Hari kedua berada di Desa Ciharashas. Waktu masih menunjukkan pukul 4 pagi, namun aktivitas di Pesantren Al Mutaqin tempat menginap saya dan pendamping Desa Ciharashas sudah mulai bergeliat. Para santri melaksanakan kegiatan harian, sebagian diantaranya menyiapkan pelaksanaan sholat subuh berjamaah. Sebagian lagi bersiap untuk kegiatan Jumsih (Jumat bersih-bersih). Pada sebuah sudut, beberapa santri pria berkemas, mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya untuk melakukan perjalanan bersama saya menuju Curug Tenjong (sebagian masyarakat menyebut pula dengan Curug Enjong).
Sembari menunggu Pak Japar Sidik datang, saya dan Pak Iman Saepulloh selaku Pimpinan Ponpes Al Mutaqien, beserta para pendamping desa, sarapan pisang goreng ditemani secangkir kopi. Kades Ciharashas datang tidak lama kemudian dibarengi Bendahara Bumdes, Kang Ajid.
Setelah semua siap, kami pun berangkat menuju Curug Tenjong. Kades Ciharashas mengingatkan kami agar bersabar di jalan karena medannya yang sulit dan jalan setapak menuju ke lokasi berada di lereng jurang curam.
Untuk menuju ke Curug Tenjong ada dua jalan setapak yang bisa ditempuh. Pertama dari sisi utara, jalan ditempuh dari ponpes menuju pesawahan yang kami kunjungi sehari sebelumnya. Setelah sampai di pesawahan, tekuk ke kiri untuk menuju ke selatan. Jalannya cukup terjal, kemiringan lereng sekira 70 derajat sehingga jalan setapak yang dibangun disesuaikan dengan kontur lereng, tidak banyak yang dibuat vertikal.
Meski jalan setapak horizontal melawan kecuraman lereng, namun jalan tersebut tidak lebar sehingga mata perlu waspada pada pijakan kaki. Ini terbukti saat perjalanan pulang saya sempat salah pijakan dan nyaris terperosok ke jurang, namun beruntung masih ada pepohonan kuat yang bisa dijadikan tumpuan tangan saat tergelincir sehingga bisa menyelamatkan diri.
Jalan berliku menuju Curug Tenjong
Jalur ke dua yakni jalan dari sisi selatan aliran sungai menuju ke Curug Tenjong. Jalur ini ditempuh dari ujung jalan lama menuju Ke Bendungan Cirata. Jalan yang dulunya beraspal ini, sekarang menjadi kebun dan pesawahan. 300 meter pertama trek masih lurus, hanya saja kita harus melalui jalan setapak dan tegalan sawah. Setelahnya, jalan mulai turun, melewati lereng yang sama curamnya dengan jalur selatan.
Karena jalan yang relatif ekstrem itulah, saya tidak berani sambal mendokumentasikan perjalanan. Baik Kamera DSLR maupun ponsel saya simpan agar fokus pada pijakan dan juga siap siaga mengawasi teman di depan agar tetap berjalan pada jalurnya.
Setelah menyeberang sungai, kira-kira 300 meter sebelum tiba di Curug Tenjong, kita akan bertemu dengan persimpangan jalan. Persimpangan jalan ini mempertemukan jalur dari selatan dan utara.
Setelahnya, jalan masih dalam keadaan menurun. 50 meter sisanya bahkan jalan setapak lebih ekstrem. Dinding jurang di sisi utara tempat kita berjalan merupakan batuan keras, umumnya basah karena rembesan mata air yang muncul dari batuan yang bercampur tanah, sehingga jalan yang sebagian landasannya adalah batu menjadi basah dan sebagian lagi becek.
Untuk melihat jelas Curug Tenjong, kita harus menuruni lereng rendah sekitar 10 meter. Hanya saja jalan untuk turun cukup sulit, bila terpeleset, taruhannya adalah kamera jatuh. Saya memilih berdiri di 8 meter terakhir. Meski harus mencari titik yang pas, sejumlah dokumentasi masih bisa dibuat di sini.
Curug Tenjong diapit dua lereng searah aliran sungai. Lereng ini ditumbuhi pepohonan keras, cukup rindang. Tidak ada tempat yang terlalu landai berumput untuk sekedar duduk-duduk memandang air terjun.
Sejauh ini, belum ada pengunjung luar desa yang datang ke sini. Warga setempat pun, ke sini hanya untuk mencari rumput liar untuk ternak. Kalaupun ada yang sengaja berekreasi, tidak setiap minggu ada orang yang sengaja berkunjung. Itulah sebabnya, sepanjang perjalanan, terutama di persimpangan setapak yang digambarkan di muka sampai di lokasi, penuh dengan rumput liar.
Namun, inilah keasyikannya. Jalan menantang, jurang dalam, suasana agak gelap karena rerimbunan pohon besar menambah keseruan perjalanan menuju Curug Tenjong, yang tingginya sekira 50 sampai 70 meter ini.
Para santri yang mengantar kami nampak girang setibanya di curug, apalagi jalan yang kami lalui cukup berat. Kegembiraan mereka tersirat dari senyuman saat berfoto bersama. Mereka naik ke atas curug beramai-ramai sampai di posisi tengah, berpose di sana. Dua santri malah berhasil ke puncak Curug Tenjong. Tidak kalah dengan para santri, Kades Ciharashas mulai beraksi. Ia turut pula naik sampai di tengah-tengah curug. Sejurus kemudian ia terlihat sudah merayapi batuan yang licin.
Guyuran air terjun yang cukup deras tidak mematahkan semangatnya untuk berdiri lebih dekat dengan Curug Tenjong. Semua yang menyaksikan adegan tersebut cukup kaget. Setelah berjuang melawan kepungan air deras yang seolah menghadangnya untuk naik ke atas, Kades Japar sidik sudah berada di puncak air terjun bersama Kang Ajid. Sambutan riuh pun kemudian pecah diantara suara batu yang tertimpa aliran air terjun.
Kami pulang dengan gembira, karena perjalanan pergi dan pulang berhasil kami lewati.
'Senior broadcaster' di Bandung dan konsultan komunikasi.