Travelog

Ziarah Sejarah ke Pulau Kelor, Cipir, dan Onrust

Gugusan pulau kecil yang menyebar di utara Jakarta dinamakan Kepulauan Seribu, meskipun tentu saja jumlahnya tidaklah sampai seribu jika benar-benar dihitung. Kabupaten Kepulauan Seribu—yang dulu sekali adalah bagian dari Kotamadya Jakarta Utara—menjadi tujuan wisata utama penduduk Jakarta untuk melihat riak air laut atau mentari terbenam.

Saya bersama kawan-kawan pernah berkesempatan mampir ke tiga pulau di Kepulauan Seribu, yakni Pulau Kelor, Cipir, dan Onrust, untuk menuntaskan rasa penasaran mengenai tinggalan arkeologis yang terdapat di pulau-pulau tersebut. Sebagai mahasiswa baru arkeologi, rasa ingin tahu saya mengenai tinggalan kolonial sangat tinggi, terlebih karena di kota asal saya tidak banyak tinggalan kolonial yang tersisa.


Kami berkumpul di Kota Tua Jakarta. Dari sana, kami ke Pelabuhan Muara Kamal. Memasuki dermaga, penjual dan pembeli riuh menyemarakkan TPI. Permukaan air dekat dermaga sangat hitam dan bau, pertanda laut sekitar telah berat tercemar. Kapal berjejeran di dermaga, sebagian mengambil peran sebagai pengangkut hasil laut, sebagian lagi mentranspor penumpang dan barang.

Kapal motor yang kami tumpangi pun mulai meluncur pelan meninggalkan dermaga. Di kanan-kiri kami mulai terlihat bagan-bagan bambu tempat membudidayakan kerang hijau. (Saya tiba-tiba ingat penelitian yang menemukan bahwa kerang hijau di Teluk Jakarta sudah banyak tercemar logam berat sehingga berbahaya jika dikonsumsi manusia.) Lebih jauh lagi membelah laut, kami memapas beberapa pulau reklamasi yang keberadaannya menuai protes itu.

Bagan-bagan tempat budidaya kerang hijau yang kami lewati dalam perjalanan ke Pulau Kelor/M. Irsyad Saputra

Empat puluh menit berlalu, sampailah kami di Pulau Kelor. Di antara tiga pulau yang kami hampiri dalam perjalanan kali ini, Kelor adalah yang terkecil. Namun, meskipun paling kecil, pulau ini punya ikon yang tidak dimiliki pulau-pulau lainnya, yaitu sebuah benteng Martello (benteng bundar kecil bagian dari sistem pertahanan) yang masih kokoh berdiri.

Bata merah benteng ini terlihat mencolok dari latar laut dan langit biru. Berbentuk bundar dengan tinggi 9 m dan diameter 14 m, benteng ini sudah mengalami banyak kerusakan meskipun bentuk aslinya masih terlihat utuh. Berdiri semenjak 1850, benteng Martello di Pulau Kelor ini adalah salah satu dari sekian benteng yang dulu dibangun di Kepulauan Seribu oleh pemerintah kolonial.

Pulau Kelor dijuluki juga sebagai Pulau Kuburan. Konon di pulau ini banyak kuburan pribumi dan orang Belanda, namun nisan-nisannya sudah tidak terlihat lagi. Saat di sana, saya hanya menemukan beberapa potongan tulang rahang binatang tercampur dengan terumbu karang yang mati.

Benteng Martello di Pulau Kelor/M. Irsyad Saputra

Usai melihat-lihat Pulau Kelor, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Cipir. Pasir putih menyambut kaki kami yang basah sehabis turun dari kapal. Terik matahari membuat kulit kami terbakar. Beruntungnya, pulau ini cukup rindang untuk menaungi kami.

