Menonton “Kutu/Kota” di Jagongan Wagen Juni 2020

Meskipun tak tahu akan menghadapi apa ketika menonton Jagongan Wagen Juni 2020, sebab tak sempat baca rilisnya, “Kutu/Kota” bikin saya terpana dari mula.

Dari kegelapan, seseorang yang tampak sedang asyik memainkan sampler muncul. Sampel-sampel suara aneh tak-teridentifikasi terdengar. Saya hanya menduga-duga itu semua bunyi apa. Pertengkaran rumah tangga? Suara latar film-film horor ala The Conjuring? Kaleng Khong Guan yang bolak-balik dilempar? Entahlah.

Cahaya pucat yang semula hanya seluas lampu sorot semakin membesar, kamera semakin mundur, dan bingkai gambar bergerak itu ketambahan empat sosok lagi. Keempat orang itu melakukan macam-macam gerakan yang hanya mereka saja yang tahu. Dari mata saya yang tak tahu apa-apa, sepertinya salah seorang dari mereka bolak-balik rukuk, satu lagi mengarahkan leher dan pandangan mata berulang-ulang ke tempat itu-itu saja, dua lagi seperti sedang SKJ.

Tapi mereka semua seperti takluk pada tempo dan irama yang dikeluarkan sampler. Mereka berputar ke sana kemari, berlarian, dansa-dansi, mencari. Pada satu titik, dua orang di antara mereka naik ke panggung, mengambil gitar dan jimbe, lalu, bersama-sama sang pemain sampler yang menjelma sebagai pemain bas, jamming memainkan irama ala orkes dangdut. Dua orang yang tersisa di panggung tampak spontan berjoget, meliuk-liuk digendam alunan musik.

Di momen inilah saya mulai memaknai pertunjukan ini.

Tentang manusia (dan ketertundukannya) pada irama kota

Seni bagi saya adalah sebuah ruang luas yang memfasilitasi manusia untuk berefleksi. “Kutu/Kota” membuat saya merenung soal relasi manusia dan habitatnya.

Sebagai entitas yang membentuk kota, menjadi mengenaskan ketika manusia akhirnya dikuasai oleh ritme kota yang dibangunnya. Orang-orang ter-reifikasi, tak lagi punya kuasa terhadap geraknya sebagai manusia; mereka berubah menjadi objek dari kota yang mereka bangun—atau disubjugasi orang lain/kelompok yang punya kapital lebih besar.

Dokumentasi poduksi Jagongan Wagen edisi Juni 2020 via PSBK/Sito Adhi Anom

Tapi, “Kutu/Kota” juga seakan berusaha menyampaikan pada khalayak bahwa kemampuan (skill) adalah salah satu—sebab barangkali terlalu serampangan untuk mengatakan “satu-satunya”—perangkat yang bisa membuat manusia bisa (sekurang-kurangnya) menjadi “co-composer” dari irama kota, bukan sekadar pengikut atau pelengkap penderita. Hanya saja, persoalan muncul ketika sistem yang ada gagal membuat manusia-manusia, para warga kota, punya skill selain menyelesaikan persoalan-persoalan industrial. Jika sudah begini, selamanya mereka akan terombang-ambing dilamun nada-nada kota yang tak jarang sumbang.

Maka, tidak mudah untuk berganti peran seperti yang dilakukan dua penampil dalam “Kutu/Kota,” yang berubah dari penari pengikut nada menjadi seorang gitaris (yang mampu mengubah suasana dengan kord-kord yang dipetik) dan sesosok penabuh jimbe (yang mampu mengendalikan tempo). Berganti peran, mengembangkan hobi, adalah salah satu dari sedikit privilese yang harus disyukuri. Lagipula, tampaknya kini definisi seorang individu adalah pekerjaannya (sesuatu yang menghasilkan uang). Ini rasa-rasanya tak cuma berlaku bagi mereka yang menerima slip gaji setiap bulan, tapi juga mereka-mereka yang menerima invoice beberapa waktu setelah proyek usai.

Renungan saya di atas berakhir ketika adegan joget dangdut itu berakhir, saat di lampu sorot cuma ada seorang penampil yang tampaknya baru sadar bahwa jogetannya barusan hanya berlangsung dalam angan-angan.

Pertunjukan indah, tapi…

Babak berikutnya adalah bingkai-bingkai gambar bergerak di mana para seniman hanyut menonton klip-klip sudut Yogyakarta. Saya menonton orang sedang menonton. Lalu, usai menonton, mereka terjebak dalam krisis eksistensial; meracau, bergerak tak tentu arah, melakukan entah-apa terhadap kursi lipat masing-masing. Di ujung, mereka menyanyikan sebaris lirik yang nadanya mirip alunan Mazmur.

Dokumentasi poduksi Jagongan Wagen edisi Juni 2020 via PSBK/Sito Adhi Anom

Imajinasi saya makin dibungkam oleh pembingkaian dan pencahayaan yang apik. Jangan salah, saya menikmati pertunjukan ini. Tapi, sekali lagi, saya hanya merasa imajinasi saya benar-benar dibatasi oleh kepiawaian penata artistik dan para juru kamera. Saya merasa disuapi, tak seperti ketika menonton langsung di teater mini PSBK, di mana saya merasa demikian bebas untuk mencoba menginterpretasi.

Sampai akhir pertunjukan yang berlangsung selama setengah jam ini, saya terkesima. Memang saya telat menonton; saya baru mengklik tautan ke laman YouTube PSBK beberapa saat setelah pertunjukan “perdana” usai. Tapi saya menonton “Kutu/Kota” dalam sekali tegukan, tanpa memencet tombol pause, tanpa jeda sejenak ke kamar mandi. Produksi “Kutu/Kota” memang sekeren itu, meskipun…. ah, sudahlah… keadaan memang sedang tak memungkinkan untuk berkumpul ramai-ramai.

Saya cuma bisa berharap bahwa suatu saat pertunjukan-pertunjukan PSBK semasa corona ini bisa diulang, rerun. Hitung-hitung nostalgia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar