Selepas istirahat, aku dan temanku bergegas menuju sebuah dermaga untuk bertemu dengan Pak Jeni. Ia seorang kepala desa dari Desa Mawan. Setelah semua perlengkapan dimasukkan ke perahu cepat, kami langsung berangkat menuju Desa Mawan.
Desa Mawan terletak di Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Perjalanan menuju Desa Mawan memakan waktu sekitar 45 menit dari dermaga yang berada di Desa Gudang Hulu, Selimbau. Perahu merupakan satu-satunya moda transportasi menuju Desa Mawan. Tidak ada jalur darat. Semuanya melalui sungai. Termasuk menyusuri Sungai Kapuas dan sungai-sungai kecil lainnya.
Setelah melintasi Sungai Kapuas, perahu kami memasuki nanga Danau Mawan. Nanga merupakan pertemuan dua aliran sungai. Nanga ini akan membawa kami menuju Danau Mawan, letak Desa Mawan berada.
Suasana Desa Mawan, Kapuas Hulu
Nama Mawan diambil dari nama danau tempat warga ini bermukim. Area pemukiman warga berada di tepi danau. Dengan beberapa kali dayung, perahu bersandar di dermaga kecil yang terletak di seberang rumah Pak Jeni. Semua peralatan yang kami bawa telah diturunkan dari perahu. Selama di Desa Mawan, kami tinggal di rumah Pak Jeni.
“Anggap saja kayak di rumah sendiri, Mas.” Ujar Pak Jeni sembari mengajak kami masuk ke rumahnya.
Pak Jeni bercerita bahwa Desa Mawan dahulunya merupakan sebuah dusun dari Desa Nibung. Kemudian mengalami pemekaran menjadi sebuah desa dalam wilayah Kecamatan Selimbau. Pak Jeni menjabat kepala desa sudah dua periode dan sekarang memasuki periode ketiganya.
Seperti di Selimbau dan desa pesisir sungai lainnya, rumah-rumah di Desa Mawan berbentuk rumah panggung dengan pondasi berupa kayu. Jalan desa berupa jembatan kayu yang mengelilingi area pemukiman warga. Desa Mawan terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Kuala Kapar dan Dusun Teluk Kuala.
Desa Mawan bebas dari kendaraan bermotor. Sepeda atau berjalan kaki menjadi pilihan warga ketika melakukan aktivitas di desa. Jaringan listrik milik negara belum yang masuk ke desa ini. Listrik desa masih menggunakan mesin diesel milik desa yang menyala mulai pukul 18.00 hingga 22.00.
Beberapa rumah memasang panel surya sebagai sumber listrik mereka. Selain jaringan listrik, sinyal telepon dan internet juga sangat sulit. Hanya ada di beberapa titik sinyal bisa diterima dengan baik. Warga desa biasa menggunakan perangkat tambahan untuk mendapatkan sinyal telepon.
Mayoritas warga Desa Mawan bekerja sebagai nelayan. Baik itu sebagai nelayan tangkap, maupun nelayan budidaya. Ikan patin dan ikan toman merupakan ikan yang dibudidayakan di desa ini. Ikan budidaya ini akan dijual jika beratnya sudah lebih dari 1 kg. Jika berat kurang dari 1 kg, keuntungan yang didapat tidak banyak.
Ikan budidaya ini diletakkan dalam sebuah keramba yang berada di tepi danau. Para tengkulak setiap beberapa minggu sekali akan datang ke Desa Mawan untuk membeli ikan. Jauh di pinggiran desa terdapat sekelompok warga yang sedang membuat perahu kayu dengan panjang sekitar 8-9 meter. Terlihat beberapa kapal sedang diproduksi oleh mereka.
Orang-orang di Desa Mawan
Sehari berada di sini aku mulai berkenalan dengan para perangkat desa yang akan membantuku. Salah satunya adalah Pak Sulardi atau biasa disapa dengan nama Pak Sul. Beliau merupakan Sekretaris Desa (Sekdes) Desa Mawan. Berdasarkan cerita Pak Sul, warga Desa Mawan mayoritas merupakan keturunan suku melayu dan seorang muslim.
Warga Desa Mawan dulunya adalah para pendatang. Para nelayan yang berasal dari desa-desa di sekitar Danau Mawan. Hasil ikan yang berlimpah membuat para nelayan ini mendirikan hunian sementara di sekitar danau. Para nelayan ini berpikiran daripada bolak-balik, lebih hemat jika tinggal di sekitar danau. Seiring berjalannya waktu, para nelayan ini akhirnya memilih menetap di sekitar danau. Mendirikan rumah permanen dan hidup secara berkelompok di Danau Mawan.
Keluarga Pak Sul juga merupakan orang pendatang. Namun, bukan dari desa-desa di sekitar Selimbau atau Danau Mawan. Ayah Pak Sul berasal dari sebuah desa di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sekitar tahun 1977, Pak Yakob, ayah dari Pak Sul, yang berprofesi sebagai seorang guru mendapatkan tugas untuk mengajar di Desa Mawan. Pengabdian sebagai seorang pengajar membawa Pak Yakob di desa ini. Beliau diberi amanah untuk mengajar murid-murid Sekolah Dasar (SD). Pak Yakob yang datang sebagai seorang Nasrani akhirnya memilih untuk jadi mualaf dan menikahi seorang perempuan dari desa ini. Pak Yakob menetap di Desa Mawan hingga akhir hayatnya.
Orang Melayu yang identik dengan kulit kuning tidak terlihat dalam diri Pak Sul. Pak Sul yang memiliki kulit lebih gelap dan badan yang besar yang menjadi ciri khas orang-orang timur. Penampilan Pak Sul merupakan turunan dari Pak Yakob yang asli orang timur, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pengiriman tenaga pengajar atau guru ke pelosok negeri ternyata sudah berlangsung lama. Pak Yakob, dkk menjadi kelompok pertama pertama yang dikirim ke daerah Selimbau dan sekitarnya. Saat itu akses jalan belum ada. Menerabas hutan dan menyusuri sungai dengan perahu menjadi pilihan utama bagi warga yang ingin berpergian.
“Sawah yang kita temui tadi, dahulunya dibuat oleh orang Jawa, Mas.” Kata Pak Sul.
Mereka didatangkan dari Jawa untuk membantu warga Desa Mawan dalam pembuatan sawah. Mulai dari tanah garapan, irigasi, hingga galangan sawah yang menjadi pembatas antar petak sawah. Sekarang sawah-sawah ini merupakan tanah milik desa dan warga diberi hak untuk mengelolanya.
Aku mulai tenggelam dalam cerita Pak Sul dan warga lainnya. Warga Desa Mawan berkomunikasi menggunakan Bahasa Melayu Hulu. Aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Namun, aku sangat menikmati pembicaraan mereka. Nada bicara yang meninggi merupakan hal yang biasa di sini. Beberapa kali Pak Sul menjelaskan tentang maksud pembicaraan mereka. Aku pun juga diajari beberapa kata bahasa mereka. Seperti kata auk yang berarti iya, nuan yang berarti kamu, dan magang yang berarti saja.
Cerita dari Kapuas.
Desa Mawan, 25 Desember 2020.