Tidak jauh dari bibir pantai, sisa-sisa bangunan terbengkalai menjadi pemandangan menyeramkan sekaligus menggugah rasa ingin tahu akan sejarah. Kompleks ini dahulunya difungsikan sebagai rumah sakit karantina para jemaah haji era kolonial. Lorong demi lorong rusak saya masuki. Warna bangunan yang memudar seakan menceritakan kisah sedih jemaah haji yang diperlakukan bak tahanan. Pemerintah kolonial tampaknya khawatir dengan ide-ide perjuangan yang didapatkan para jemaah selama di tanah suci.

Selepas mengelilingi puing-puing, kami duduk sejenak di pinggir pantai meregangkan kaki yang sudah lama berjalan. Matahari sudah tidak lagi di atas kepala.

Reruntuhan rumah sakit di Pulau Cipir/M. Irsyad Saputra

Perjalanan selanjutnya adalah menuju Pulau Onrust. Onrust berarti unrest dalam bahasa Inggris, merujuk pada banyaknya kapal yang masuk ke galangan Onrust zaman dulu.

Ditarik ke belakang, pulau ini dulunya tempat tetirah para raja Banten. Namun, sengketa dengan Jayakarta mengubah semuanya. Penguasa Jayakarta kemudian mengizinkan VOC mendirikan galangan kapal di sana. Lambat laun VOC mulai menjadikan Onrust koloni dan mulai membangun benteng kecil pada 1656. Bahkan, nama-nama tenar dalam sejarah seperti Sir James Cook pernah singgah di Onrust untuk memperbaiki kapal dan mengisi perbekalan sebelum ke benua yang sekarang disebut Australia. Setelah sempat diduduki Inggris pada periode 1810-1816, pembangunan Pulau Onrust dilanjutkan kembali oleh pemerintah kolonial dan beralih fungsi menjadi tempat karantina haji pada 1911. Tahun 1972, SK penetapan Pulau Onrust sebagai pulau bersejarah diterbitkan oleh Gubernur Ali Sadikin.

Nisan Maria van de Velde di Pulau Onrust/M. Irsyad Saputra

Benteng di Pulau Onrust memang sudah tidak bersisa. Tetapi di pulau ini ada sebuah rumah yang masih berdiri kokoh dan dijadikan museum yang menceritakan sejarah Pulau Onrust sejak jadi galangan kapal, tempat karantina haji, sampai penjara bagi tahanan politik waktu Jepang menduduki Hindia-Belanda. Satu hal lagi yang menarik adalah cerita-cerita mistis yang beredar soal pulau ini, di antaranya soal “hantu” Maria van de Velde dan makam keramat yang diyakini sebagai pusara Kartosuwiryo.


Selesai tur, beberapa di antara kawan seperjalanan pamit untuk pulang. Kami mengantarkan mereka sampai dermaga. Tersisalah kami bertiga bersama seorang senior yang memimpin rombongan; kami memang mau melanjutkan hari di Pulau Onrust sebelum pulang esok pagi.

Para pemancing yang sedari siang duduk menunggu kailnya disambar ikan menjadi teman mengobrol kami di sore hari. Sore itu langit tak ditutupi awan sehingga matahari kuning terang berkilauan. Saya menyingkir dari mereka, kembali mengunjungi makam Maria van de Velde. Meskipun rimbunan pohon beringin membuat suasana menjadi menyeramkan bagi sementara manusia, entah kenapa yang saya rasakan justru aura kesunyian seorang wanita dengan penantiannya yang tidak berujung. Saya merasa iba.

Para pemancing di Pulau Onrust/M. Irsyad Saputra

Malam, kami habiskan waktu dengan bercengkerama di pinggir laut. Dari seberang, cahaya lampu apartemen gemerlap menemani obrolan kami. Kami mengobrolkan banyak hal; tentang studi kami yang baru saja di masa awal, tentang tinggalan arkeologi seputaran Kepulauan Seribu, hingga cerita mistis pulau ini. Tidak ada api unggun, tidak ada perayaan. Selepas ngalor-ngidul, kami menuju tenda dan beranjak tidur di antara sisa bangunan dan Teluk Jakarta.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *