Travelog

Memori di Djendelo Koffie

Beberapa hari yang lalu, lewat rute biasa, saya jalan kaki ke toko buku besar langganan di ujung utara Jalan Gejayan, yakni Togamas. Itu toko andalan mahasiswa yang senang baca, seperti pameran clothing—tapi setiap hari—bagi penggila fesyen. Diskonnya tak main-main, sekitar 15%. Bahkan, sekitar sepuluh tahun lalu, ada masanya toko itu membanting harga sampai 30%.

Dapat sampul pula.

Selain diskon dan sampul, yang bikin Togamas menarik adalah pilihan bukunya. Judul-judul yang rasa-rasanya tak mungkin digubris toko buku besar lain melimpah di sana. Bumi Manusia, misalnya. Sebelum dijejalkan di rak Gramedia, entah sudah berapa jilid buku pertama Tetralogi Buru itu yang terjual di Togamas.

sujiwo tejo togamas
Sujiwo Tejo saat diskusi buku “Ngawur karena Benar” di Togamas, 2012/Fuji Adriza

Lama tidak ke Togamas, setiba di sana saya pangling mendapati wujudnya sekarang. Beranda depan sudah dihancurkan untuk memberi ruang pada kendaraan pelanggan. Mendongak ke atas, mata saya tidak lagi mendapati deretan jendela kayu berdaun-ganda yang jadi ciri khas Djendelo Koffie yang menghuni lantai dua Togamas. Kalau jendela-jendela itu tak lagi ada, tidakkah Djendelo Koffie perlu ganti nama? Gebyok Koffie, misalnya?

Dari depan, saya bergerak ke dalam. Saya titipkan ransel di penitipan barang—yang sekarang posisinya sudah bergeser—lalu saya berjalan masuk menyusuri lorong-lorong yang kini tampak beda. Togamas jadi lebih penuh, lorong-lorongnya semakin kecil, dan di mana kolam koi itu?

Berputar-putar saya mencari terjemahan El amor en los tiempos del cólera (Love in the Time of Cholera) karya Gabo. Kok tidak ada? Bagaimana ini? Lalu saya pergi ke komputer. Setelah memasukkan kata kunci, tahulah saya bahwa stok El amor en los tiempos del cólera yang diterjemahkan sebagai Cinta di Tengah Wabah Kolera memang sedang kosong. Untungnya terjemahan Cien años de soledad (Seratus Tahun Kesunyian) masih banyak. Posisinya pun sekarang saya tahu: “Novel 5.”

Ayu Utami dan memori-memori lain di Djendelo Koffie

Kisah kesunyian seratus tahun di koloni Spanyol itu saya bawa ke kasir. Saat ia sedang sibuk memproses transaksi, saya sempatkan bertanya, “Djendelo Koffie masih ada nggak, Mbak?” Ia bilang Djendelo sudah tak ada. Kafe itu tutup waktu Togamas direnovasi beberapa waktu yang lalu. Pindah? Ternyata bukan. Memang tutup.

Begitu dapat informasi itu, batin saya terperenyak. Mendapati Djendelo tutup rasanya mirip dengan mendapati bahwa Friendster tutup sementara saya belum sempat mem-back-up foto-foto dalam galeri situs jejaring sosial itu. Bagaimana tidak, banyak sekali memori saya yang tercecer di sana.

djendelo koffie
Djendelo Koffie undur diri via instagram.com/djendelokoffie

Memori tentang Djendelo adalah memori tentang coklat Bedebah di balik Jubah Mewah (atau Bedebah di balik Djoebah Mewah?) yang menjadi teman ketika mengobrol bersama kawan-kawan; tentang rasa berdebar-debar ketika hendak mengirim surat lamaran kerja praktik; tentang keyakinan untuk menyelesaikan studi yang tiba-tiba muncul usai gong Djendelo dipukul jam 11 malam; tentang erupsi Merapi 2010; tentang betapa senang rasanya online pertama kali lewat netbook yang baru saja dibeli di pameran komputer; tentang password Wi-Fi yang “ultranasionalis.”

Ada pula kepingan-kepingan kenangan diskusi buku karya Ayu Utami (Cerita Cinta Enrico) dan penulis-penulis lain, juga door prize berhadiah tiket nonton gratis di XXI.

Saat saya sedang melamun, sang kasir menyebutkan harga.

“Lho, diskonnya nambah, Mbak?”

“Hari Selasa kita diskon 25%,” ujar sang kasir. “Gratis sampul, ya, Mas,” sambungnya kemudian.

Saya ke depan dan meletakkan buku yang hendak disampul dalam antrean. Sekitar sepuluh menit kemudian buku itu sudah dilapisi plastik tipis transparan. Kemudian saya bergerak ke depan, memesan ojek daring yang dulu belum ada saat saya sedang sering-seringnya ke Djendelo Koffie.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *