Kapal bersandar sekitar tepat pukul 11 malam. Sesampainya di penginapan, kami sempat berbincang sekitar sejam bersama Kak Arya, salah satu staff di La Boheme, sebuah penginapan yang menyediakan bunk bed dan tipe kamar yang cocok untuk para backpacker. Di sini rombongan menuju Wae Rebo yang pada awalnya berjumlah tiga orang, bertambah satu, anak Lombok yang masih berusia 20 tahun. Kami berbincang tidak lama, sebab kami harus berberes dan istirahat secepatnya untuk persiapan keesokan harinya. 

Perjalanan Menuju Wae Rebo

Seminggu sebelum keberangkatan, saya sempat mencari kawan pejalan lain yang hendak melakukan perjalanan di Labuan Bajo. Saya bertemu dengan Kak Riyadi dari Pekanbaru yang telah merantau sekitar setahun di Jakarta. Metode “cari barengan” seperti ini merupakan hal yang normal bagi para pejalan yang menikmati bertemu orang-orang baru. Singkatnya, kami sepakat untuk bertemu di La Boheme sekitar 08.00, menyewa dua motor yang akan dipakai berempat; saya berboncengan dengan Kak Riyadi, sementara Kak Istya bersama Kak Aji. 

Keesokan harinya, Kak Riyadi mendatangi kami sekitar waktu yang disepakati. Setelah menikmati nasi goreng, saya pun berboncengan dengannya menuju rumah tinggal Kak Riyadi untuk menaruh barang, serta mengambil satu motor sewa. Segala urusan kami selesaikan selama setengah jam lebih. Begitu kembali, Kak Istya dan Kak Aji telah menunggu. Dengan mengangkat tas kami masing-masing, perjalanan menuju Wae Rebo dari Labuan Bajo pun dimulai. Oma Maria, pemilik rumah yang ditempati Kak Riyadi selama di Labuan Bajo memberi kami arah untuk memotong jalan via Nanga Lili. Konon, jalanan ini bisa memangkas waktu sejam lebih dibandingkan jika melewati jalur Ruteng. 

Perjalanan berlangsung mulus. Kami berhenti di pom bensin terdekat untuk mengisi penuh bahan bakar. Cuaca cerah menemani selama jalur trans Flores dari Labuan Bajo menuju Lembor. Saya bersyukur berboncengan dengan Kak Riyadi meskipun motor sewaan Rp75.000 per hari yang kami pilih bermasalah pada gas motor sehingga kecepatan dan kesabaran kami terus diuji di setiap tanjakan curam. Sekitar seperempat jalan, ban motor kami secara tiba-tiba kempis. Untungnya, sekitar 100 meter sebelumnya kami sempat melihat sebuah bengkel yang berada tepat di pertigaan jalan. Namanya Pak Agustinus, sangat baik dan ramah. Beliau berasal dari Kampung Dalam, di dalam pertigaan sebuah daerah bernama Wae Bobok. 

Topografi jalur trans Flores yang terdiri atas tanjakan dan turunan curam, kadang bahkan disertai belokan tajam, menjadi tantangan tersendiri dalam perjalanan ini. Medan yang berlangsung sekitar satu setengah jam tersebut, berangsur berubah lebih landai dengan pemandangan sawah kuning luas sejauh mata memandang. 

Plang Wae Rebo sebelum pendakian/Nawa Jamil

Kami sampai di Pasar Lembor sekitar 10 menit kemudian. Suasana yang ramai disertai jejeran warung Padang yang menggiurkan begitu kontradiktif dengan jalanan sepi dan menantang yang kami lewati tadi. Jalanan yang landai tadi kembali menikung tajam, berbelok, menanjak dan menurun tak lama setelahnya, begitu kami kembali memasuki daerah pegunungan. Perjalanan berlangsung sekitar satu jam setengah, sampai plang tanda dengan gambar Wae Rebo terpampang jelas pada bagian kanan jalan. 

Trekking Menuju Wae Rebo yang Melelahkan

Parkir motor/Nawa Jamil

Setelah berhenti dan bertanya berkali-kali, disertai perasaan yang mulai tak yakin, kami akhirnya sampai di tempat parkiran Wae Rebo, persis sebelum trekking. Setelah bertamu dengan warga di plang pertama, kami baru tersadar bahwa kami telah melewati jalur pintas menuju Wae Rebo, sekitar dua jam sebelumnya. Total waktu dari Labuan Bajo menuju parkiran Wae Rebo sekitar 6,5 jam, termasuk beberapa kali istirahat dan puluhan kali berhenti untuk bertanya arah. 

Foto bersama bapak pemandu kami, Karnis, sebelum pendakian/Nawa Jamil

Karena hari sudah menjelang petang, kami pun memutuskan menyewa jasa pemandu, seorang bapak bernama Karnisius, disapa Karnis. Jalur trekking awal terbilang aman dengan beberapa titik pembatas pada tanjakan maupun turunan curam, serta jalur yang sudah dipoles baik dengan beton dan batu-batu sebagai pijakan. Sayangnya, jalur baik ini berakhir sekitar 100 meter sebelum pos satu. Tanpa ampun, tanjakan terus menghantam kedua kaki yang belum pulih dari lelahnya perjalanan motor. 

Pos 2 Wae Rebo, tempat menyembunyikan kentongan/Nawa Jamil

Setelah tanjakan tanpa henti, sekitar 200 meter dari pos satu, kami akhirnya bertemu jalan landai dengan sedikit tanjakan maupun turunan sejauh 2,5 km sampai ke pos kentongan, atau Pondok Kasih Ibu sekitar pukul 18.30 malam. Di sini, Pak Kanis membunyikan kentongan sebagai tanda ada tamu yang datang menuju kampung. 

Cahaya lampu kampung Wae Rebo sudah terlihat dekat. Perjuangan kami langsung terbalas begitu sampai di tengah wisatawan lain. Seorang warga kampung, mungkin seumuran dengan saya mempersilahkan kami ke rumah utama untuk menerima acara adat penyambutan terlebih dahulu sebelum bergabung dengan rombongan yang lain. 

Rumah Kerucut Wae Rebo

Tampak dalam rumah adat di Wae Rebo/Nawa Jamil

Bentuk rumah dan sejarahnya menjadi daya tarik utama wisata budaya ini. Begitu kami memasuki rumah utama, tampak alat tidur dan selimut pada sisi melengkung yang sejajar pintu rumah, dapur dengan perapian besar di tengah-tengah rumah dan sekitar enam petak kamar yang mengelilinginya. Kami dipersilahkan menunggu tetua adat yang tampaknya tengah melangsungkan upacara adat lain. sekitar 10 menit menunggu, akhirnya beliau mendatangi kami. Dengan mengucapkan beberapa doa dalam bahasa lokal, tidak lama, acara tersebut selesai. Kami dipersilahkan untuk mandi dan berberes sebelum makan malam dan menikmati kopi khas Wae Rebo. 

Wae Rebo saat malam hari/Nawa Jamil

Wae Rebo, sebuah desa dengan tujuh rumah ada kerucut yang dibangun melingkar. Rumah adat yang telah diresmikan oleh UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia tahun 2012 ini, menawarkan sebuah pengalaman desa unik diatas ketinggian yang tidak terlupakan. Keindahan desa ini terlihat jelas kala sinar matahari mulai mencuat dari balik deretan pegunungan. Di pagi hari, orang-orang langsung berburu foto di area bukit yang langsung membelakangi tebing-tebing dengan tujuh rumah adat di tengahnya. 

Rumah kerucut ini dibuat dari kayu-kayu ulin kuat, dengan atap besar berbentuk kerucut dengan tiang bambu dan atap ilalang yang dianyam. Setiap rumah terdiri dari enam kepala keluarga dan satu area masak utama di tengah-tengah bilik keluarga tersebut. 

Di pagi hari, setelah puas berfoto di atas perbukitan, saya sempat bertamu ke dalam rumah yang letaknya persis di samping rumah utama tempat kami tidur semalam. Ternyata, rumah ini merupakan milik salah satu keluarga yang melangsungkan acara syukuran kemarin malam, acara yang kami saksikan sebelum acara penyambutan tersebut. Sang ayah bercerita bahwa acara pemotongan ayam tadi malam merupakan wujud syukur kepada leluhur karena anak lelakinya baru saja menamatkan pendidikan strata satu di sebuah universitas di Malang. 

Penenun Wae Rebo di Kampung Bawah/Nawa Jamil

Kampung dengan medan pendakian sepanjang 7 km ini memiliki kesadaran akan pendidikan formal yang tinggi. Ketika anak-anak mereka sudah memasuki usia sekolah, mereka akan tinggal di kampung bawah di daerah Dintor. Beberapa anak yang memasuki usia SMA dan kuliah bahkan mengenyam pendidikan di luar Flores, seperti Makassar, maupun kampus-kampus lain di Pulau Jawa. 

“Kepala keluarga yang mendiami ini tidak akan bertambah, jadi ketika ada yang memulai keluarga baru ataupun menikah dengan perempuan dari luar kampung, maka mereka akan tinggal di Dintor, desa bawah,” kata seorang tetua di rumah tersebut. 

Satu Mbaru Niang, sebutan rumah adat ini terdiri dari beberapa KK yang telah diatur sejak pembangunan kembali rumah adat ini. Setiap KK memiliki jadwal piket memasak masing-masing. Selain itu, terkait pemenuhan kebutuhan para wisatawan yang berkunjung, juga dilakukan secara gotong-royong. Rombongan lain perlahan beranjak dari kampung Wae Rebo. Saya dan tiga orang teman memutuskan untuk berbincang-bincang dengan Pak Mus, seorang tetua di desa ini. Dari beliau, saya tahu banyak soal sejarah kampung ini. 

“Dahulu, nenek moyang kami berasal dari Minangkabau. Dulu setelah Belanda masuk ke daerah ini, Bentuk Niang Mbaru sempat berubah menjadi rumah-rumah batu bata yang seragam seperti di kampung bawah. Lalu, ada seorang peneliti dari luar negeri bernama Katrina yang datang kesini, dan belajar bahasa dan adat istiadat di Wae Rebo ini, termasuk bahasa manggarai selama dua tahun.”

“Setelah itu, Desa Wae Rebo kemudian terkenal ke dunia luar berkat salah seorang fotografer dan seorang temannya yang berkunjung di tahun 1980-an, ia bernama Wasuda. Setelah itu, barulah desa ini terkenal di kalangan wisatawan domestik sekitar awal tahun 2000an.” Jelas Pak Mus. 

Terkait dengan dampak pandemi terhadap perputaran perekonomian di Wae Rebo, beliau mengklaim bahwa pariwisata tidak begitu berdampak terhadap perekonomian kampung ini. “Di sini memang perekonomian utamanya adalah kopi, sehingga saat pariwisata sempat tutup tahun lalu, kami tetap bisa hidup dari kopi. Namun sekarang pariwisata di sini sudah jauh lebih ramai. Bahkan, di tanggal 3 Mei kemarin tamu di kampung ini mencapai 100 orang.”

Kebaikan Orang-Orang dan Pertemuan yang Menyenangkan

Hal terbaik dari perjalanan adalah perbincangan dengan orang-orang baru. Saya beruntung sebab perjalanan kali ini ditemani oleh tiga orang dengan selera humor yang sama. Selain itu, Pak Karnis selaku guide kami juga sangat menghibur dengan gaya lawakannya yang khas. Selama di Wae Rebo kami juga bertemu dengan 12 orang rombongan lain yang menetap di rumah utama. Banyak perbincangan hangat ketika waktu makan malam dan pagi, serta cerita lepas sebelum tidur. 

Manggarai dan Wae Rebo mengajarkan potret keramahan orang-orang timur. Entah di Labuan Bajo maupun Lembor, Ruteng, dan Wae Rebo, orang-orang selalu menyambut kami dengan senyum ramah dan menawarkan bantuan dengan penuh keikhlasan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar