16 Agustus 2019. Dua boat melaju kencang, memecah laut yang tenang, di tengah hari yang terik. Boat-boat itu mengantarkan kami, saya dan rekan beserta teman-teman lain, ke Pang Wadar, di mana kami memarkirkan sepeda motor dan mobil. Waktu saya dan teman-teman memang telah usai di Patimburak. Sebelumnya, lambaian mace dan pace Patimburak, teriakan-teriakan anak kecil, mengiringi kepergian kami. Kepala dan dada terasa penuh, oleh cerita, oleh kenangan dan diskusi-diskusi panjang tentang pala, oleh pengalaman hidup di muara.
Sampai nanti, Patimburak.
Kami tiba di Pang Wadar di waktu makan siang. Kami akan tinggal beberapa hari di Pang Wadar sebelum kembali pulang ke Kota Fakfak. Di rumah Pace Kampung Ridwan, kami dijamu makan siang dengan menu lema (ikan kembung) bakar, sayur geti berkuah santan, dan sambal colo-colo.
Selesai makan kami menuju balai desa, duduk di bawah pohon asam. Di bawah pohon asam yang teduh, Pace Radani bercerita tentang Pang Wadar dan Distrik Kokas. Di Kokas, terdapat gua-gua buatan manusia, peninggalan sejarah perang. Jepang yang membuatnya, menjadi saksi bisu kisah-kisah peperangan.
Kokas: Jejak kolonial dan Pesta Kemerdekaan
Cerita-cerita yang panjang akhirnya membawa saya ke rumah Tete (kakek) Abu. Tete Abu berusia lanjut. Kantong matanya besar dan sudah turun. Ia tinggal bersama istri mudanya di Masina, kampung sebelah. Tete Abu selalu mengenakan kopiah putih khas haji-haji kampung di Indonesia. Janggam dan jenggotnya panjang dan putih, kontras dengan kulitnya yang legam. Sekilas dalam gelap, ia mungkin seperti Morgan Freeman.
Di hari yang sudah mendekati Magrib, saya menyapa tete dengan Bahasa Belanda. Sebelumnya saya sudah dikabari bahwa tete pernah mengenyam sekolah Belanda dan bekerja untuk perusahaan Belanda di Papua. Tete membalas pesan saya dengan wajah sumringah, lalu menyerocos dengan Dutch-nya. Tentu saya gelagapan mencoba mengerti. Logat Belanda tete mengingatkan saya pada Oma Ann dan Opa Paul di Nijmegen, pasangan suami-istri yang hengkang puluhan tahun lalu ke Belanda, yang kadang mengundang saya karena Oma masak banyak untuk acara gereja.
Tete Abu bercerita tentang pendidikan Belandanya, juga tentang bagaimana herr-herr atasannya memperlakukannya dengan baik, dengan sistem yang tertata. Saya mencoba menyimpan opini pribadi demi kesopanan. Saya sebenarnya fokus ke meja, karena ada kudapan yang mengundang. Saya izin untuk mencoba dan—ah!—enak sekali. Manis dan lembut, berwarna kuning gading dengan kulit garing di luarnya.
Kue itu bernama lontar. Kata tete, itu merupakan peninggalan Belanda. Menurutnya lontar berasal dari rond taart atau kue bulat. Mungkin zaman dulu para kompeni itu mencoba membuat sesuatu yang mirip dengan pie susu dengan bahan-bahan terbatas yang ada di Fakfak. Setelah kenyang dan bosan mengangguk-nganguk dengan cerita tete, saya permisi pulang, membungkus kue lontar yang tersisa, lalu kembali ke rumah pace kampung.
17 Agustus 2019. Pagi-pagi saya dikagetkan cekikikan anak-anak perempuan pace kampung. Mereka sudah rapi, berseragam sekolah lengkap. Pace kampung pun tak kalah rapi, bersafari dengan nama tersemat di dada dan topi bertuliskan nama dan pangkat: Kepala Kampung. Amboi, semua sedang siap-siap upacara bendera di Lapangan Distrik Kokas. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya mengikuti upacara bendera atau upacara 17 Agustus. Saya rasanya ingin ikut. Tapi, ah, takkan sempat. Yang lain sudah siap sementara saya masih bersarung dan mengantuk.
Ada yang berbeda di tanggal 17 Agustus ini dibandingkan hari-hari biasa di Pang Wadar. Selain semarak oleh bendera merah putih yang terpajang dan berkibar di tiap rumah, listrik pun menyala sejak pagi. Di Pang Wadar, di hari-hari biasa, listrik hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi, dengan pemadaman yang rajin dan tanpa berita. Di 17 Agustus, setidaknya Pang Wadar merdeka dari tidak-ada-listrik di siang hari.
Sore hari, saya mengambil sepeda motor lalu pergi ke Pasar Sosar. Saya membeli ikan goreng dan melihat-lihat jualan mama-mama di pasar, lalu pergi ke Pelabuhan Kokas.
Di pelabuhan, warga distrik ramai berkumpul. Bermacam perlombaan untuk anak-anak dan dewasa tersedia. Tapi saya memilih menonton sepakbola anak-anak, Sekar Sosar Cup, Kampung Sisir melawan Kampung Sekar. Lapangan penuh dikelilingi para suporter dan penonton, permainan riuh diiringi teriakan mace-mace, pendukung nomor satu bagi anak-anaknya. Saya benar-benar menikmati pertandingan sepakbola anak usia SD ini. Mereka bermain dengan semangat dan serius. Tiba -tiba saya teringat Erol Iba, pesepakbola nasional kawakan yang berasal dari Fakfak. Mungkin Bang Erol pun dulu pernah bermain dan berlomba bola di acara 17 Agustus di Fakfak.
Permainan selesai. Kampung Sisir memenangkan perlombaan, menggondol piala, membawanya berpawai dalam mobil bak sambil bersorak sorai.
Saya kemudian menuju Lapangan Distrik Kokas. Warga dan aparat ramai berkumpul: upacara penurunan bendera. Upacara dimulai, pasukan paskibra memasuki lapangan. Saya tidak ikut dalam barisan peserta upacara karena tak enak cuma bercelana pendek. Saya berdiri di antara motor yang terparkir, di bawah pohon mangga, bersama Morten dan Iqbal yang menyusul. Namun, kami semua dengan patuh hormat tatkala bendera mulai diturunkan. Diiringi lagu Indonesia Raya, pelan-pelan bendera menuruni tiang hingga ditangkap dan dilipat dengan sigap oleh paskibra. Semua momen itu memberikan rasa hangat di dalam dada.
Tambaruni: duka dan kejora
19 Agustus 2019. Kami sampai kembali di Kota Fakfak. Saya dan Mei, asisten peneliti kami, memilih tidur di Grand Papua Fakfak. Sementara Pak Fadly sepakat tidur di Markas LSM tempat rekan kami bekerja. Setelah berjanji mengatur rencana diskusi, kami semua beristirahat. Setelah dua minggu lebih berada jauh di kampung-kampung ujung Fakfak, tidur beralas tikar, malam itu saya tidur nyenyak, sampai lupa untuk bermimpi.
20 Agustus 2019. Bang Husenlah yang pertama mengirim kabar itu di grup WhatsApp. Terjadi perusakan di Pasar Tambaruni. Dagangan-dagangan diobrak-abrik, pinang sirih berantakan, dan telur pecah di lantai pasar. Beberapa kios dibakar. Bang Husen juga berpesan agar saya dan Mei tak keluar hotel, waspada bila kerusuhan merambat ke arah hotel. Bang Husen dan yang lain berjanji akan mengirim orang bergantian ke hotel untuk menemani kami.
Saya gusar. Ini pertama kalinya Mei datang ke Papua mendampingi program dan penelitian saya. Saya khawatir bila kerusuhan membesar. Saya mencoba menonton TV, mencari-cari berita tentang Fakfak; berita belum sampai di TV. Saya coba menelusuri laman pencarian dan mulai membaca perihal kerusuhan di Malang, asrama mahasiswa Papua, dan berita seputarnya. Saya tidur tak tenang, mengecek Mei, dan bertanya banyak hal pada Morten dan Bang Husen.
Esoknya pasar dibakar. Gedung empat lantai itu ludes dilumat api. Bang Husen dan Morten mengirim pesan, “Massa dari berbagai kampung turun ke Fakfak, berdemo.” Warung-warung semua tutup. Di restoran hotel persediaan makanan menipis. Diskusi-diskusi tentang sebab musabab, analisa dan hipotesa, serta menduga-duga menjadi panjang bersama Morten dan Bang Husen yang datang ke hotel.
Saya tak selera makan. Saya makan kedondong dua biji yang saya simpan dan menenggak segelas sopi, mencoba tidur. Esoknya, kerusuhan tak kunjung reda. Massa membakar gedung Dewan Adat, melempari gedung-gedung lainnya, menjarah dan membakar sebagian ruko dan kios. Jalan ke bandara dipalang. Pesawat-pesawat di-cancel, tak jadi terbang. Morten yang datang ke hotel menunjukkan saya sebuah video, seorang lelaki terkapar memegangi perutnya yang sobek. Morten bilang, ”Dia menaikkan bendera bintang kejora, Bang.”
Persendian saya linu, hati saya kelu. Orang-orang berebut memesan makanan—yang sudah sangat sedikit—di restoran hotel. Malam hari, saya dan Mei yang kelaparan meminta satpam menemani kami ke sebuah rumah di belakang hotel. Kami menumpang makan malam di rumah keluarga Nafan, kenalan saya saat tinggal di Bali yang ternyata orang Fakfak. Kami makan ikan dan nasi dan saya tahu mereka juga kekurangan bahan makanan. Pasar berhari-hari lumpuh. Dicekam ketakutan untuk keluar, orang-orang memilih diam aman di dalam rumah, bertahan dengan apa yang ada. Jaringan internet kacau. Saya akhirnya memutuskan mengabari orang rumah, keluarga di Bandung dan Belitung.
Saya dan Mei harusnya pulang tanggal 23 Agustus. Namun kepergian kami harus ditunda hingga tanggal 25 demi keamanan. Tanggal 24 keadaan mulai terkendali. Pasukan Brimob diterbangkan dari Makassar, berjaga- jaga di kota. Warung-warung sebagian telah buka. Atas nama penasaran setengah mati, saya meminta Bang Husen mengantar saya pergi ke luar dengan alasan membeli makan.
Kami melintasi Pasar Tambaruni yang hangus dan porak-poranda. Saya makan dalam diam, memikirkan kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa seminggu silam. Baru saja saya disambut euforia kehangatan kemerdakaan di kampung nun jauh di pedalaman, nasib kemudian membawa saya menjadi saksi kerusuhan di Tambaruni.
Diskusi-diskusi selama dan setelah itu pun panjang dengan Bang Husen dan Morten. Saya limbung menempatkan diri dan opini, membaca dan menelaah berbagai berita, opini, dan diskusi. Saya ingat sebuah artikel yang membahas pendapat Bung Hatta tentang Papua Barat, mungkin kepada hal itu saya bisa menyandarkan opini pribadi.
25 Agustus 2019. Saya ingat, saya pergi dari Fakfak, kembali ke Jawa, mengantongi banyak hal: suka, duka, dan doa.
Sampai jumpa, Papua.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Memuja makanan, juara mengeluh, dan kadang meneliti.