Rabu pagi, 16 Juni 2021. Agenda perjalanan pertama kami yaitu dari Kota Kupang ke Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), lalu ke Kabupaten Malaka—dan rencana awal hendak pula menuju Atambua di Kabupaten Belu, yang berbatasan dengan Timor Leste. Ya, siapa sangka andaikan bisa sekalian ke Timor Leste. Sayang sedikit sayang, saat itu waktu dan badan tampaknya belum mengizinkan.
Waktu tempuh dari Kupang ke Kabupaten TTS, dengan mobil, sekitar 3 jam setengah. Berangkat sekitar jam 8 pagi dari Kota Kupang, kami tiba di Desa Oebelo RT 20 RW 09 Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan menjelang waktu Dzuhur.
Di sana, kedatangan kami disambut baik dan hangat oleh warga Kampung Mualaf yang hanya dihuni oleh 16 KK di rumah-rumah adat Lopo. Gerbang kampung warga yang terbuat dari kayu dibuka salah seorang pria. Mobil kami masuk dan barang bantuan diturun-pindahkan dari mobil ke gerobak untuk dibawa ke tempat pertemuan.
Di tempat pertemuan, kedatangan kami disambut dengan tradisi natoni; dengan mengalungkan syal tenun khas NTT dan penuturan bahasa Dawan, bahasa suku Atoni di Pulau Timor.
Usai penyerahan bantuan kebutuhan pokok seperti sembako dan juga bantuan pembangunan MCK umum, kami berbincang-bincang dengan warga dengan ditemani kudapan yang disajikan yaitu air teh hangat, kopi panas, dan singkong rebus yang dicocol sambal. Di bawah pohon besar nan rimbun, kami berbincang dan duduk bersama di kursi dengan kudapan di atas meja plastik.
Dari perbincangan itu, kudapati kabar bahwa warga setempat hendak membangun mushola pertamanya—yang sejak 1981 atau sudah 40 tahun ini—warga Kampung Mualaf belum memiliki tempat ibadah bersama.
Samsudin Tobeh yang merupakan Penanggung Jawab Pembangunan Mushola mengatakan bahwa masjid terdekat adalah Masjid Al Ikhlas Oehani yang berada di Desa Kiufatu, Kecamatan Kualin. Jaraknya sekitar 11 kilometer dari Kampung Mualaf.
Pernyataan Samsudin Tobeh dibenarkan oleh Milyakim Ton selaku Ketua RT, bahwa yang menjadi kendala bagi jamaah muslim di Kampung Mualaf adalah tempat ibadah. “Tiap hari Jumat warga mesti pergi ibadah ke lain desa. Yang ada uang yang bisa ke masjid [dengan mengendarai ojek]. Yang tidak punya uang, hari Jumat di rumah saja,” jelasnya.
Milyakim Ton sangat mendukung pembangunan tempat ibadah bagi warganya yang muslim. “Dibukakan oleh jalan Tuhan. Dari tahun 1981 sampai 2021, 40 tahun baru terjawab pembangunan musala. Kita berharap, kita sama-sama menghadap ke Allah, sesuai kehendak Allah,” tuturnya.
Bayangkan, selama 40 tahun warga di sana tidak memiliki tempat ibadah bersama! Sementara masjid terdekat pun jaraknya 11 km, di lain desa dan lain kecamatan. Usai berpamitan dan hendak menuju ke tempat selanjutnya, aku dan kawanku berpikir. Kami berdiskusi di mobil soal bagaimana caranya agar dapat membantu mereka.
Persinggahan di Pantai Kolbano
Di tengah perjalanan dari Kabupaten TTS ke tempat selanjutnya yaitu Kabupaten Malaka, kami singgah untuk rehat dan makan siang. Kami tiba di tempat makan sederhana, persis di depan pantai indah Kolbano; pantai dengan langit dan awan yang bersih. Dan tentu, jernih airnya biru sejati dengan gradasi hijau menuju bibir pantai—mungkin sulit jika dibandingkan dengan kebanyakan lanskap di Jawa misalnya, yang langitnya berpolusi dan airnya yang coklat bahkan hitam dan bercampur sampah manusia.
Uniknya, pantai di Pulau Timor ini tidak berpasir. Di bibir pantai, yang ada hanya hamparan bebatuan atau kerikil warna-warni; warna abu, putih, krem, hitam, hijau, cokelat, jingga, ungu, dan merah jambu. Kira-kira begitu.
Di pantai itu, tampak dua pemuda tengah menambang kerikil; memilih batu sesuai ukuran, bentuk, dan warnanya, untuk memenuhi permintaan orang-orang yang hendak menghias taman atau pinggiran kolam renang atau akuarium wadah ikan cupang.
Dari cerita pemuda Desa Kolbano, batu-batu indah itu nantinya dikirim ke Jawa lewat Surabaya, dengan harga sekarung Rp10 ribu. Sementara di Jawa, satu ember kecil saja, harga batu hias itu bisa dijual Rp30 ribu, katanya. Anehnya, meski terus-menerus ditambang, kerikil-kerikil itu katanya tidak pernah habis. Ribuan kerikil itu tetap saja tampak utuh. Ada terus. Ajaib.
Satu lagi. Selain menambang kerikil, warga Desa Kolbano pun terus menjaga pantainya agar tetap indah dan tidak tercemar sebab ulah manusia. Supaya keindahannya tetap terjaga.
Ambruknya Jembatan Benenain di Malaka dan Kisah Evakuasi Warga
Setelah selesai melewatkan waktu siang di Pantai Kolbano, mobil kembali melaju dan kami tiba Kabupaten Malaka setelah menempuh sekitar empat jam perjalanan. Kami tiba di Desa Wehali, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, kira-kira jam 5 sore.
Kabupaten Malaka merupakan daerah terdampak banjir bandang yang parah, hingga mengakibatkan salah satu jembatan kokoh di sana ambruk. Saat perjalanan ke Desa Wehali, mobil kami pun melewati jembatan alternatif yang dibuat di samping jembatan panjang itu.
“Jembatan kokoh dari beton yang panjangnya sekitar 300 meter, itu ambruk dan sekarang sedang proses perbaikan. Jembatan Benenain itu jembatan terpanjang di Pulau Timor,” ucap Pak Syukur yang mendampingi perjalananku dan kawan selama di sana. Yulianto, salah seorang warga, menceritakan waktu musibah banjir bandang melanda, dirinya berjibaku membantu proses evakuasi warga.
“Waktu banjir bandang, kami berjibaku, menggendong bayi usia sekitar dua minggu, dan juga lansia. Kami sudah tidak bisa sedih lagi saat di lokasi, karena melihat kesedihan yang dalam dari warga yang terkena musibah. Setelah pulang, salat, dan setelah shalat, barulah kami menangis, sedih, dan betapa bersyukurnya kami dalam keadaan yang selamat,” kisah Yulianto, pria asal Jawa itu.
Kembali ke Kupang
Dari Malaka, kami sampai kembali di Kota Kupang sekira pukul 02.00 WITA. Aku dan kawanku tidur untuk esok harinya melanjutkan penyaluran bantuan sembako kepada para nelayan, yang selama hampir dua bulan tidak bisa melaut karena perahunya hancur dihantam badai.
Menurut Pak Syukur, yang memang berdomisili di Kupang, mayoritas masyarakat di situ adalah nelayan yang terdampak bencana dan perahunya hancur. “Mayoritas masyarakat di sini (Kota Kupang) nelayan, dan kapal mereka hancur saat diterjang badai Seroja,” kata Pak Syukur, pada pagi hari saat penyaluran bantuan.
Setelah selesai tugasku dan kawan menyalurkan bantuan, sore harinya Pak Syukur mengajak kami jalan-jalan ke Pelabuhan Tenau di Kota Kupang. Sembari menikmati kopi dan senja ala anak indie, aku berkata dalam hati: “Aku ingin kembali lagi ke sini!”
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.