggu lama, bis itu melaju meninggalkan saya.
Sepanjang perjalanan ke Kebumen, banyak yang bertanya pada saya, “Ngapain ke Kebumen?” Setiap kali ditanyai begitu, saya akan menjawab mantap begini: “Menonton pacuan kuda.” Mendengar itu, biasanya orang-orang akan mengernyit. Sebab, biasanya wisatawan datang ke Kebumen untuk ke Goa Jatijajar, Pantai Menganti, Pantai Karang Bolong, Gumuk Pasir Pantai Lembupurwo, atau Bukit Petulu Indah.
Tak banyak yang tahu bahwa sejak tahun 1957 di bulan Syawal, sebuah pacuan kuda rutin digelar di Ambal yang memang dikenal sebagai daerah peternakan kuda.
Saya dijemput Wijil, kawan sekampus, kemudian dibawa ke Lapangan Pacuan Kuda Tegalrejo, Desa Ambalresmi. Perjalanan lumayan seru, sebab kami melaju melewati hamparan sawah, rel kereta api, juga deretan warung sate Ambal. Sesekali kami berpapasan dengan truk bak terbuka yang muatannya adalah para penonton pacuan kuda.
Setiba dekat lapangan pacuan kuda, Wijil memarkir kendaraannya di halaman rumah warga, di antara sepeda motor yang sebagian besar berpelat AA. Dari sana, menembus kerumunan orang di antara lapak yang menjajakan aneka barang dan makanan, kami mesti berjalan sekitar seratus meter menuju lokasi. Semakin mendekati lapangan pacuan kuda, suasana semakin ramai. Maklum, hari ini pertandingan final.
Akhirnya kami tiba di depan sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu berkapur putih. Lewat sebuah lubang kecil, kami menebus tiket masuk (yang katanya tiket duduk) seharga Rp20.000/orang.
Kenyataannya, tidak ada tempat duduk yang tersisa bagi saya dan Wijil—juga bagi banyak penonton lainnya. Kursi-kursi plastik di bawah tenda yang disediakan panita sudah diduduki semua. Alhasil, para penonton yang tak kebagian kursi, jika tidak berdiri, berinisiatif untuk menggelar kain atau tikar di pinggir arena. Bahkan, ada sebagian penonton yang menggelar bivak dari jarik.
Sirkuit pacuan kuda di Ambal ini memang sangat sederhana. Selain “tribun” yang hanya berupa tenda dan deretan kursi plastik, kebersahajaan itu tampak dari pembatas arena yang hanya berupa bambu setinggi perut orang dewasa yang sangat mudah dilewati pengunjung. Tidak aman, tentu. Saya sendiri melihat buktinya. Saat jeda, saya meringis ketika seorang perempuan kena sepak wajahnya oleh kuda.
Tapi, segala keterbatasan itu tak membuat para pengunjung kehilangan semangat menonton final pacuan kuda. Hari itu ada sebelas pertandingan yang digelar. Para kontestan itu, setelah berhasil menjadi pemuncak di antara 127 kuda dari empat provinsi, berjuang memperebutkan hadiah berupa piala bergilir dan uang pembinaan.
Tensi di arena tentu saja tinggi. Para joki tampak bersemangat memacu tunggangannya. Diiringi teriakan penyemangat dari penonton, mereka dengan lihai mengitari sirkuit, berlomba-lomba menjadi yang tercepat. Akhirnya, ada yang terseok-seok di belakang, ada pula yang melaju penuh percaya diri di depan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menggemari perjalanan, musik, dan cerita.