Events

Ngayogjazz 2017, Nge-jazz tanpa Melupakan Sejarah

Dugaan saya benar. Begitu motor selesai diparkir di lapangan dekat panggung utama Ngayogjazz 2017, rinai berubah jadi hujan. Mantel yang sengaja dibawa dari rumah langsung terasa manfaatnya.

Dilaksanakan setiap akhir tahun, Ngayogjazz selalu diguyur hujan. Mereka yang sudah beberapa kali ke Ngayogjazz pasti paham.

Kami berdua berjalan ke arah panggung utama. EveryDay sedang asyik berinteraksi dengan penonton di Panggung Merdeka. Karena hujan, hanya sedikit penonton yang berkumpul di depan panggung. Selebihnya mencari suaka di bawah atap pondok-pondok Pasar Jazz yang mengelilingi venue utama.

ngayogjazz 2017

“Bukak sithik jazz”/Fuji Adriza

Agar navigasi selama Ngayogjazz lancar, kami mesti mencari buku acara. Di lorong desa yang jadi jalan penghubung antar-venue, kami menemukan media center. Datang sesore ini, beruntung sekali buku acara masih tersisa.

Ngayogjazz 2017 diramaikan banyak komunitas jazz

Tidak seperti gelaran tahun-tahun sebelumnya, hanya ada beberapa nama tenar dalam line-up artis Ngayogjazz 2017: Endah N Rhesa, Gugun Blues Shelter, Dira Sugandi, dan Jeffrey Tahalele & Friends. Sebaliknya, jumlah komunitas jazz yang berpartisipasi semakin banyak.

Hampir semua komunitas berasal dari kota-kota di Jawa: Pekalongan Jazz Society, Jes Udu Purwokerto, Jazz Ngisor Ringin Semarang (DDKidz dan F.R.I.O), Jazztilan Ponorogo, Komunitas Jazz Trenggalek (Passion dan Magnifico), Fusion Jazz Community Surabaya, Komunitas Jazz Magelang (Sinergi), Solo Jazz Society (JJ and Friends), dan tentu saja Komunitas Jazz Jogja yang mengirimkan lima proyek: GDS, HiHi Project, Soda Lounge, JAP, dan S’wonderland.

ngayogjazz 2017

Riri EveryDay/Fuji Adriza

Dari media center kami kembali ke Panggung Merdeka untuk menantikan Endah N Rhesa. EveryDay masih manggung. Hujan yang sekarang hanya tinggal rintik-rintik bikin suasana makin asyik. Riri, vokalis EveryDay yang karismatik, mengajak penonton untuk bersenandung bersama.

Personel EveryDay adalah pentolan-pentolan Komunitas Jazz Jogja yang tiap Senin malam ngejam di Jazz Mben Senen, Bentara Budaya Yogyakarta. Meskipun baru mengeluarkan satu album, EveryDay sudah punya basis penggemar yang lumayan luas. Salah satu lagunya yakni “Kapan ke Jogja Lagi?” pernah ngehits di chart lagu radio lokal dan sampai sekarang masih terus diputar di Unit Gawat Dagadu.

Melihat interaksi EveryDay dengan penontonnya, saya jadi memaklumi alasan di balik minimnya artis ternama dalam daftar pengisi acara Ngayogjazz 2017. Bukan karena panitia tidak mampu mengundang, tapi karena, untuk unjuk karya, komunitas-komunitas dan para musisi jazz lokal perlu diberi lebih banyak ruang.

Jazzmerah, nge-jazz tanpa meninggalkan sejarah

Memasyarakatkan jazz dan men-jazz-kan masyarakat adalah sebuah perjalanan panjang. Tahun ini misi Ngayogjazz dilakukan di Dusun Kledokan, Desa Selomartani, Kalasan.

Tempatnya lumayan terpencil, beberapa kilometer dari Jalan Solo dekat Prambanan. Meskipun terpencil, di masa lalu peristiwa besar pernah terjadi di sekitar dusun ini, yakni pertempuran heroik untuk mempertahankan Republik dari Agresi Militer Belanda ke-2. Sebuah tugu dibangun untuk mengenang pertempuran itu, yakni Monumen Perjuangan Taruna Plataran.

ngayogjazz 2017

Pembukaan Ngayogjazz 2017

Selepas EveryDay, para pembawa acara yang heboh dan “srimulat” berhamburan ke atas panggung. Mereka semua berpakaian ala pahlawan. Ada yang memakai parka ala Jenderal Sudirman, ada juga yang menenteng pistol-pistolan, ada pula yang jadi Tugu Pal Putih! Gojeg-gojeg kere yang mereka keluarkan—seperti biasa—berhasil mengocok perut penonton.

