Akhir tahun kemarin nasib membawa saya ke sebuah kota kecil di bagian utara Vietnam yang namanya baru saya dengar waktu beli tiket bis: Diên Biên Phu.
Dari Luang Prabang, Laos, ke sana, saya mesti naik bis seukuran Kopata selama hampir 12 jam. Berangkat pukul 6 pagi, saya tiba menjelang jam 6 sore di terminal Diên Biên Phu.
Bersyukur sekali rasanya bisa sampai di Diên Biên Phu dengan selamat. Perjalanan itu lumayan mendebarkan. Pasalnya, bis itu di sebagian besar waktu meluncur di pegunungan. Terkadang ia mesti melewati ruas-ruas jalan sempit tak beraspal di pinggir jurang. Ditambah lagi, supir serepnya menghisap bong setiap kali berhenti.
Diên Biên Phu itu kota perlintasan kecil, berhawa dingin, dan dikelilingi hamparan sawah luas. Sebelas dua belas dengan Solok di Sumatera Barat. Dalam beberapa hal, misalnya kondisi fisik terminal bis, Solok boleh dibilang lebih unggul. Luas Terminal Diên Biên Phu hanya seupilnya Terminal Bareh Solok.
Tampak luar, tak ada yang istimewa dari kota itu. Namun, belakangan, barulah saya tahu bahwa kota kecil dan terpencil itu punya peran besar dalam sejarah Vietnam, sampai-sampai hampir di setiap kota di sana ada seruas jalan yang diberi nama Diên Biên Phu.
Kota dekat perbatasan Laos-Vietnam itu adalah lokasi Bataille de Diên Biên Phu atau the Battle of Diên Biên Phu, salah satu pertempuran dahsyat dalam Perang Indochina Pertama, antara tentara Prancis dan pasukan komunis revolusioner Viet Minh tanggal 13 Maret-7 Mei 1954. Prancis kalah kala itu.
Perjalanan, bagi saya, adalah medium, saluran, kanal. Tujuannya (dan candunya) adalah wawasan. Lewat perjalanan, saya bisa “ngeh” soal “keywords” yang jarang digubris di mesin pencari, misalnya Diên Biên Phu itu tadi.
Perjalanan imajiner waktu membaca buku Mojok: Tentang Bagaimana Media Kecil Lahir, Tumbuh, dan Mencoba Bertahan seolah-olah membawa saya ke Diên Biên Phu-Diên Biên Phu lain. Banyak sekali informasi dan wawasan baru tentang Mojok yang saya dapat dari buku ini.
Saya geleng-geleng sendiri, misalnya, membaca soal Kepala Suku Mojok yang ternyata selama sekitar setengah dasawarsa ini menulis dengan ponsel (hal. viii). Ini, jelaslah, adalah cara sang Kepala Suku mengkomunikasikan bahwa yang paling penting dalam menulis adalah gagasan alih-alih gawai.
Tersenyum-senyum sendiri saya mendapati fakta bahwa Mojok.co adalah satu-satunya media yang memberikan semacam perlop pada awaknya yang sedang dilanda patah hati. Kalau tak percaya, coba saja baca “Izin Patah Hati Satu Minggu dari Mojok” (hal. 52-62) yang ditulis oleh Aprilia Kumala.
Curhatan para redaktur Mojok.co bikin saya mengerti kenapa media opini yang nakal ini bisa menjadi sebesar sekarang. Kenapa? Karena mereka tak pandang bulu dalam menyeleksi tulisan masuk. Kalau tak sesuai standar ya tak masuk. “Makanya, berkali-kali saya menolak tulisan orang-orang bergelar master, bahkan yang bergelar master dari sekolah di luar negeri!” tulis Nia Lavinia (hal. 129).
Ahmad Khadafi sekali pun ternyata pernah mengalami fase ketika tulisannya ditolak Mojok.co, meskipun Eddward S. Kennedy—yang ternyata punya alias: Panjul (hal. 29, 37)—pernah bilang begini kepadanya: “Ngirim tulisan ke Mojok aja, Cuk. Gampang. Honornya lumayan. Cairnya cepet” (hal. 37).
Selain cerita-cerita di atas, tentu masih banyak lagi yang bisa disimak di Mojok: Tentang Bagaimana Sebuah Media Kecil Lahir, Tumbuh, dan Mencoba Bertahan. Kalau mau tahu semua, tentulah lebih baik kamu membelinya sendiri di toko buku.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.