Tepat saat aku menengok ke arah luar jendela, dari atas pesawat terlihat awan berkerumun menyembunyikan Pulau Yamdena. Tak lama pesawat jenis ATR 72-600 dengan rute penerbangan Ambon–Saumlaki turun perlahan mengurangi ketinggiannya. Samar-samar, landasan pacu Bandara Mathilda Batlayeri mulai tampak. Tak jauh dari sana aku pun melihat sebuah patung menjulang tinggi. Rasa penasaranku dengan sosok patung tersebut pun muncul.
Ternyata pagi ini Saumlaki belum juga diguyur hujan seperti halnya Ambon. Tanahnya masih kering dengan debu yang tersibak ke sana kemari ketika angin berhembus kencang. Tentu saja debu yang beterbangan membuat mata siapapun kelilipan apabila tak sigap menutup kelopak. Namun hal itu tidak menyurutkan niatku untuk mengetahui lebih jauh pulau ini. Aku pikir: debu yang liar dan berserak terkena angin itu adalah cara hangat pulau pesisir ini menyambutku.
Saat pesawat sudah benar-benar mendarat, aku tak perlu mengantre lama untuk keluar dari kabin pesawat. Hal ini terjadi karena jumlah penumpang pesawat hari ini dapat dihitung dengan jari. Begitulah. Penerbangan menuju Saumlaki hanya ada satu kali dalam sehari.
Ketika menuruni tangga pesawat terlihat sosok pria bertopi hitam berseragam rapi melambaikan tangannya ke arahku dan beberapa teman perjalananku. Kami pun datang menghampirinya, masing-masing dari kami saling mengenalkan diri. Bapak Heri Lerebulan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Saumlaki, menyambut kami dengan senyum mengembang. Sambil mengenalkan kami tentang sejarah awal mula Saumlaki, ia pun mengajak kami untuk berkeliling areal bandara yang saat ini menjadi ikon Kota Saumlaki. Bapak Heri tak lupa mengajari kami bahasa sapaan masyarakat Tanimbar.
“Jika ada yang menyapa kepada kalian dengan kata kidabela, jawablah dengan keselibur. Nah, ungkapan tersebut memiliki makna bahwa: kita semua bersaudara dari ujung barat hingga ujung timur,” tegasnya dengan logat khas.
Hanya beberapa ratus meter dari pintu bandara, Monumen Bhayangkari menjulang tinggi. Aku mendekati patung yang membuatku penasaran tadi.
Mathilda Batlayeri, perempuan pejuang dari Saumlaki
Sosok pejuang wanita Mathilda Batlayeri terlihat menggendong anaknya sambil mengacungkan senjata di tangan kanannya. Raut wajahnya menyiratkan keberanian. Sejenak aku tertegun pada wujud heroik yang belum pernah aku dengar dan ketahui ini; sangat jarang pula nama pejuang wanita disematkan pada sebuah bandara. Tentu ia bukanlah sosok wanita yang biasa-biasa saja.
Bapak Heri dengan semangat mengenalkan kami pada sosok pejuang wanita yang berasal dari Tanimbar ini. Beliau menceritakan kalau Mathilda Batlayeri, yang nama kecilnya Mathilda Lamere, merupakan istri dari seorang anggota polisi bernama Adrianus Batlayeri.
Mathilda berasal dari desa kecil Cinfana Omele, Kepulauan Tanimbar. Suatu pagi di tanggal 28 September 1953, markas polisi yang terletak di Kalimantan Selatan tempat Mathilda dan suaminya tinggal diserbu oleh kawanan pemberontak Gerakan Pengacau Keamanan Kesatuan Rakyat jang Tertindas (GPK KRjT), yang berjumlah 50 orang di bawah komando Suwardi.
Kebetulan saat itu suami Mathilda sedang tidak berada di markas. Adrianus sedang pergi untuk mengambil air di sumur yang letaknya lumayan jauh. Terdengar derap kaki dan suara gaduh pemberontak. Mereka dengan beringas masuk dan memorak-porandakan asrama polisi. Pemberontak yang dibekali dengan bedil memberondong peluru ke berbagai penjuru asrama. Butir peluru menghunjam apapun yang menghadang.
Melihat kejadian itu Mathilda tidak tinggal diam. Dengan gagah berani ia keluar melawan pemberontakan GPK KRjT. Menggunakan senjata mauser milik suaminya, ia mampu melumpuhkan pimpinan penyerangan—Suwardi—yang konon kebal oleh hantaman timah panas. Ternyata mitos kekuatan Suwardi mampu dilumpuhkan oleh Mathilda yang notabene seorang wanita.
Namun nahas, selang sebentar Mathilda Batlayeri pun gugur bersama kedua anak dan janin yang masih berada di dalam kandungan. Mereka tertembak oleh salah seorang anggota pemberontak. Jenazah Mathilda beserta semua anak dan keempat teman lainnya ikut hangus dalam kobaran api yang melahap habis asrama polisi.
Sedang diusulkan menjadi pahlawan nasional
Bapak Heri pun mengakhiri penjelasannya mengenai kisah pejuang wanita Tanimbar itu, sambil menambahkan keterangan bahwa sosok Mathilda sedang diusulkan untuk menjadi Pahlawan Nasional Wanita dari Maluku Tenggara Barat.
“Kini Mathilda Batlayeri menjadi ikon dan nama bandara di Saumlaki. Patungnya tampak berdiri kokoh di depan pintu masuk bandara. Ikon tersebut adalah simbol keberanian dan perjuangan dari pulau ini,” tambah Bapak Heri lagi.
Tak hanya menjadi sebuah monumen, kisah kegigihannya dapat dijadikan contoh bagi wanita masa kini dalam berjuang melawan segala bentuk penindasan di era modern. Kisah pejuang wanita yang berasal dari Tanimbar pun mengawali perjalananku menyelami urat nadi kehidupan Kota Saumlaki lebih dalam.
Tinggal di Yogyakarta. Di sela kesibukan menyelesaikan studi, ia menekuni hobi traveling dan aktivitas alam-bebas lainnya.
1 Comment