Menyantap Lotek di Warungkondang

Cuaca terasa panas menyengat. Siang itu, saya berada di pinggir jalan sekitar Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Tujuan utama saya sebenarnya adalah Sukaraja, Sukabumi—berjarak sekitar 17,6 kilometer dari Warungkondang. Cuma karena perut mulai keroncongan minta diisi, saya putuskan untuk mencari makanan berat di Warungkondang.

Warungkondang adalah sebuah kecamatan di Cianjur.  Kecamatan ini dikenal sebagai salah satu pusat penangkaran ayam pelung—jenis ayam ras lokal yang memiliki kokokan yang mengalun panjang.

Jika kamu melaju dari Bandung via Cianjur ke Sukabumi, maka akan melewatinya. Dan jika kebetulan naik bus umum, begitu bus hendak memasuki Warungkondang, maka kondektur bus biasanya akan berteriak “Kondang, Kondang, Kondang! Persiapan.”  Sekadar mengingatkan kalau-kalau ada penumpang yang akan turun di Warungkondang.

Menilik katanya, Warungkondang terdiri dari dua kata, yakni warung dan kondang. Kondang sendiri adalah sejenis tanaman, yang kini sudah semakin langka. Tinggi pohon kondang bisa mencapai 7 hingga 12 meter. Daunnya besar, berbentuk hati, dengan tangkai daun agak panjang. Daun kondang biasanya memiliki 4—9 pasang urat samping. Tangkai daun memiliki panjang sekitar 2 sentimeter dan panjang daun dapat mencapai 14 sentimeter. Daun muda bergerigi dengan jelas. Adapun daun tua memiliki tepi bergelombang. 

Kondang merupakan tanaman asli Andaman, Assam, Bangladesh, Kepulauan Bismarck, Borneo, Tiongkok (bagian tengah dan tenggara), Filipina, Hainan, India, Jawa, Kamboja, Laos, kepulauan Sunda Kecil, Malaysia, Maluku, Myanmar, kepulauan Nansei, New Guinea, kepulauan Nicobar, Queensland, Kepulauan Solomon, Sulawesi, Sumatera, Taiwan, Thailand dan Vietnam.

Buah kondang berbentuk bulat dengan permukaan halus atau mirip buah pir tanpa tonjolan longitudinal. Biasanya berkelompok pada tandan dengan panjang tangkai hingga 6 sentimeter. Buah muda berwarna hijau. Saat matang, warna buah berubah menjadi kuning atau merah. Namun, ada juga jenis lain, yaitu yang berwarna merah saat muda dan kemudian menjadi kehijauan saat matang.

Kondang termasuk tanaman dioecious. Jadi, ada pohon jantan dan pohon betina. Buah kondang dari pohon betina memiliki rasa yang manis, sedangkan buah kondang dari pohon jantan sama sekali tidak memiliki rasa manis. 

Di Jawa Barat, tak sedikit nama tempat yang merupakan gabungan dari kata warung dengan nama tumbuhan. Selain Warungkondang, misalnya, ada juga tempat bernama Warungjambu, Warunglobak, Warungkiara, Warungpeuteuy, Warungjengkol, Warungkaweni, Warungnangka, dan sebagainya.

Warungkondang
Jalan Warungkondang/Djoko Subinarto

Memesan Lotek

Kembali ke Warungkondang di Cianjur. Pada jam-jam sibuk, Jalan Raya Warungkondang lazim disergap macet. Terutama di perempatan yang mengarah ke Pasar Warungkondang. Tapi, siang itu, saya lihat arus lalu-lintas tampak lancar.  

Setelah berjalan beberapa meter, terlihat sebuah jongko penjual lotek, yang berada di depan sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jongkonya terlihat sederhana. Ada beberapa kursi untuk pengunjung. Penunggu jongko tersebut seorang perempuan sepuh berkerudung rapat. Saya lihat ia tengah duduk sembari terkantuk-kantuk.

Saya masuk ke jongko dan langsung memesan lotek. “Cengekna bade sabaraha?”  tanyanya dalam bahasa Sunda aksen Cianjuran. (Lombok rawitnya mau berapa biji). Ini adalah pertanyaan standar yang umumnya selalu ditanyakan oleh para penjual lotek kepada setiap pemesan lotek.

Lotek Warungkondang
Menyiapkan bumbu lotek/Djoko Subinarto

Setelah saya menyebutkan jumlah lombok rawit, ibu tersebut segera menyiapkan  bumbu lotek. 

Jongko lotek ibu tersebut persis berdampingan dengan jongko penjual jus buah. Namun, siang itu, penjual jus buah terpaksa menutup jongkonya lantaran di daerah itu sedang ada pemutusan aliran listrik. Seperti diketahui, untuk membuat jus, kita memerlukan blender, yang hanya bisa beroperasi jika ada pasokan listrik.

Beberapa calon pembeli jus buah tampak kecewa ketika mendapati jongko jus buah tutup hari itu.

“Kemarin, petugas PLN sudah memberitahukan kepada para pedagang di sini bahwa akan ada pemutusan aliran listrik. Bilangnya sampai pukul 14.00,” jelas ibu penjual lotek sambil sibuk mengulek bumbu lotek. 

Sebagai orang yang cenderung vegetarian, lotek atau pun karedok tak jarang menjadi pilihan saya di saat menggelandang di luar rumah. Baik lotek dan karedok sarat dengan sayuran. Bedanya, sayuran untuk lotek direbus terlebih dahulu. Adapun untuk karedok, sayurannya adalah sayuran segar—sayuran mentah.

Lotek Warungkondang
Lotek Warungkondang/Djoko Subinarto

Tak butuh terlalu lama, lotek yang saya pesan pun siap tersaji. Ibu itu menyajikannya dalam sebuah piring beling. Tak lupa, ia menaburinya dengan brambang goreng. Kemudian, ibu tadi menyodorkan pula mangkuk bergambar ayam jago berisikan nasi yang dibungkus daun pisang dan kerupuk dalam kantong plastik.  Setelah itu, giliran segelas air putih ia sodorkan.

Ritual makan besar di siang hari yang panas itu pun segera saya mulai. Dalam sekejap, lotek, nasi plus krupuk itu pun tandas.

“Rp12.000,” kata ibu penjual lotek itu ketika saya tanya berapa yang perlu saya bayar.

Saya berikan lembaran Rp20.000. Ibu itu lantas mengambil kembalian dari laci jongkonya. Setelah menghitungnya, ia berikan uang kembaliannya kepada saya berupa satu lembar Rp5.000, satu lembar Rp 2.000, dan satu keping Rp1.000.

Saya ucapkan terima kasih dan sekaligus pamitan. Ia juga mengucapkan terima kasih sembari berpesan kepada saya agar hati-hati di jalan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

Tinggalkan Komentar