Kami selesai mandi. Telah gelap di Air Terjun Mandoni. Iqbal dan sang anak kecil sibuk melinting tembakau untuk perjalanan pulang. Merokok tembakau, selain sebagai relaksasi, dapat pula membantu mengusir agas yang mulai ramai. Saya dan Morka menyiapkan cadik, menyusun dayung, melilit handuk di leher, mengangkat jangkar.
Saya bergidik memandang sekitar. Gulita. Mungkinkah kecipak-kecipak itu bunyi anak-anak buaya muara? Saya berseru kepada Iqbal dan anak kecil untuk segera naik ke cadik. Saya berdoa untuk kedua kalinya, kepada siapa saja yang punya kuasa, untuk kemudahan dan keselamatan sampai kembali ke Patimburak.
Senter menyala. Si bocah kecil tetap paling belakang, sementara Iqbal menggantikan Morka mendayung. Sekarang Morka di tengah menimba air ke luar cadik. Saya, berteman senter dan takut, meringkuk di haluan. Cadik berlayar pelan tapi pasti meninggalkan selat, diiringi suara napas kami berempat. Saya tiba-tiba ingat Bapak. Bapak yang sering mengajak saya naik perahunya, menyusuri Laut Selindang, bersandar di gusong-gusong dan keramba, hingga malam. Kenangan berperahu bersama Bapak adalah memori yang hangat, bukan mengerikan seperti di atas cadik ini.
“Bang Sur!” Morka berseru memecah hening. “Coba matikan dolo senter.”
“Ah, ko gila, kenapa? Nanti kita nyasar, Morka,” bersungut-sungut saya menjawab Morka. “Memang ko bisa lihat dalam gelapkah?”
“Eh, sudah, kasi mati dolo. Baru Bang Sur lihat airnya!” Morka terdengar memaksa.
Setengah malas saya matikan senter, mencoba membenarkan duduk, melongok melihat air lautnya. Lalu, saya mendapati diri terpana.
Amboi! Seperti bintang-bintang, air laut yang dibelah dayung Iqbal dan sang anak kecil menjadi bercahaya! Ganggang yang agung! Jika teman pernah menonton film Life of Pi (2012), tentu ingat scene di mana Pi mendapati laut di sekelilingnya bercahaya. Tak ada kamera atau ponsel untuk mengabadikannya, tapi saya tahu saya tidak akan lupa. Saya menjadi lebih tenang, memandang cahaya-cahaya dari ganggang, sesekali menebar pandangan pada langit yang luas dan penuh bintang.
Setelah hampir satu jam, kami sampai di Patimburak disambut omelan Mace Kampung. Tapi saya tak peduli, saya akan tidur tenang malam ini; sudah mandi, bebas agas, dan akan bermimpi tentang ganggang yang gemerlapan.
Emas hitam Fakfak
Hari-hari selanjutnya di Patimburak saya lalui dengan banyak diskusi tentang pala.
Pala bukan hanya sebuah komoditas di Fakfak. Ia adalah sesuatu yang bernilai lebih dari uang dan menjadi sakral. Lahan pala yang ditanami oleh moyang-moyang, bercampur dalam hutan lebat, diwariskan turun-temurun dalam keluarga masyarakat Fakfak. Larangan menebang pohon pala betina dan juga pemberian sesajen setelah musim panen masih rutin dilakukan oleh masyarakat petani pala. Pala juga jadi tumpuan harapan bagi petani untuk dapat mengirim anak-anaknya bersekolah dan kuliah ke Jakarta, Bandung, Jogja, dan tempat-tempat lainnya.
Pala adalah salah satu rempah primadona dunia, menjadi motivasi bangsa-bangsa Arya datang ke Nusantara, menjadi alasan orang-orang kulit putih mampir berdagang, berujung kolonialisasi.
Dalam banyak diskusi, saya telah mencoba menggali dalam-dalam mengenai praktik budidaya dan rantai nilai pala Papua. Praktik-praktik budidaya pun sarat kearifan lokal yang didapat lewat pengalaman dan cerita-cerita leluhur.
Salah satu yang menarik adalah diskusi mengenai jenis kelamin pala. Orang-orang Barat telah lama pula mendokumentasikan dan meneliti tanaman pala, baik pala Banda maupun pala Papua. M. Flach, yang ternyata satu almamater dengan saya, dahulu sudah menjelaskan peliknya permasalahan penentuan jenis kelamin pala pada usia muda atau fase vegetatif (Flach, 1966). Tanaman pala ternyata memiliki tiga jenis kelompok kelamin, yaitu jantan, betina, dan hermafrodit/berbunga ganda. Hal ini kemudian dianggap tantangan dalam upaya mencapai produktivitas maksimal, di mana dalam suatu pola tanam terdapat rasio yang baik antara tanaman jantan dan betina. Namun, petani di Fakfak mempunyai cara sendiri untuk menentukan jenis kelamin tanaman pala. Lewat ilmu warisan leluhur dan pengalaman, mereka bisa membedakan biji jantan dan betina, bibit jantan dan betina, dan juga tanaman muda jantan dan betina.
Adalah kemudian tugas kita untuk mencari tahu dan membuktikan kebenaran dari teknik-teknik tradisional petani pala Papua.
Hidangan penutup: “song” dan “balobi”
Hari itu hari terakhir saya berada di Patimburak. Setelah makan malam dengan lauk kepiting bakau, kami bermain kartu. Permainan kartu bernama song ini saya yakin sangat digemari di Patimburak, dilihat dari antusiasme dan olok-olokan yang keluar dari pace-pace yang menjadi lawan saya bermain. Di permainan song, kami bercanda bertaruh harga diri ditemani Kopi Senang dan asap rokok yang membubung.
Baru pukul setengah sepuluh Bang Abdulrap Heremba melontarkan ide: “Bang Sur, mau balobi-kah?” Saya tadinya berpikir bahwa balobi mungkin nama buah. Ternyata balobi adalah kegiatan melaut di malam hari. Bang Abdulrap kemudian menjelaskan bahwa balobi dibantu dengan cahaya lampu petromaks yang dicantelkan di depan perahu. Dengan galah, perahu didorong pelan menyusuri pinggir pulau. Tak ada umpan yang digunakan, hanya tombak.
Mendengar itu, saya segera ganti baju sekalian menyemprot cairan anti-agas dan nyamuk sekujur tubuh. Bang Abdulrap menyiapkan perahu dan petromaks. Jam setengah sebelas, saya, Bang Abdulrap, Bang Husein, dan kedua teman lainnya siap berangkat.
Perahu bermesin itu melaju kencang meninggalkan Patimburak menuju gugusan pulau di sekitar Pulau Ugar. Setelah hampir satu jam, mesin perahu dimatikan, lampu petromaks menyala terang dikaitkan di haluan, dan Bang Abdulrap mulai memakai galah untuk mendorong perahu pelan-pelan menyisir pinggiran pulau. Bang Husein berdiri di haluan dan saya berdiri di belakangnya. Kami berdua siap dengan tombak di tangan. Dua teman lain asyik merokok di tengah, berseloroh menggoda saya. Perasaan saya bercampur aduk. Euforia karena ini pengalaman pertama, namun juga gugup membayangkan apakah saya bisa menombak apa pun nantinya yang ada.
Setelah hampir lima belas menit, akhirnya… Wuush!!! Bang Husein menghunjamkan tombaknya. Air beriak terpecah. Diangkatnya tombak—dan ikan pertama kami malam itu! Di belakang, saya tambah gugup dan tak sabar. Mata saya akhirnya mulai terbiasa, meskipun belum juga berhasil menombak satu pun makhluk laut. Bang Husein mulai sibuk menombak ke sana kemari dalam air, mengangkat ikan pari, kepiting, ikan bulanak, ikan bubara, dan udang.
Saya beranikan diri pindah lebih ke depan. Dan saya melihatnya, Bang Husein pun melihatnya: ada sontong karang di bawah sana! Kami berdua menghunuskan tombak hampir bersamaan. Air terpecah dan tiba-tiba menjadi hitam karena tinta yang dikeluarkan sontong. Bang Husein mengangkat tombak, namun kosong. “Ah, mungkin lepas,” keluhnya. Lalu, saya angkat tombak saya perlahan, dan—kawan-kawan, yang saya sampaikan berikut ini mungkin sedikit berlebihan—melihat sontong menggelepar di ujung tombak, ada perasaan yang saya tahu pasti bagaimana menggambarkannya: bahwa saya tidak pernah merasa sangat laki-laki, sangat jantan, sebelumnya, sampai saya berhasil menombak sontong batu pertama saya malam itu.
Lalu pesta menombak itu dimulai. Saya dan Bang Husein bergantian menombak apa saja, mengisi perahu dengan pari, kepiting, udang, sontong, dan ikan-ikan. Saya dan Bang Husein kemudian digantikan oleh dua teman lainnya, yang juga terus berpesta.
Jam setengah tiga pagi, kami memutuskan cukup dan sepakat pulang. Ada perasaan hangat mengalir, mungkin senang, atau mungkin perasaan lega bahwa saya telah membuktikan sesuatu: saya lulus balobi. Setiba di Patimburak, Bang Abdulrap menghidupkan api, sementara kami yang lain memilih sontong, udang, dan kepiting untuk dibakar. Saya memilih sontong pertama saya, yang sengaja saya pisahkan. Tidak dibasuh, tidak disiangi, cukup ditusuk dan dililit dengan batang kayu, lalu saya tancapkan di pinggir api.
Malam itu, malam terakhir di Patimburak, saya makan sontong hasil balobi pertama, ditemani wajah-wajah asing tapi bagai saudara, dengan senyuman dan perasaan hangat mengisi rumpang-rumpang dalam dada.
Referensi
Flach, M. (1966). Nutmeg cultivation and its sex-problem: An agronomical and cytogenetical study of the dioecy in Myristica fragrans Houtt. and Myristica argentea Warb. (Veenman). Retrieved from https://library.wur.nl/WebQuery/wurpubs/525698
Bagian kedua dari seri “Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora”
Baca juga:
Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (1)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
1 komentar
[…] Mengulang Waktu di Timur: Pala, Muara, dan Kejora (2) […]