Tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh saya bahwa sebuah perjalanan akhir minggu akan berujung pada perenungan tentang kehidupan manusia dan naluri mereka terhadap bumi. Juga, ini sebentuk teguran halus pada nurani saya, bahwa sudah saatnya kita bukan saja bicara tentang hidup yang berperikemanusiaan, tetapi juga berperikebumian.

Pada suatu malam, kolega saya mengajak bergabung dalam kegiatan semi-berkemah dengan beberapa rekan lain di daerah Kintamani. Jujur saja, saya bukan pendaki seperti beberapa teman saya itu. Walau terbilang muda, saya juga bukan orang yang suka bertualang seperti para aktor dalam iklan-iklan rokok di televisi. Namun, saat itu—ketika saya sudah cukup lama berkutat dengan laptop di kamar—entah kenapa saya mengiyakan saja ajakan tersebut.

Maka, pagi itu kami pergi ke Kintamani dengan kendaraan roda dua selazimnya masyarakat Bali dan para pelancong irit.

vespa kintamani
Motor pinjaman yang kami gunakan dalam perjalanan ke Kintamani/Fitra H. Nisa

Sewaktu kanak-kanak dahulu, saya selalu mengasosiasikan Kintamani dengan anjing Kintamani, salah satu jenis anjing khas Indonesia. Imaji itu makin tegas ketika lagu “Anjing Kintamani” yang dinyanyikan Shaggydog meramaikan belantika musik Indonesia. Namun, kali ini saya tidak akan bicara tentang hal-hal populer seperti itu. Sebaliknya, saya akan bercerita tentang hal-hal lain yang tidak setenar anjing Kintamani.

Tentang bumi

Memasuki daerah Kintamani, saya melihat petani jeruk yang sedang panen raya, truk-truk pengangkut jeruk yang lalu-lalang, juga buah-buah jeruk yang masih menggantung di pohon. Di Bali, jeruk Kintamani yang namanya sudah terkenal sampai ke mana-mana ini lebih dari sekadar komoditas. Buah ini tak bisa dilepaskan dari kegiatan religius masyarakat Hindu Dharma. Saat hari raya seperti Galungan dan Kuningan, serta hari-hari khusus lainnya, jeruk jadi bagian dalam sesajen.

jeruk kintamani
Jeruk Kintamani yang menggantung menanti dipetik/Fitra H. Nisa

Simbolisme jeruk di sini membuat saya bersyukur bahwa bumi masih subur sehingga mampu memenuhi kebutuhan manusia, bukan hanya kebutuhan ekonomi melainkan keperluan terkait relasi dengan Sang Pencipta. Maka, sudah sepatutnya kita menjaga kesuburan bumi ini agar tetap dapat menghasilkan dan kelak bisa diwariskan pada generasi selanjutnya.

Selepas ladang jeruk, kami mulai memasuki turunan tajam yang mengarah ke Geopark Batur. Terlihat pula oleh saya tanda seru yang menyatakan bahwa kawasan tersebut rawan kecelakaan dan rawan longsor. Saya sempat ragu. Bagaimana kalau nanti kami berpapasan dengan truk? Namun, sebuah spanduk yang memberitahu bahwa areal itu bebas truk mendorong saya untuk tetap melewati jalan itu. Tapi, kenyataan yang saya temui kemudian bertolak belakang dari perkiraan. Jalanan menurun tajam yang semestinya bebas truk itu malah penuh oleh truk pasir yang lalu-lalang.

truk pasir
Truk pasir yang lalu-lalang di kawasan “geopark”/Fitra H. Nisa

Sepanjang turunan berkelok tajam itu saya melihat titik-titik bekas perhentian truk. Namun, saya belum belum menemukan tempat dari mana pasir itu berasal.

Akhirnya kami tiba di bawah. Saya memandang takjub pada areal yang ditetapkan UNESCO sebagai Global Geoparks Network (GGN) itu. Dengan dua kaldera yang terbentuk dari dua kali letusan, tempat ini memang unik.

Lebih dalam menelusuri areal itu, sampailah kami pada sebuah lokasi penambangan yang lumayan luas. Barangkali inilah sumber dari pasir yang diangkut truk-truk itu. Saya takjub mendapati betapa eksploitatifnya manusia terhadap bumi. Cekungan-cekungan itu barangkali lebih dari belasan meter dalamnya. Saya jadi teringat kembali pada spanduk yang kami lihat sebelum turunan tajam berliku tadi; spanduk yang jelas-jelas tidak digubris.

pasir kintamani
Lahan penambangan pasir di Kintamani/Fitra H. Nisa

Saya terdiam sejenak sambil memandangi truk-truk yang lalu-lalang dan para pekerja tambang pasir yang sedang hilir mudik atau beristirahat dengan sebatang rokok di mulut. Seketika saya merasa takut; takut akan apa yang akan terjadi setelah ini. Ketika hujan tiba dan pasir-pasir ini tidak ada, bukan tak mungkin air bah akan menggenangi desa sekitar. Air tergenang di lubang tersebut bisa pula menyantap siapa saja yang terperosok. “Bisa jadi-bisa jadi” lain terus bermunculan dalam pikiran saya.

Kerusakan ini tentu tak luput dari perhatian. Tahun 2015 UNESCO bahkan melakukan reassessment status keanggotaan Batur dalam GGN karena masifnya kerusakan akibat penambangan. Namun, upaya itu ternyata masih belum cukup untuk menghentikan atau mengurangi aktivitas mengkhawatirkan ini. Susah memang kalau semuanya hanya memikirkan perut sendiri.

Tentang matahari

Melewati wilayah situs geologi itu, jalan mulai menanjak. Ini pertanda bahwa kami sudah dekat areal perkemahan yang kami tuju. Karena tanjakan cukup tajam, dengan ikhlas saya turun dari motor dan berjalan kaki. Cukup jauh saya mendaki jalan beraspal yang panas itu. Sekitar dua kilometer mungkin. Tapi tidak apa-apa, ini demi keselamatan saya juga.

Akhirnya, beberapa jam sebelum matahari terbenam, kami tiba di lokasi berkemah. Pemandangan dari sana sangat indah. Areal tempat tenda kami berdiri berada pada posisi strategis. Laut Bali terlihat di utara kami, Danau Batur di selatan, jejeran pegunungan di barat daya. Tempat ini juga cocok sekali untuk mengamati gerak sang pembawa harapan: matahari.

gunung agung
Matahari terbenam dilihat dari lokasi perkemahan kami/Fitra H. Nisa

Dua momen yang menandai pergantian waktu dan transisi kehidupan manusia di bumi—matahari terbit dan matahari tenggelam—berhasil saya abadikan dengan kamera. Lewat matahari, saya merenungi waktu dan hari-hari saya sebagai manusia di bumi ini. Menjadi manusia macam apa gerangan saya ini? Apakah saya manusia eksploitatif dan merusak, atau manusia yang berusaha menjaga dan mengonservasi? Atau seseorang yang kedua-duanya?

sunrise kintamani
Momen matahari terbit pukul 6 pagi/Fitra H. Nisa

Perjalanan ini bukan perjalanan biasa bagi saya, sebab saya merasakan dua hal yang kontradiktif, yakni rasa syukur dan rasa tidak-tahu-terima-kasih pada bumi. Bumi memelihara kita; kita merusak bumi.

Memang sudah banyak tulisan dan gerakan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Tidak sedikit pula penelitian dan aktivitas pemulihan yang coba dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat yang, saya yakin, punya kekhawatiran mirip dengan yang saya rasakan saat ini. Namun demikian, terkadang saya merasa pesimis, skeptis.

Hasil riset Global Footprint Network pada 29 Juli 2019 lalu tentang Earth Overshoot Day menyatakan bahwa pada hari ke-209 kita sudah mempergunakan lebih dari apa yang dapat bumi hasilkan selama 360 hari. Lalu, seperti apa seharusnya sebuah keadaan yang ideal—atau setidaknya mendekati ideal—di mana kita bisa memanfaatkan alam tanpa harus secara masif merusak sistemnya? Atau memang barangkali tidak ada lagi yang bisa dilakukan, sebab sudah menjadi naluri manusia untuk tidak merasa puas dan terus-menerus melakukan “pemanfaatan” yang eksploitatif? Entahlah.

Akhirnya

Ah, sudahlah. Setidaknya masih ada hari esok, entah sampai kapan. Tetapi selama kita masih diberikan kesempatan untuk memandang matahari di pagi hari, selalu ada kesempatan, selalu ada pilihan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar