Setelah hampir satu bulan berada di Labuan Bajo, saya berencana untuk berkemas pulang besok hari. Hari-hari nan panas di sini mungkin tidak akan saya temui beberapa waktu mendatang. Saya pun berpamitan kepada Bang Ipul untuk yang kedua kalinya—setelah sebelumnya menunda kepulangan.
“Jadi, besok pagi pulangnya?” tanyanya.
“Iya, Bang. Soalnya hari ini kan jadinya jadwal kapal sore, mending besok pagi.”
Siang itu menjadi santap terakhir saya di warung Bang Ipul, sekaligus minum es kelapa jualannya. Setelah itu, saya menyempatkan diri untuk bertemu Pak Zainuddin untuk pamit pulang. Saya mendapati rumahnya sepi, hanya istrinya yang menyambut saya.
“Bapak kemana, Bu?”
“Sebentar ya, bapak tadi di samping. Lagi bikin kapal.”
Saya teringat akan omongannya beberapa waktu lalu, ia mengatakan ingin membuat sebuah kapal, entah untuk dijual atau dipakai sendiri. Tak lama, ia datang sambil berpeluh yang membasahi dahinya. Seketika saya menyalaminya dan meminta izin untuk pulang.
“Jadinya pulang besok?”
Saya menanggukan kepala dan kami terlibat pembicaraan lagi hingga waktu Asar hampir tiba. Saya sempat melihat bagaimana perahu buatannya yang masih setengah jadi terbentang di samping rumahnya. Sebulan belakangan banyak hal yang saya lalui di sini, tiba-tiba saja, saya merasa terikat secara emosional dengan tempat ini, entah karena saya sering makan pagi di warung Bang Ipul atau karena penghujung senja yang saya sering habiskan di Waterfront.
Malamnya, pertunjukan 1000 sasambo memeriahkan Waterfront yang biasanya senyap. Layar-layar perahu pinisi ikut dibentangkan. Pemain sasando, yang didatangkan dari sekolah-sekolah di Kupang memainkan sasando dengan lincah. Sayang, pertunjukan malam itu dinodai oleh panitia yang kurang persiapan. Suara sasando sama sekali tidak terdengar, malah yang paling lama justru konser musik pop.
Keesokan kala matahari sudah hampir meninggi, saya berangkat menuju Sape dengan menumpang kapal feri. Kapal sudah tertambat, penumpang mulai masuk satu per satu. Saya melamun di pinggir jendela kapal, memotret pemandangan kota dari laut. Hotel Meurorah tampak memagari pinggir kota dengan kokoh. Saya kembali berpisah dengan NTT.
Sape, sebuah kecamatan di ujung timur Pulau Sumbawa akan menyambut saya setibanya di NTB. Saya tidak asing dengan tempat ini. Beberapa waktu sebelumnya, saya juga menyempatkan diri menyinggahi Sape dari Labuan Bajo, dan berjalan kaki menuju ke Bima. Sekarang pun saya berpikir demikian, sesampainya di sana akan berjalan kaki ke arah Bima dan mencari tumpangan sekenanya.
Angin laut berdesir di telinga. Kapal feri membawa penumpang melintasi gugusan Kepulauan Komodo, menyisakan panas membara di geladak kapal. Birunya laut tidak membuat saya betah duduk manis di dalam kapal. Ada rasa gelisah, entah karena saya tidak ada teman seperjalanan atau karena jalannya kapal terlalu lambat. Saya memutuskan untuk duduk di geladak bersama orang-orang yang mungkin juga dihimpit rasa bosan.
Saya mengeluarkan kamera, memotret pulau-pulau kecil yang dilewati sepanjang perjalanan. Saya kemudian memutuskan untuk duduk di salah satu bangku untuk melihat hasil foto, tepat di depan seorang bapak yang sedang asyik dengan gawai dan rokoknya. Tepat di sebelah kanan, ada seorang bapak yang nampak sedang mengganggu beberapa anak muda yang nongkrong. Saya cuma diam dan tidak menggubris. Tak lama, kejadian tak mengenakan pun menghampiri saya.
Tiba-tiba saja punggung saya dipegang oleh si bapak yang tadi. Dia mulai memijat leher saya, dan saya menolaknya.
“Nggak pegel, Pak,” ucap saya. Dari tampilannya yang nyentrik, saya teringat pelawak Tessy.
Dan plek! Sebuah ciuman mendarat di pipi saya. Saya terkejut. Bapak yang sedari tadi merokok di depan saya juga terkejut. Bingung dan marah, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, takut membuat keributan di kapal.
“Kamu mau ke mana, Dek?”
Saya menjawab sekenanya. “Ke Jakarta.”
“Oh, saya juga mau ke Jakarta. Boleh minta nomor HP kamu? Nanti kalau di Jakarta kita ketemuan lagi.”
Ini orang sudah gila! Sudah melakukan pelecehan, dengan santainya meminta nomor HP. Baiklah, karena tidak sedang dalam mood ingin berkelahi, saya memberinya nomor yang tidak aktif lagi. Buru-buru saya turun dan masuk ke ruangan penumpang untuk ke kamar mandi, membasuh bekas ciumannya di pipi. Blah! Saya membilas muka dan membasuhnya dengan sabun. Siang itu terasa semakin panjang. Saya kemudian menghabiskan waktu menonton film bersama penumpang lainnya. Saya sempat mengobrol lagi dengan seseorang sebelum kemudian beranjak tidur.
Namanya tidur di atas gelombang, tak pernah benar-benar tidur nyenyak. Menjelang sore, kapal telah bersandar di pelabuhan. Para penumpang mulai mengambil barangnya dan mengantri untuk turun. Di antara laki-laki dan perempuan yang berjejal itu, saya kembali melihat si bapak yang tadi, menggoda tiga wanita transpuan. Saya langsung ambil ancang-ancang pergi dari kapal secepat mungkin.
Di luar pelabuhan, berbagai macam bus mini sudah menunggu penumpang yang turun dari kapal. Ada sekitar lima bus yang siap berangkat ke Bima sekarang juga.
“Bima, Bima, Bima,” seru salah satu kernet.
Saya tidak menggubris ajakan mereka. Satu-satunya jalan adalah terus berlalu tanpa menoleh. Jarak Pelabuhan Sape–Bima adalah 45 kilometer, melewati perbukitan tandus yang berkelok-kelok. Dengan memanggul tas carrier ukuran 45 liter, saya menapaki jalanan Sape yang berdebu.
Anak-anak berkejaran. Rumah-rumah panggung ala Bugis dan Bajo berjajar memagari pinggir jalan. Pemandangan bukit tandus, kambing yang makan sampah, jalan yang lengang yang mengingatkan saya tiga tahun silam kala berjalan di tempat yang sama. Tak sampai lima menit saya berjalan, Avanza silver yang datang dari arah pelabuhan menghampiri saya.
“Mau ke mana Bang?” seru seseorang dari dalam mobil.
“Mau ke Bima nih Bang,” jawab saya.
“Yaudah, bareng aja. Kita juga mau menuju Bima nih,” selorohnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.