Cerita soal masa kecil dan muda John Muir, naturalis Amerika Serikat yang namanya diabadikan sebagai gunung dan jalur lintas alam, ia bagikan lewat My Boyhood and Youth. Ia lahir tahun 1838 di Dunbar, Skotlandia, sebagai anak ketiga dari Daniel Muir dan Anne Gilrye. Pasangan itu punya delapan anak dan John Muir adalah anak laki-laki tertua.
Masa kecil Muir berwarna. Ia sering diajak kakeknya bertualang kecil-kecilan ke pinggir hutan atau reruntuhan istana peninggalan zaman baheula. Salah satu dari potongan-potongan kenangan yang ia ingat adalah ketika suatu hari di balik jerami ia melihat seekor tikus hutan sedang menyusui bayi-bayinya. Imajinasi liar khas masa kecil membuat induk tikus itu di mata John Muir tampak seperti mama beruang yang sedang menyusui bayi-bayinya.
Selain sang kakek, David, adik laki-laki John Muir, juga punya peran tak kalah signifikan dalam membuat masa kecil sang naturalis jadi makin berkesan. Di malam hari sebelum tidur mereka biasa berlomba-lomba memanjat apa yang bisa dipanjat di kamar, dari mulai dinding—dengan batu-batu menonjol yang bisa dijadikan poin—sampai kusen jendela.
Menginjak masa sekolah, Muir berkelahi, bermain air di pantai dingin di Dunbar, memelihara burung yang ditangkap di hutan, dan berkompetisi dengan teman-temannya. “Di musim dingin, ketika tak banyak yang harus dikerjakan di ladang, kami mengadakan lomba lari,” kenangnya. Muir kecil dan teman-temannya pacu lari sepanjang jalan raya, melintasi bukit-bukit kecil, tanpa alasan khusus kecuali untuk membuktikan siapa yang paling kuat di antara mereka.
Masa-masa di Skotlandia menjadi fondasi bagi kiprahnya di masa depan. “Alam-bebas selalu ada dalam benak kami, dan Alam memastikan agar di samping pelajaran sekolah dan gereja kami juga menerima sebagian pelajaran darinya,” tulis Muir. Segala yang dialaminya semasa kecil adalah “permulaan dari pengembaraan-pengembaraan (yang kemudian akan ia lakukan) sepanjang hidup.”
Diboyong ke Dunia Baru
Suatu malam, saat John Muir (sekarang 11 tahun) dan David (9 tahun) sedang asyik membaca, ayahnya mengumumkan bahwa esok pagi mereka akan berangkat ke Amerika. Sang ayah ingin mencoba peruntungan di Dunia Baru.
Ia memboyong keluarganya dalam dua gelombang emigrasi. Pertama ia akan membawa tiga orang anaknya, yakni Sarah (13 tahun), John, dan David. Kemudian, setelah lahan yang cocok ditemukan dan rumah sudah dibangun, istri dan anak-anaknya yang lain akan menyusul.
Mereka menumpang kereta ke Glasgow, lalu meneruskan perjalanan menyeberangi Samudra Atlantik menuju Amerika. Kala itu belum ada kapal uap. Mereka harus menumpang kapal layar selama enam minggu tiga hari! Namun perjalanan panjang itu sama sekali tidak menjemukan bagi John dan David. Mereka melewatkan hari-hari dengan riang gembira; menjelajahi kapal, melihat awak kapal mengurus tali-temali dan memanjat di tiang-tiang kapal, atau main ke ruang kemudi kapal. Mereka “dengan takjub menyaksikan hiu dan lumba-lumba dan pesut dan burung-burung laut.”
Semula Daniel Muir berencana memulai hidup baru di Kanada. Namun, menjelang akhir pelayaran, seseorang menyarankan agar ia ke Amerika Serikat saja ketimbang Kanada. Selain lebih menguntungkan, Amerika Serikat adalah pilihan yang lebih bijaksana sebab “di Kanada hutannya sangat rapat dan lebat sampai-sampai hidup seseorang akan habis hanya untuk membersihkan beberapa ekar lahan dari pohon dan tunggul.”
Jadilah mereka ke Wisconsin. “Saat kami pergi ke belantara Wisconsin tidak ada satu pun jejak roda atau gerobak,” tulis John Muir. Dekat Portage, Daniel Muir membeli tanah menghadap danau. Danau itu kemudian diberi nama Fountain Lake oleh Daniel Muir, meskipun para tetangga lebih suka menyebutnya Muir’s Lake.
John dan David ikut membuka lahan. Tugas pertama John adalah membakar semak belukar yang akan dijadikan lahan untuk bercocok tanam. Menurutnya, itulah “perapian besar di alam-bebas yang pertama kali kulihat, pemandangan menakjubkan bagi seorang bocah.”
Hari-hari di Wisconsin
Sebagaimana halnya para pelopor lain yang mengadu nasib di Dunia Baru, setiap hari bagi John Muir adalah kerja keras. Muir bercerita bahwa hanya dua hari dalam setahun mereka benar-benar bebas dari tugas, yakni pada Hari Kemerdekaan 4 Juli dan Tahun Baru 1 Januari.
Fountain Lake kemudian menjadi semacam sekolah alam bagi John Muir. Di sela-sela tugas padat yang menuntutnya mengeluarkan keringat sampai belasan jam dalam sehari, Muir menemukan banyak kesenangan di sekitar danau yang tepiannya dihiasi oleh bunga lili putih dan oranye itu. Selain belajar hal-hal baru seperti berkuda, berburu, dan berenang, ia juga dengan antusias mengamati karakter dan tabiat binatang-binatang liar yang tinggal atau melintas di danau itu, dari mulai tikus hutan, tupai, berang-berang, sampai beraneka jenis burung warna-warni.
Saat menginjak usia lima belas atau enam belas tahun, John Muir mulai menemukan kesenangan pada ilmu pengetahuan. “Aku senang membaca, namun ayah hanya membawa beberapa buku agama dari Skotlandia,” tulisnya. Sejak itu segala usaha ia lakukan untuk membujuk ayahnya membelikan buku-buku menarik untuk dibaca.
Tangan Muir juga mulai gatal untuk membuat sesuatu. Secara sembunyi-sembunyi, ia mulai membuat berbagai macam mesin, dari mulai pemotong kayu otomatis, termometer, sampai jam weker—karya-karya yang saat itu begitu orisinil. Lama-lama, bakatnya ini tercium juga. Para tetangga menganggapnya jenius. Suatu hari seorang tetangga memberi saran agar ia membawa karya-karyanya ke State Fair di Madison.
Akhirnya, dengan bekal sekitar lima belas dolar dalam saku, John Muir meninggalkan rumahnya di Fountain Lake dan pergi ke Madison. Dan benar bahwa mesin-mesinnya menarik perhatian banyak orang. Pameran di Madison itu membuka banyak kesempatan untuknya. Sempat bekerja di beberapa tempat, ia pun akhirnya menyadari bahwa ia “sangat lapar dan haus akan ilmu dan bersedia menghadapi apa pun untuk mendapatkannya.”
Setelah menghadap Professor Stirling, dekan dan penjabat rektor di Universitas Wisconsin kala itu, John Muir diizinkan untuk belajar di kampus itu. (Sejak meninggalkan Skotlandia usia sebelas tahun, John Muir tidak lagi sekolah.) Namun, ia tak mengambil peminatan tertentu selama di universitas. Ia belajar ilmu-ilmu yang menurutnya akan sangat bermanfaat bagi kehidupannya, misalnya kimia, matematika, fisika, bahasa Yunani dan Latin, botani, dan geologi.
Setelah empat tahun menuntut ilmu di Universitas Wisconsin, dengan mata berembun John Muir mengucapkan selama tinggal pada almamaternya. Dari Universitas Wisconsin, Muir melanjutkan studinya ke “Universitas Alam Bebas.”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.