Kemudian, Ngayogjazz 2017 dibuka secara resmi dengan penuh suka cita oleh tiga pelawak yang menyaru menjadi tiga tokoh sejarah: Pangeran Mangkubumi, Pangeran Diponegoro, dan Jenderal Sudirman.

“Liburan indie” bersama Endah N Rhesa

Setelah pembukaan, Endah N Rhesa naik panggung. Tanpa banyak basa-basi, mereka membuka sesi dengan “Living with Pirates.” Nuansa musik Endah N Rhesa unik. Lagu-lagunya santai sekaligus berat, nge-pop sekaligus nge-blues.

Lagu kedua, “Thousand Candles Lighted,” mereka dedikasikan untuk Alm. Munir yang sampai sekarang penyebab kematiannya masih simpang siur. Sayang sekali saya tidak bawa korek. Kalau tidak pasti mancis sudah saya nyalakan dan saya angkat tinggi-tinggi. Tapi, sebenarnya tanpa dibantu korek pun suasana sudah terlanjur syahdu.

ngayogjazz 2017

Duo Endah N Rhesa/Fuji Adriza

Mereka cuma berdua tapi panggung yang besar itu bisa mereka kendalikan sepenuhnya. Aksi mereka di panggung begitu atraktif. Meskipun sebelumnya saya sudah pernah melihat mereka berdua duet memainkan satu gitar (seperti Walk off the Earth memainkan cover “Somebody that I Used to Know”), saya masih geleng-geleng kepala melihat penampilan mereka.

Setelah “Thousand Candles Lighted,” berturut-turut Endah N Rhesa mendendangkan “Ruang Bahagia,” “Baby It’s You,” “When You Love Someone,” dan diakhiri dengan hits “Liburan Indie.”

Tidak ada encore. Selepas Endah N Rhesa, Ngayogjazz dihentikan sementara karena magrib sudah tiba. Kami mencari tempat duduk di areal Pasar Jazz sambil menyeruput es kelapa muda berpemanis gula jawa.

Begawan-begawan jazz Indonesia

Setelah es kelapa muda tandas, kami berjalan menelusuri Pasar Jazz. Di ujung sana adalah Panggung Serbu. Menurut buku acara, Oele Pattiselanno akan tampil bersama Jeffery Tahalele & Friends di sana.

Panggung Serbu yang terletak di samping sebuah pohon sukun belum terlalu ramai. Masih sedikit orang yang berkumpul di sana. Simbah dan Hendro Pleret sedang ece-ecenan di depan panggung. Sebentar kemudian, serombongan orang menaiki panggung: grup akapela Bianglala Voice. Personelnya sudah tua-tua tapi suara mereka luar biasa. Mereka menyanyikan beberapa lagu, seperti “When I Fall in Love” dan “Kampuang Nan Jauah di Mato.”

ngayogjazz 2017

Jeffrey Tahalele dan Oele Pattiselanno/Fuji Adriza

Posisi mereka di panggung kemudian digantikan oleh Rubah di Selatan yang membawa bermacam-macam alat musik etnik, seperti kendi dan didgeridoo. Nuansa fusion yang mereka bawa makin kental dengan dandanan mereka yang berjubah ala “Ethnic Runaway.” Intronya panjang-panjang dan liriknya sebagian besar bahasa Inggris. Sayang sekali saya sama sekali tak mengikuti band ini.

Setelah Rubah di Selatan turun panggung, Jeffrey Tahalele & Friends, kuartet yang terdiri dari musisi-musisi jazz kawakan yakni Jeffrey Tahalele (bass), Arief Setiadi (sax), Oele Pattiselanno (gitar), dan Deska Anugerah Samudra (Drum), langsung naik ke Panggung Serbu. Jam terbang yang tinggi membuat mereka cuma perlu waktu sebentar untuk siap-siap. Sebentar kemudian musik swing langsung mengalun dari panggung.

Sayang sekali kami cuma bisa menikmati satu lagu dari Jeffrey Tahalele & Friends. Karena sudah beraktivitas dari pagi—dan malam sebelumnya saya begadang—kami sudah tak kuat lagi berkeliaran lama-lama di Ngayogjazz. Waktunya pulang.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *