Travelog

Mengunjungi Bandung Zoological Garden Kala Pandemi

Sebagai seorang perantau yang tinggal di tengah Kota Bandung, pemandangan gedung-gedung tinggi dan gemerlap lampu jalan sudah menjadi makanan sehari-hari. Setelah hampir dua tahun menjalani kehidupan serba from home, saya tiba-tiba terpikirkan untuk melepas penat sejenak dengan berkunjung ke Bandung Zoological Garden.

Bandung Zoological Garden

Tempat yang memiliki nama resmi Bandung Zoological Garden ini terletak dekat dengan Universitas ITB.  Gerbangnya persis berada di sebelah jalan raya yang ramai dilewati kendaraan umum.

Saat itu, saya dan teman memutuskan untuk berangkat memakai taksi daring dari indekos. Dengan mudah kami meletakkan titik tujuan di Gerbang 1.  Ternyata Gerbang 1 yang berada di bagian belakang kebun binatang sudah lama tidak digunakan. Alhasil, kami berdua harus berjalan naik tangga setelah sebelumnya melewati rumah-rumah pemukiman di bagian belakang kebun binatang.

Walau harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk naik dan berjalan sekitar 100 meter, setidaknya kami bisa melewati trotoar luas yang teduh. Pohon-pohon menjulang di daerah sekitar ITB ini membuat udara yang kami hirup lumayan sejuk, walaupun udara ini bercampur dengan asap polusi kendaraan.

Trotoar yang sepi dan lumayan luas ini lumayan untuk dijadikan background foto.  Saya sempat memotret graffiti bergambar Canon, anjing asal Aceh yang ceritanya sempat ramai di media sosial beberapa bulan lalu.

Grafitti canon di tembok Bandung Zoological Garden/Eunike Angga

Tetap Ramai Meski Pandemi

Begitu masuk, pandangan saya langsung tertuju ke tempat parkir yang ternyata penuh oleh mobil-mobil pribadi dan bus-bus pariwisata. Keluarga dan rombongan sekolah memadati Bandung Zoological Garden kala itu. Seorang petugas keamanan menyapa kami dengan ramah dan menginstruksikan bahwa semua pengunjung wajib memindai QR code PeduliLindungi sebelum masuk ke area kebun binatang.

Setelah memindai saya dan teman memasuki area kebun binatang untuk membeli tiket masuk sebesar Rp50.000 per orang. Saat itu Bandung Zoological Garden sedang bekerjasama dengan PMI, sehingga kami harus menambahkan biaya Rp10.000 untuk donasi. Tiket yang didapatkan berbentuk gelang kertas dengan QR code yang harus kami pindai pada pintu masuk.

Bertemu dengan Para Binatang

Saya tidak menyangka kalau area Bandung Zoological Garden ternyata luas. Teman saya yang sudah bertahun-tahun tidak berkunjung ke sini menyarankan untuk menjelajahi isi kebun binatang dari ujung ke ujung supaya kami tidak berputar-putar.  Di sini, banyak binatang yang bisa ditemui secara langsung tanpa pagar pembatas.

Memberi makan jerapah/Eunike Angga

Ada pula sebuah lapangan yang ditubumbuhi rerumputan, penuh dengan zebra. Pembatas antara zebra dan pengunjung hanya berupa semak-semak. Pengunjung bisa memberi makan pada jerapah atau rusa dengan membayar biaya lebih, tentunya.

Di bagian lain, ada binatang yang diletakkan di dalam kandang dengan tembok pembatas yang lumayan tinggi. Di setiap kandang akan ada pintu yang hanya bisa diakses oleh para petugas untuk berinteraksi langsung dengan para hewan.

Satu-satunya akuarium di Bandung Zoological Garden/Eunike Angga

Hanya ada satu akuarium berisi air yang dihuni oleh ikan. Sisanya adalah akuarium kosong yang dibiarkan berdebu. Ada daerah kolam-kolam yang dipenuhi berbagai jenis kura-kura, serta daerah khusus yang berisi reptil.  Di dekat gerbang 1 ada skybridge yang bisa dilalui untuk melihat seluruh kebun binatang dari ketinggian. Dari sana, pengunjung juga bisa melihat puma dan cheetah yang memanjat dan tidur siang di batang-batang pohon.

Kolam kura-kura/Eunike Angga

Diskusi dengan Sahabat

Dalam kunjungan ini, saya mendapatkan dua ilham baru melalui percakapan bersama teman. Pertama, standar manusia yang salah penerapan.  Saat melihat beruang-beruang dalam kandang, kami berdua mengasihani beruang tersebut karena tanah kandang mereka becek dan dinding pembatasnya dipenuhi lumut.

Kandang beruang madu/Eunike Angga

“Seharusnya itu dibersihkan,” kata saya.

“Iya, kalau hujan kan semua jadi kotor,” timpal teman saya.

Kami berdua berjalan pergi untuk mengunjungi kandang unggas, ketika tiba-tiba saya berpikir, “Bukankah keadaan hidup di hutan kurang lebih sama seperti yang kita lihat tadi?” Saya berbincang lagi dengan teman saya dan kami berdua sepakat kalau obrolan tadi kami lontarkan karena kami memasang standar manusia untuk hidup para beruang tersebut. Rumah yang nyaman bagi kami adalah tempat yang hangat, bersih, dan tertutup. Hal ini mungkin berlaku untuk kucing, anjing, atau hewan peliharaan lain; namun tidak bisa berlaku untuk hewan liar.

Gajah/Eunike Angga

Kedua, kami setuju bahwa seharusnya gajah tidak dipakai sebagai alat transportasi.  Hati saya remuk ketika melihat bahwa pengunjung bisa membayar untuk berkeliling kawasan dengan menaiki punggung gajah. Kami berdua tahu fakta bahwa tubuh dan struktur tulang gajah tidak dirancang untuk menjadi pengangkut benda atau manusia. Banyak organisasi pecinta hewan yang melarang keras praktek gajah yang dijadikan alat transportasi, miris rasanya melihat praktek ini masih terus berjalan sampai sekarang, bahkan di kebun binatang.

Saturday Well Spent

Setelah selesai menjelajahi seluruh isi kebun binatang, kami kembali ke air mancur yang berada di tengah-tengah kebun binatang untuk rehat sejenak. Kami menonton sebentar sekumpulan anak muda yang sepertinya sedang rekaman dance cover K-Pop di tempat itu.

Kontras bangunan Apartemen dan pepohonan/Eunike Angga

Selama berjalan-jalan tadi, pengunjung masih bisa melihat gedung-gedung apartemen yang menjulang tinggi dari balik pohon-pohon di kebun binatang. Pemandangan dua hal kontras antara tanaman dan balok beton ini rasanya seperti sebuah ironi: hutan ini tidak lebih dari sebuah taman buatan di antara kota yang modern. Well, setidaknya hewan-hewan di sini hidup dengan aman dan bisa mengedukasi banyak orang

Tips Saat Berkunjung ke Bandung Zoological Garden

Berikut adalah beberapa tips dari saya bagi mereka yang ingin berkunjung ke Bandung Zoological Garden,

1. Selalu sedia payung. Cuaca di Bandung terkadang tidak menentu. Ketika kami berjalan-jalan di kebun binatang, sempat turun hujan sebentar.  Beruntung kami berdua masing-masing membawa payung sehingga tidak harus berebut tempat berteduh yang jumlahnya sangat terbatas.

2. Pakai baju panjang atau bawa lotion anti nyamuk. Karena seluruh kebun binatang dipenuhi oleh pohon-pohon dan berbagai jenis tanaman, gigitan nyamuk adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Beruntung teman saya membawa minyak oles yang lumayan bisa meredakan gatal akibat nyamuk.

3. Makan sebelum datang. Kalau tidak ingin mengeluarkan budget lebih selain tiket masuk, ada baiknya datang dengan keadaan kenyang karena harga makanan dan minuman di dalam kebun binatang lebih mahal dibandingkan harga di luar.

4. Pakai alas kaki yang nyaman. Pakailah yang enak dibuat berjalan dalam waktu yang lama.  Namun kalau malas berjalan dan sanggup membayar lebih, di dalam ada jasa penyewaan golf cart yang bisa dipakai.

5. Jangan mengeluh mengenai harga tiket. Saya sering sekali melihat ulasan di internet yang mengeluhkan harga tiket yang mahal. Menurut saya pribadi, harga yang ditetapkan pihak pengelola sudah cukup baik.  Ingat, ada banyak hal yang harus dibiayai dalam suatu kebun binatang: biaya makan hewan, biaya kebersihan, perawatan kesehatan hewan, listrik, air, dan gaji para karyawan.  Kalau bisa memberi lebih, tidak ada salahnya pengunjung ikut memberi makan para binatang di lokasi-lokasi yang sudah disediakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

mahasiswa tingkat akhir di jurusan Sastra China. Saat ini sedang berdomisili di Jawa Timur, Eunike terkadang menulis untuk mengisi waktu luang.

mahasiswa tingkat akhir di jurusan Sastra China. Saat ini sedang berdomisili di Jawa Timur, Eunike terkadang menulis untuk mengisi waktu luang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Nasib Kebun Binatang saat Pandemi