Travelog

Buang Jong, Ritual Suku Sawang saat Angin Musim Barat Mulai Menerjang

Ketika sedang melahap pisang goreng di sebuah warung di pojok Tanjung Kelayang, Belitung, tiba-tiba mata saya tertumbuk pada keramaian di kejauhan. “Mungkin acara Buang Jong-nya sudah mulai, boi,” ujar Bang Ardi yang telah berbaik hati menampung saya bermalam di bawah meja warungnya—tak lupa pula ia meminjamkan sprei, selimut bekas karung segitiga biru, dan bantal. Kemarin sore seingat saya ia memang menyinggung-nyinggung soal Buang Jong, ritual yang dilakukan suku Sawang menjelang angin musim barat bertiup. Kata Bang Ardi, puncak ritual Buang Jong adalah melarung replika kapal (jong) ke laut sebagai persembahan. Penasaran, saya langsung mengambil kamera dan berjalan nyeker ke arah keramaian.

Seorang tetua suku Sawang dalam keadaan trans

Seorang tetua suku Sawang dalam keadaan trans/Fuji Adriza

“Numbak” duyung/Fuji Adriza

Ritual berasik baru saja dimulai ketika saya tiba. Seorang pemuka adat suku Sawang seperti berada dalam keadaan trans, terasuki oleh makhluk halus yang memang sengaja dipanggil. Sang pemuka adat yang telah dirasuki makhluk gaib tersebut bertingkah aneh, ekspresinya janggal, dan seperti mendapat kekuatan dari langit, tetua berusia lanjut itu menjadi begitu lincah sampai-sampai mampu memanjat palang kayu segitiga yang tertancap di pasir. Konon, zaman dahulu ketika melakukan ritual ini, angin akan bertiup kencang dan ombak akan menjadi tinggi. Namun pagi itu biasa saja, angin sepoi-sepoi dan laut datar-datar saja.

Para perempuan mengelilingi “jong” yang akan dibuang/Fuji Adriza

Replika kapal atau “jong” yang akan dilarung/Fuji Adriza

Sesudahnya dipentaskan sebuah hikayat tentang pertarungan suku Sawang dan Lanun. Suku Sawang dipimpin oleh seorang lelaki, lain dengan kaum Lanun yang ternyata dipimpin oleh seorang perempuan—kamu tentu masih ingat sepenggal cerita di novel Maryamah Karpov? Dalam akhir kisah, suku Sawang yang ternyata nenek moyangnya berasal dari Sulu, Filipina, berhasil mengalahkan kaum Lanun.

Kapal-kapal melaut untuk membuang “jong”/Fuji Adriza

Doa-doa didaraskan sebelum “jong” dibuang/Fuji Adriza

Melarung “jong” ke laut

Sebelum jong dibuang, dilakukan prosesi numbak duyung. Pada prosesi ini seorang anggota suku Sawang berkali-kali menombak replika ikan duyung dari gabus, sampai kena. Duyung adalah perlambang keberuntungan. Pada upacara di zaman dahulu, tombak yang digunakan untuk numbak duyung sudah dimantrai sehingga menjadi sangat tajam sampai-sampai bisa membunuh ikan duyung, dan numbak duyung juga diikuti dengan bersama-sama mencari ikan di laut.

Beberapa orang turun ke laut untuk melepas replika kapal/Fuji Adriza

“Jong” yang semakin menjauh/Fuji Adriza

Setelah prosesi-prosesi awal selesai, ramai-ramai orang membuang jong ke tengah laut. Jong yang juga diisi dengan sesajen dan ancak (replika rumah) diangkat dan diarak ke perahu, dibawa ke tengah sampai ke dekat Pulau Penyu, kemudian dilarung. Melalui persembahan ini, masyarakat suku Sawang berharap diberi perlindungan dan keselamatan oleh penguasa laut agar terhindar dari bencana.


Sebelumnya dimuat di travellerkaskus.com.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *