Desa Losari di Kecamatan Grabag, Magelang, ini unik. Untuk ke sana kami harus keluar dari Magelang, melaju sebentar di Temanggung sampai ke Pasar Buah Pingit, kemudian masuk wilayah Magelang lagi. Barulah dari sana kami belok kanan, menuruti plang cottage “Mesastila Resort & Spa” yang tampak menyolok di antara rerimbunan pohon kelengkeng.

Jalan jadi makin sempit dan mengular. Di sebuah pertigaan kecil, kami kembali belok. Kali ini ke kiri. Jalan aspal penuh lubang itu berubah jadi jalan beton yang hanya cukup dilewati dua mobil. Kali ini yang jadi kanopi adalah jejeran albasia. Dari balik deretan sengon laut itu, di kedua sisi, mengintip pohon-pohon kopi. Lalu, akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah joglo.

Ngopi di i'Laras
Suasana Jawa i’Laras/Fuji Adriza

Ngopi sambil menikmati nuansa Jawa

Kalau saja tidak dipandu oleh Laras, pemilik “i’Laras Traditional Coffee,” agak mustahil bagi kami untuk menemukan tempat ini. Apalagi rumah joglo itu tampak begitu bersatu dengan alam—dan sebagian tersembunyi di balik pagar dan pos ronda.

Rumah joglo ini dibangun tahun 2013, setahun setelah Iwan dan Laras, duo pasutri pendiri i’Laras, memutuskan terjun ke dunia kopi. Tak main-main, rumah jogjo ini dibeli utuh di Jepara, kemudian dibongkar lalu dibawa ke Desa Losari untuk dibangun kembali.

i'Laras
Seperti bertamu ke rumah kerabat/Fuji Adriza

Semula banyak yang memandang sebelah mata keputusan Iwan untuk punya rumah joglo, termasuk sang mertua. Tapi lama-kelamaan, teman-teman dan pelanggan mulai ramai berdatangan. Orang-orang pun kemudian paham alasan dua sejoli itu untuk membangun rumah bergaya tradisional Jawa.

Maka, berkunjung ke workshop i’Laras yang kental nuansa Jawanya itu terasa seperti menyambangi rumah kerabat. Kami disambut dengan hangat di kursi tamu antik. Sambil menunggu satu sloki espresso, ditemani oleh telo goreng yang dicocol dengan sambal, kami diajak bercerita banyak hal tentang kopi.

i'Laras
Meja kopi unik dari kayu trembesi/Fuji Adriza
i'Laras
Laras sedang mempersiapkan espresso/Fuji Adriza

Cuma mengambil biji kopi petik merah

Suntikan kafein dari espresso itu membuat obrolan makin seru. Duo pengusaha kopi ini berkeluh kesah betapa masih kurangnya edukasi mengenai kopi yang diberikan pada petani. Masih banyak yang masih cuek memetik biji hijau hanya karena ingin cepat dapat uang. Padahal kopi petik merah lebih tinggi kualitasnya sehingga dihargai lebih mahal. “Yang hijau itu 1 kilogram bisa sampai 1000 biji. Padahal kalau petik merah 1 kilogram 700 biji,” ujar Laras sambil tersenyum getir.

Mengubah pola pikir memang perlu waktu. Tapi i’Laras tak menyerah. Setidaknya, sekarang i’Laras sudah bekerja sama dengan tiga petani kopi yang komit untuk menyuplai kopi petik merah. Dari merekalah tiga jenis kopi unggulan i’Laras berasal, yakni kopi robusta, arabika, dan excelsa. Selain tiga varian dasar itu, rumah kopi ini juga menawarkan kopi lain, seperti kopi luwak dan kopi lanang (peaberry). Kopi-kopi yang telah terbungkus rapi itu terpajang dengan menarik di beberapa rak dan meja.

i'Laras
Segelas espresso/Fuji Adriza

“Masing-masing jenis kopi punya peminatnya,” ungkap Iwan. “Pelanggan dari Amerika biasanya suka yang excelsa.” Tapi meskipun begitu, Iwan sadar betul bahwa sebenarnya yang paling esensial dari “ngopi” adalah obrolannya. Karena itu tak ada alasan untuk minder buat minum kopi tubruk yang sekarang semakin terpinggirkan oleh cara-cara penyeduhan impor dari negara-negara yang bahkan tak punya peran yang signifikan dalam sejarah kopi.

Suasana tenang rumah joglo itu membuat kami tak sadar sudah berada di sana selama beberapa jam. Saya sendiri merasa terhipnotis oleh aroma kopi yang menguar, yang berkelindan dengan bau nostalgia yang keluar dari mebel-mebel tua yang terbuat dari kayu trembesi. Tapi karena sudah malam, kami mesti pulang.

Tinggalkan Komentar